Kota ini tengah bersolek. Setindak demi setindak berbenah diri menjulang-julang gedung agar elok nian dikata orang. Seperti tak rela menjadi anak bawang di mata siklus peradaban. Keliru ataupun tidak, anggapan ini berkelindan di pikiran Mudasir yang menyangka imbas budaya metropolitan akan segera menegur kediamannya. Cuma persoalan bersabar menunggu waktu.
Pria rentan masuk angin itu berupaya mendedah lampau lewat cekungan di kedua kelopak matanya. Sejenak teringat oroknya lahir dan mencecap asri tanah ini. Tumbuh sebagai anak pinggiran berbapak pekebun biasa.
Ketika itu ia ingat ada parit kecil yang dialiri air, meliuk di antara hamparan palawija pada sehektare tanah samping rumah. Untuk beberapa alasan, tahun lalu Mudasir menimbun parit itu. Tanah lembap tak menarik minat orang untuk berinvestasi. Pun tak lagi palawija, hanya lahan kosong yang dibiarkan rumput teki dan puteri malu tumbuh liar.
Menyeka peluh leher yang berbilur-bilur merah keunguan, baru saja ia menancapkan patok kayu pada lahan yang berbatas langsung dengan aspal jalan itu. Bagian atasnya dibubuhi susunan aksara kapital tebal: DIJUAL!
Perihal parit, sebenarnya memiliki sejarahnya sendiri. Dulu Mudasir dan teman-teman kecilnya kerap menancap joran di tepiannya. Sepat, Gabus, Lele bersarang di antara ganggang hijau yang tumbuh subur pada alirannya. Itu jauh saat Ociak Ameh memiliki beberapa ekor jawi dan aba-nya masih hidup. Ociak sering berbaik hati menghibah pupuk kandang secara cuma-cuma untuk penyuburan tanah kebun aba Mudasir. Semenjak ociak menjual semua jawi demi mandapat modal membuka usaha kos-kosan, saat itu aba harus memutar otak dan akhirnya memutuskan beralih menggunakan Urea dan Kcl. Tak dapat lagi dijumpai Gabus, Lele atau Sepat pada aliran pekat yang perlahan terkontaminasi residu kimia. Migrasi atau mati ditempat. Beralih zaman, ketika orang-orang kepayahan mencari tempat sampah, mereka mengalih-fungsikan parit itu menjadi kubangan pembuangan plastik, tarompa rusak, dan pampers bayi. Tanpa seizin Mudasir, tentu saja.
Pemerataan pembangunan menjarah hingga rumah Mudasir tidak lagi berada di pinggiran. Sebelah teritis kanan memang masih tersisa lahannya satu hektare itu. Tapi berjarak dua rumah dari kiri, telah berdiri supermarket waralaba. Di seberang dua lajur jalan, tersusun pula pondasi yang lebarnya minta ampun disertai arsitektur rumit beton-beton, rencana pendirian kondominium mewah.
Mau tak mau, waktu mengepung rumah Mudasir menjadi bagian ingar-bingar kota.
Sebelumnya tak pernah terlintas di batok kepalanya ingin menjual tanah. Bahkan ketika aba-nya berpulang, ia sempat melanjutkan usaha perkebunan dengan menanam jagung di musim penghujan, cabai atau kacang panjang saat kemarau tiba. Kalau dulu ancamannya moncik, manso, atau hanya cendawan yang bisa dilawan dengan bermacam pestisida. Sekarang ia tidak bisa berbuat banyak menyadari petak tanah itu dikelilingi bangunan-bangunan. Suplai matahari praktis hanya diperoleh siang hari, sementara pagi sinarnya terhalang ruko tiga lantai di timur dan sore ditelan bangunan di sebelah baratnya. Masa tumbuh lambat dan biaya lamanya perawatan berbanding terbalik pada pendapatan hasil panen. Pernah panennya merugi lantaran menurunnya kualitas sayur yang diproduksi. Hal itu membuat Mudasir tak yakin akan melanjutkan usaha peninggalan aba dan membiarkannya menjadi lahan kosong.
Percakapan dengan Onga Ipen tanpa didasari kesengajaan saat mereka bertemu di kodai Fatimah petang itu membuat Mudasir risau sekaligus tergiur. Ia hendak membeli spray pengusir nyamuk dan Onga Ipen tampak merogoh pemantik menyulut rokok yang baru saja dibelinya.
“Tentu kau masih ingat ladangku di Simpang Tombaran, bukan?”
Mudasir mengangguk. Sebelum menjadi ladang Onga Ipen, wilayah itu dulunya belantara yang tak berani dijarah orang. Bahkan dulu Omak sering mewanti-wanti Mudasir agar tidak melewati tempat itu. Sebab pernah tercerita seorang anak kecil hilang dan desas-desus yang tersebar, jadi mangsa Cinaku yang bersarang di belantara itu.
“Nah, lima minggu lalu seseorang berminat mau membuka lapangan golf di tempat itu. Kau tahu berapa harga beli yang ditawari padaku?”
“Ha, berapa, Onga?”
“Dua em.”
“Alamakjang!”
Onga Ipen tergelak hingga perutnya membuncit satu inchi ke depan. Sementara Mudasir membayangkan gelimang uang dua milyar berjatuhan dari langit menerkam ubun-ubun dan membuat matanya berkunang-kunang.
Setiap jengkal langkah pulang, Mudasir tak yakin yang dibelinya spray anti nyamuk atau spray pengharum ruangan. Pikirannya sepenuhnya tertuju pada lahan di samping rumah dan kata-kata terakhir Onga Ipen. Jika Mudasir berniat menjual tanah, sekarang waktu yang tepat. Mumpung visi pemerintah adalah memajukan kota dan untunglah paradigma kemajuan selalu diidentikkan dengan pesatnya pembangunan. “Kau bisa menjual tanahmu dengan harga selangit Lai, sekarang ini banyak pemain sirkus yang keranjingan,” begitu tutup Onga Ipen.
Semula Mudasir membicarakan niatannya pada Eliya, istrinya. Pada prinsipnya wanita itu selalu mendukung apa pun bentuk keputusan suaminya. Tapi ia menyarankan agar Mudasir terlebih dahulu beroleh izin omak.
“Tanah itu azimat aba-mu,” kata omak saat melipat baju kering di lantai kamar, Mudasir duduk di sampingnya. “Barangkali, elok dikau ziarah ke pusaranya. Mudah-mudahan diberi kemantapan hati.”
Keesokan harinya lelaki itu bersikukuh menapakkan kaki di rumput pekuburan. Di atas nisan aba, ia utarakan segala maksud sekaligus mohon petunjuk.
***