SEBUAH perahu telah siap di bibir sungai. Minak Ratu Junjungan meloncat ke lambung lalu menuju buritan, dayung di tangan. Perahu pun dikayuh membelah arus. Ia harus kembali sebelum begawi berlangsung membawa tumpukan telinga untuk pagar bagi pesta adat. Adiknya, Tuan Surting, penunggu tiyuh tengah menyiapkan begawi. Dan Minak Ratu Junjungan yakin adiknya bisa menyelesaikan selagi ia mencari kuping.
Matahari sudah tenggelam sejak tadi. Sungai tak lagi bergambar. Begitu pekat. Perahu kokoh siap membawanya ke kampung lain. Tugasnya berat. Mengumpulkan daun telinga yang tak sedikit. Kuping-kuping itu, setiap ada begawi (pesta) adat, dijadikan pembatas antara warga yang hadir1 untuk turut dalam prosesi atau hanya jadi penonton.
Minak Ratu Junjungan kini sudah menggerakkan perahunya. Ia tidak mengikuti arus, agar pulangnya setelah berhasil mendapatkan daun-daun telinga bia lebih cepat. Kedua tangannya yang kokoh memainkan ujung dayung di air. Perahu pun selancar. Gunung Batin Malay2 semakin tampak kecil di belakang sana.
Acap ia menemui arus deras, namun mudah sekali ia lalui. Karena tak sedikit perahu terbalik begitu berhadapan dengan pusaran air, atau arus besar. Bagi Minak Ratu Junjungan yang sejak kecil hidup bersama perahu, ia fasih bagaimana mengelaknya. Seperti kata pujangga, karena laut mengajarkan rahasia badai, aku pun setia berlayar3 demikian pula bagi Minak Ratu Junjungan. Sebahai pelayar sejak anak-anak tentu ia tahu mana arus deras, dan di mana pula terdapat pusaran air yang dapat mengancam keselamatannya.
Maka ia memilih melawan arus saat pergi, agar sekembali esok pagi tak lagi memerlukan tenaga lebih banyak sampai ke kampungnya. Cukup mengarahkan kemudi supaya perahu lempang tanpa halangan oleh akar ataupun batu. Minak Ratu Junjungan tak henti bersenandung demi menghalau kesunyian. Beratus-ratus reringget dan bubandung4 habis dan berulang-ulang dibacakan.
Semakin dikeraskan suaranya, bait-bait reringget dan bubandung bagai menguatkan dirinya. Minak Ratu Junjungan seperti tak lagi memiliki kelemahan. Betapa, syair-syair itu memunyai magis yang kuat, gumamnya.
Sejatinya, Minak Ratu Junjungan tak hanya fasih melafalkan bubandung dan reringget, banyak syair-syair tradisi Lampung dihapalnya. Sejak buaian, kedua orang tuanya selalu mendendangkan syair-syair itu setiap ia hendak tidur. Meninabobo dengan bait-bait bubandung dan reringget yang memang panjang itu, hingga ia terlelap. Budandung atau reringget jika dibawakan oleh ahlinya, bisa sehari semalam. Dalam syair-syair itu, terdapat ajaran dan ujaran nasihat, kesedihan, pujian pada alam dan Tuhan, dan seterusnya.
Itulah yang menguatkan dan memberi semangat Minak Ratu Junjungan mengayuh perahunya di malam yang sunyi dan kelam . Sudah sepuluh tiyuh dilintasi, dan delapan tiyuh telah menjejakkan kakinya. Mengumpulkan daun-daun telinga dari manusia dan hewan di sana. Tetapi belum cukup untuk menjadikan pagar.
Ia bertekad akan pulang setelah yang diinginkan memenuhi perahunya, karena begawi adat tidak akan dilasanakan tanpa pagar tersusun dari daun telinga. Meski, mungkin, harus sehari atau dua hari lagi baru ia kembali ke tiyuh.
***
TUAN Surting dan Minak Ratu Junjungan sudah sepakat. Kakak-beradi itu siap melaksanakan begawi untuk mendatapkan gelar dalam adat. Setelah gelar diperoleh, Minak Ratu Junjungan akan menjadi pemimpin kaum yang ada di Utara. Sedangkan Tuan Surting memimpin di wilayah Selatan. Itulah dua wilayah yang belum memiliki tetua adat. Karena itu, sebelum diisi oleh orang lain keduanya menggelar gawi. Sebelum purnama kalender kedua bulan ini.