OLEH ANWAR NOERIS

Kesusastraan Modern, Mau ke Mana?

Seni Budaya | Minggu, 01 November 2015 - 00:54 WIB

Bahwa ternyata yang melatari carut-marut kesusastraan nasional kita adalah ideologi yang dibawa (dibangun), bahwa ideologi abstrak tetap menjadi titik pijak sastrawan kita dalam meng-ekplorasi tema. Ideologi tersebut merupakan kontruk pemikiran negara jajahan (klonial)—sebagaimana Negara Indonesia sendiri adalah negara jajahan yang masih dalam proses negara berkembang.

Homi Bhabha menyimpulkan negara yang masih berkembag dan bekas jajahan mengidap tiga kompleks: yaitu komplek “mimikri”, “hibridity”, dan “ambivalensi”. Komplek  “mimikri” cendrung meniru hal-hal yang dilakukan para penjajah, bahkan sampai persoalan bentuk dan warna rambut, model pakaian, warna kulit, dan hal-hal terkecil pun.

Baca Juga :Pastikan Rekondisi Jalan Selesai Akhir Tahun

Sedangkan kompleks “Hibridity” adalah kebudayaan bangsa-bangsa bekas jajahan mengalami pencampuran budaya sendiri dengan budaya penjajah. Dan “Ambivalensi” adalah ambiguitas apakah bangsa bekas jajahan itu cenderung bertitik-berat pada diri sendiri atau terhadap kloni—sesuatu gejala ketidakpercayaan terhadap diri sendiri dan kebudayaannya.

Ketiga komplek negara berkembang ini sebenarnya lebih menitik beratkan pada arus kebudayaan negara lain (penjajah), bisa dibuktikan dengan ideologi yang dibangun, yang mengarah pada tipe-tipe negara luar, semisal masyarakat Indonesia—gaya atau medel hidupnya cendrung mengikuti Negara barat, yang mesti berpenampilan wah dan hiper dengan meninggalkan kebudayaan negara timur (negaranya sendiri). Pemikirannya yang sok liberal dan kapital dengan membangga-banggakan konsep kebudayaan barat dan menerimanya sebagai sesuatu yang given. Sedangkan kebudayaannya sendiri terkubur tanpa alasan-alasan untuk bercokol sebagai identias murni.

Hal demikian termasuk tanda kecil dari aktivitas-aktivitas sastra Indonesia dikontrol dan dilegitimasi keberadaannya oleh kebudayaan barat. Kebudayaan klonial yang masih cendrung dijadikan subkultur budaya sendiri, dan pembahasan-pembahasan yang terus menarik-simpatik tanpa disadari sepunuhnya oleh penulis kita. Yakni itulah ideologi abstrak yang dalam bahasa lainnya adalah kekaburan identitas.

Dari jalin kelindan ideologi tersebut, sampailah pada sendi-sendi kesusastraan kita. Bahwa kesusastraan kita termasuk korban dari kekaburan yang menjadikan kesusastraan kita ke wialayah ambiguitas —kasat identitas. Kemudian sejarah sastra nasional kita tumbuh di tengah ketegangan antara authenticity dan modernity, ketegangan antara sejarah ke depan dan kembali kepada akar yang tak kunjung reda, yang dengan begitu nasionalisme dalam sastra pun semakin kabur untuk dirumuskan (ed, Pedas Lada).***

Anwar Noeris, adalah mahasiswa Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. aktif berkesenian di Komunitas Kutub Yogyakarta. Tinggal di Yogyakarta.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook