Kita mungkin masih ingat sosok sastrawan yang begitu gila dengan tema lingkungan, Henry Lawson yang menghabiskan hidupnya tinggal di rumah pohon. Ia mempopulerkan karya-karyanya dengan sebutan sastra balada. Ia bahkan menjauhi kota dengan hiruk pikuknya, karena ia menganggap kota menjadi sumber polusi. Jejak Henry ini juga diikuti oleh para penyair muda yang kemudian menamai diri mereka dengan sebutan "penyair desa".
Memang, menulis sastra hijau di era sekarang memiliki jebakan tersendiri bagi penulis. Pasca revolusi industri, sastra lebih dibawa ke arus yang rasional. Dalam kondisi ini, komunikasi antara manusia dan alam bahkan dikatakan nihil. Agus R. Sarjono (redaktur majalah sastra Horison) mengatakan, saat ini ketika kita ingin menulis sastra hijau, maka ada dua jebakan yang mengancam yakni, Pertama, jika penggiatnya jatuh pada eksotisme yang meneguhkan pandangan Barat atas Timur selama ini. Kedua, jika karya sastra hijau kembali ke nilai-nilai luhur masa lalu, tapi tidak melihat kenyataan sekarang. Namun, jebakan itu bisa diatasi dengan sikap kritis.
Deskripsi berlebihan yang melukiskan keindahan alam di dunia timur dengan kekayaan alam yang berlimpah, hutan yang masih perawan dan sebagainya merupakan jebakan rasional yang harus dihindari. Karena faktanya itu memang tak ada lagi. Dulu alam menjadi sumber kekaguman saat kita menuliskan sebuah karya sastra, namun saat ini kekaguman tersebut telah berubah menjadi sebuah keprihatinan yang mendalam. Dalam kondisi inilah rasionalisme para penulis harus terbuka sehingga sebuah karya yang ia tuliskan tidak lagi menafikan sebuah fakta yang terjadi. Kita tak lagi terbuai dalam keromantisan sebuah kondisi, namun harus membuka indera pada kondisi-kondisi yang menuntut sikap lebih kritis.
Riau dan Sastra Hijau
Kondisi lingkungan yang tidak lagi nyaman dihuni manusia menjadi peyebab paling popular bagi para sastrawan menyuarakan sastra hijau. Kerusakan yang lebih kerap disebabkan tangan manusia maupun bencana alam yang datang secara alami menyisakan suasana empirik perasaan para sastrawan yang menyimpan luka. Ketedesakan suasana hati serta gugatan pada kondisi membuat tema sastra hijau menjadi salah satu temu yang terus diminati para pegiat sastra.