Lalau bagaimana dengan kabar kesusastraan pra-Balai Pustaka? Adakah kesusastraan pada masa itu? Atau memang kesusastraan kita bermula dari kesusastraan klonial yang dibawa penjajah? Sebanarnya pertanyaan-pertanyaan getir ini tak ubahnya keisengan saja tapi bila dipikir ulang menimbulkan kecemasan-kecemasan terhadap identitas kesusastraan nasional.
Kurangnya kehati-hatian kritikus sastra dalam pembentukan angkatan-angkatan dapat ditengarai sebagai jawaban pertanyaan yang mendesak batin di atas. Apakah sejarah sastra Indonesia termasuk sejarah yang kering dari kebudayaan sendiri? Lantas tak ada yang benar-benar memastikan sejarah kesusastraan nasional. Apakah sastra nasional itu adalah tulisan-tulisan sastra yang berbahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, atau sastra yang ditulis oleh orang-orang Indonesia dengan segala pembahasan mengenai keindonesiaan? Dan bagaimana pula kaitannya dengan sastra yang berbahasa daerah?
Sejauh ini kita saksiakan sastra Indonesia dalam tanda tanya besar. Tak ada yang memastika dalam catatan-catatan buku kritik sastra yang membahas detail sejarah sastra nasional. Bila ada, ia hanya buku kritik sastra yang notabane pembahasannya mengenai isi dan orientasi dari tulisan yang masuk daftar metode kritik sastra.
Ideologi Sastra Modern
Tentu kita memulainya dari gagasan yang dikembangakan dalam suatu tulisan, menyimak apa yang ingin disampaikan pada khelayak. Satu- dua- tiga buku yang sudah terbit—untung-untung laris dan mendapat label best seller. Atau model penyampaian dan eksplorasi tema yang dikembangkan.