OLEH MUSA ISMAIL

Suara 16, Belajar dari Suara Ayam Jantan

Seni Budaya | Minggu, 27 Desember 2015 - 09:03 WIB

Suara 16, Belajar dari Suara Ayam Jantan
Musa Ismail

Berdasarkan pembacaan dan interpretasi yang saya lakukan, cerpen-cerpen Taufik Ikram Jamil (TIJ) memang unik. Cerpen-cerpennya boleh disebut cerpen kontemporer, terutama jika kita merenungi lapisan maknanya. Meskipun bahasanya terkesan sederhana, tetapi senantiasa memberikan kejutan-kejutan (suspense). Cerpen Suara 16, misalnya, merupakan salah satu cerpen tersebut yang terbit di Riau Pos (Ahad, 13/12/2015). Sebelum ini, TIJ pun telah melahirkan cerpen unik lainnya, yaitu Suara 4 dan Suara 15. Secara sederhana, cerpen Suara 4 mengisahkan tentang jual-beli suara melalui seorang sales. Cerpen Suara 15 pula berkisah tentang tokoh bernama Suara. Kedua cerpen ini telah saya bahas dan dimuat di koran ini.

Cerpen  Suara 16 agak kontradiktif jika dibandingkan dengan kedua cerpen suara sebelumnya. Kontradiktif cerpen ini terletak pada kejutan akhir yang disampaikan TIJ. Ada pesan religius yang menjadi kejutan dalam cerpen ini. TIJ menjadikan ayam sebagai objek konflik kisahannya. Bermula dari tokoh Saya yang berprofesi sebagai pedagang ayam jantan. Seorang tokoh lelaki dalam cerpen ini, menurut saya, sungguh misterius. Di sinilah salah satu keunikan TIJ mengemas kejutan, baik disengaja atau tidak. Tokoh lelaki inilah menjadi pusat perhatian tokoh Saya. Dalam hubungan dagang, lelaki inilah yang menjadi pembeli aneh yang irasional. Kita tak akan pernah menjumpai pembeli aneh ini dalam kenyataan sehari-hari.

Baca Juga :Pastikan Rekondisi Jalan Selesai Akhir Tahun

Tokoh lelaki ini hanya membeli ayam jantan dari tokoh Saya. Selanjutnya, ayam jantan tersebut dijualkan kembali ke orang lain melalui tokoh Saya. Aneh, hanya ayam jantan yang dibeli dan dijualkannya kembali. Tentu saja hubungan dagang aneh ini bisa menguntungkan tokoh Saya meskipun penuh pertanyaan. Pertanyaan hakiki dari cerpen ini adalah simbolisasi ayam jantan oleh TIJ dalam cerpennya.

Mengapa ayam jantan? Di sini juga menjadi keunikan TIJ. Keunikan ini sekaligus menjadi kecermatan penulis roman Hempasan Gelombang tersebut dalam menggali aspek Melayu yang religius. Jika selama ini keberadaan ayam jantan cuma dimanfaatkan sebagai hewan perjudian, selain dijadikan makanan, tetapi dalam cerpen Suara 16, keberadaan ayam jantan menjadi suci. Ayam jantan dalam cerpen ini menjadi pusat penanda interaksi antarmakhluk dengan Allah Taala. Tampaknya, TIJ ingin menuangkan pemahamannya tentang aspek religius melalui ayam jantan dalam cerpennya. Sampai di sini, pembaca awam akan merasa aneh jika membaca dan memahami ide TIJ dalam cerpen ini.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook