SUARA tetabuhan terdengar hingga beberapa kampung tetangga. Riuh dan semarak. Sorak-sorai. Tarian. Purnama di langit luas. Musik itu sangat khas di telinga Minak Ratu Junjungan. Darahnya bergolak tiba-tiba. Kedua telinganya mengembang, ingin meyakinkan apakah suara itu benar-benar dari tetabuhan yang diperagaan pemusik di rumahnya? Dari Tiyuh Gunung Batin Malay?
“Ya, itu pasti suara musik. Begawi sudah dimulai. Sungguh licik…” ia membatin. Tak mampu ia meneruskan gumamnya itu.
Bagaimanapun Tuan Surting adalah adik seayah-ibu. Tidak patut ia mencaci ataupun mencerca. Menjelek-jelekkan saudara sendiri, apalagi dari satu darah, sama saja mengumbar aib sendiri. Dan, memamerkan aib dapat disanding dengan seseorang yang menyantap bangkai.
“Aku tak suka bangkai. Menjijikkan,” kata hatinya lagi. “Aku mencintai ibu dan ayahku, karena merekalah kehormatanku. Dan, aku terhormat. Lalu, tak pantas kalau aku mencerca adikku. Mencela, bahkan mengumbar aibnya!”
Tetapi, ia memperdayaiku. Aku ditipu. Didustai terang-terangan. Dari cara berdunding, mengundi, dan lain sebagainya. Sehingga aku mendapat tugas mencari kuping-kuping ini. Ini sama artinya mengusirku secara halus ari kampung yang melahirkan dan telah menanam ari-ariku.
Minak Ratu Junjungan terus bergumam. Kata-kata di batinnya berkelindan dan bergantian. Antara menenteramkan dan membakar amarahnya. Darahnya menggelegak, bagai larva dalam kepundan yang tak kuasa menahan panas.
Tapi bukan Minak Ratu Junjungan, kalau tak mampu membendung amarahnya. Menurunkan suhu larva dalam kepundan hatinya. Hati memang bergolak, namun kepala harus tetap sejuk. Itulah petuah yang diterimanya dari ayahnya saat ia anak-anak.