TUAN Surting sedang menyiapkan pesta adat. Orang-orang setiyuh berkumpul di rumahnya. Tak ada seorang pun berpangku tangan. Seluruhnya bekerja. Ada yang mengumpulkan kayu untuk memasak, menyiangkan tungku, mengambil air di sungai dan sumur. Lelaki lain mengunduh kelapa. Sedangkan lainnya menggaduh kerbau untuk disembelih keesokan harinya.
Pesta ini harus meriah, Tuan Surting membatin. Apalagi Kiyai Minak Ratu Junjungan sangat membantu demi kemerihan begawi adat. Kakak-beradik itu akan mengambil gelar dalam adat, demi memimpin marga di dusun itu.
Alat-alat tetabuh sudah dipajang di panggung, begitu pula para penabuhnya siap bertugas begitu ada komando. Para muli berias sejak sore tadi, dan begitu malam berlabuh mereka akan dijemput para lelaki. Dengan alat penerang seadanya, para lelaki memukul canang sebagai tanda penjemputan tiba.
Kemudian muli keluar dari rumah mengenekan siger7 di kepala. Para perempuan yang telah dihiasi itu betapa cantiknya tiap lelaki memandang. Mereka diantar ke tempat prosesi begadi adat. Lalu pada saatnya para muli berngigel diiringi tetabuhan. Sedang malam harinya hingga dini, dikhususnya bagi para orang tua atau tetua adat.
Tuan Surting tampak bahagia. Tugasnya mempersiapkan begawi dilakukannya nyaris sempurna. Di hatinya berkecamuk. Ingin melaksanakan begadi seorang diri. Ia mau menguasai dua wilayah itu. Bukankah Kiyai Minak Ratu Junjungan belum tentu selamat tiba di kampung. Boleh jadi kini kakaknya itu tewas dibunuh para penjahat atau punah diterkam binatang buas di perjalanan.
Sejarah menulis begitu. Setiap yang kalah dalam undian, dan harus keluar dari kampung untuk mendapatkan kuping hilang tak jelas rimbanya. Mati tak tahu di mana kuburnya. Kecuali perahu dan bawaannya yang sampai di perkampungan. Perahu-perahu tanpa pengemudinya bersandar di akar pohon. Orang-orang kemudian mengangkut bawaan dari perut perahu kosong itu.
Sepertinya perahu itu tahu arah pulang mesti tak dikemudikan oleh si empunya. Bagaikan kuda peliharaan yang bisa pulang meski tanpa tuan. Atau seekor burung dara karena cerdiknya, pandai mengantar atau membawa pesan dan tak salah orang.
Apalagi tinggal hitungan jam, begawi adat dimulai. Tuan Surting sudah mengenakan pakaian adat lengkap. Pakaian adat itu sudah lama dibuatnya. Mungkin sejak ia berusia anak-anak. Dianyamnya sendiri dengan kedua tangannya. Jemari-jemarinya bak penari merajut pakaian adat itu. Seperti juga Minak Ratu Junjungan. Pakaian adatnya siap menanti kedatangan si empunya.
Dua kursi singgasana untuk keduanya pun sangat kasmaran, seperti seseorang yang merindukan kekasihnya. Kursi itu kelak yang menaikan martabat seseorang. Itu sebabnya, orang-orang berlomba untuk didudukkan di kursi itu.8
Hingga matahari nyaris tergelincir di Barat, Minak Ratu Junjungan belum tiba. Orang-orang mulai cemas. Berbeda bagi Tuan Surting. Ia perintahkan para penabuh memainkan alat tetabuhan. Di situ ada canang, talobalak, dan lain-lain.
Suara riuh tetabuhan itu mengudara hingga ke beberapa kampung. Tiyuh Gunung Batin Malay semakin mamalam kian ramai. Warga dari tiyuh tetangga datang ada yang disebabkan diundang, namun tak sedikit lantaran mendengar tetabuhan.
Tuan Surting sebentar lagi memeroleh gelar adat. Ia akan bergelar Tuan Surting gelar Suttan Cerdik Nanpiawai. Gelar biasanya disematkan tak lari sifat asli yang mendapatkan gelar.9 Sedangkan Minak Ratu Junjungan entah di mana. Kursi pepadunnya tak akan didudukinya.
Tetabuhan itu sengaja dimainkan para pemusik, agar warga berkumpul, bahkan dari seberang maupun kampung tetangga. Tuan Surting telah memerintahkan pemusik memulai permainannya, agar suasana tampak riang dan tak sunyi. Atau siasat dia? Entahlah…
***