ANAK-ANAK MUDA RIAU DI PANGGUNG SASTRA INDONESIA (BAGIAN 2-HABIS)

Membangun Eksistensi dan "Bertarung" di Jalan Sunyi

Seni Budaya | Minggu, 18 September 2022 - 11:36 WIB

Membangun Eksistensi dan "Bertarung" di Jalan Sunyi
Joni Hendri,Jeli Manalu dan Andreas Mazland (dari kiri ke kanan) (ISTIMEWA)

Dengan merunut sejarah sastra Riau sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang, anak-anak Riau yang memilih “bertarung” di jalan sunyi dunia penulisan (sastra) tak pernah berhenti. Ini menandakan dunia sastra masih terus diminati dengan berbagai alasan.


(RIAUPOS.CO) - DALAM sebuah perbincangan, menurut almarhum Al azhar --salah seorang budayawan besar Riau-- orang-orang yang memilih menjadi pengarang/sastrawan adalah mereka yang ingin mengabdikan diri pada dunia intelektual di luar dunia akademis yang kaku. Maka, katanya, dunia sastra adalah sebuah jalan untuk membebaskan diri dengan tetap berpegang pada ilmu pengetahuan --termasuk di dalamnya adalah filsafat-- yang sangat penting bagi kehidupan manusia.


“Karya sastra adalah karya intelektual yang ditulis oleh mereka yang memahami ilmu pengetahuan tapi tak ingin hidup di dalam kekakuan dunia akademis. Kekuatan dan isi karya sastra banyak yang melampaui karya akademis,” kata Al azhar saat bicara di depan para penulis dalam sebuah acara bedah novel Ganti Award tahun 2005.

Intinya, kata dia, sastrawan harus peka dengan kondisi lingkungan sosialnya. Dengan begitu, karya-karyanya selain berisi hal-hal personal, tetapi juga persoalan masyarakat yang direkamnya. Dan di hari ini, banyak anak muda yang bergelut di dunia sastra yang masih sibuk dengan diri sendiri –tentang kesepian, patah hati, jatuh cinta, dsb— meskipun masih  tetap ada yang peka dengan dunia sekelilingnya.


Terus Belajar tanpa Henti
Joni Hendri adalah tipe anak muda pekerja keras yang tak kenal kata menyerah. Pemuda kelahiran Teluk Dalam, Pelalawan, 12 Agustus 1993 ini selain menekuni penulisan sastra --baik cerpen, puisi, maupun esai— juga menggeluti penulisan naskah teater dan sekaligus sutradara. Dia juga tertarik dengan dunia pantomim.

Awal ketertarikannya dengan dunia sastra dan teater saat kuliah di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Jurusan Teater, tahun 2014. Saat itu dia melihat puisi WS Rendra, “Kangen”, di tempel di dinding kantor Dewan Kesenian Riau (DKR), tempat di mana AKMR juga berkampus di sana. Dia tertarik dengan diksi dan bait-bait dalam puisi ikonis tersebut. Sejak itu dia mengaku keranjingan dengan puisi dan karya sastra lainnya di luar teater yang sedang dia dalami.

Joni kemudian membaca banyak buku, salah satunya Tempuling karya Rida K Liamsi. Dia merasa, puisi-puisi dalam buku tersebut seperti mewakili dirinya sebagai orang pesisir. Orang laut. Katanya, buku itu menjadi favoritnya hingga kini, selain buku-buku lain yang terus dilahapnya. Kumpulan cerpen Eka Kurniawan, Gelak Sedih, kemudian mengawali minatnya terhadap cerpen. Buku itu seperti menjadi pemacu baginya setiap mencoba menulis cerpen hingga kini.

“Di masa itu saya sudah mulai belajar menulis, tetapi masih tak percaya diri untuk mengirimkannya ke media maupun ikut lomba,” ujar pemuda yang baru saja menyelesaikan S-1 di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Lancang Kuning (Unilak) tersebut.

Hampir lima tahun dia memendam keinginannya untuk mengirimkan karya ke media massa. Baru pada 2019 dia mengirim cerpen ke Tanjungpinang Pos, Kepri, dan dimuat. Dari situ kemudian muncul kepercayaan dirinya untuk bersaing dan bertarung dengan penulis lain di media massa. Tak lama setelah itu, sebuah cerpennya dimuat di sebuah jurnal FIB Universitas Diponegoro, Semarang.

Pelan tapi pasti, karya-karyanya mulai mendapat tempat di banyak media seperti Kompas id, Riau pos, Solo Pos, Medan Pos, Radar Bayuwangi, NusaBali, Pontianak Pos, Radar Sulawesi Tengah, Bali Pos, Singgalang, Bhirawa, Majalah Elipsis (Padangpanjang), Majalah Karas (Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah) dan media online lainya. Karyanya juga masuk dalam beberapa antologi seperti antologi puisi Penyair Nusantara (2021), antologi puisi Lima Titik Nol (2022), antologi puisi Pasaman dalam Puisi (2019), kumpulan cerpen Pemenang Festival Sastra Sungai Jantan (2019), kumpulan naskah Drama Pemenang Festival Sungai Jantan (2019), dan yang lainnya.

Selain terus berupaya menembus media, Joni juga mengikuti beberapa lomba sastra. Karyanya kemudian berhasil memenangkan beberapa lomba seperti menjadi juara pertama menulis Lomba Menulis Puisi Guru Tingkat Nasional 2021 yang diselenggarakan Universitas Riau; juara ketiga Lomba Menulis Puisi Tingkat Riau 2021 yang diadakan Forum Lingkar Pena (FLP); juara ketiga Lomba Menulis Puisi Tingkat Riau 2021 yang diadakan FIB Unilak; juara kedua Lomba Cipta Menulis Naskah Drama Tingkat Riau 2019 (Festival Sungai Jantan) yang diselenggarakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Siak; dan berbagai lomba lainnya.

Saat ini Joni bergiat di Rumah Kreatif Suku Seni Riau. Komunitas ini, kata dia, sangat membantu membangkitkan semangatnya dalam menulis. Dia merasa beruntung karena bisa belajar dengan sastrawan Riau, Marhalim Zaini, yang merupakan pendiri dan sekaligus pemimpin Suku Seni. Marhalim juga salah satu dosen yang membimbingnya saat masih kuliah di AKMR. Menurut Joni, terlibat dalam komunitas merupakan sesuatu yang sangat penting dalam perjalanan kepenulisannya. Dia merasa, tanpa komunitas sama dengan menulis tanpa tujuan  karena tak bisa menakar sampai di mana perkembangan tulisan. Joni juga terlibat di Komite Teater Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP) selain mengajar di SD Negeri 153 Pekanbaru.

“Saya ingin menulis yang dekat dengan saya. Tema-tema kehidupan sosial keseharian. Saya juga ingin menulis tentang kekinian, mengukuti zaman,” ujar Joni tentang kecenderungan tema yang ditulisnya.

Tentang kecenderungan banyak penulis yang cepat-cepat ingin punya buku tunggal, Joni menjelaskan bahwa dia ingin berproses dulu hingga matang. Dia ingin terus melakukan pencarian jati diri dalam menulis, melakukan eksplorasi dan yang lainnya, sampai pada suatu saat nanti karyanya sudah matang dan layak dibukukan.

“Saya tidak mau terburu-buru. Saya tidak ingin buku-buku hanya menjadi pajangan di rak dan tak dibaca orang karena relatif tak berkualitas dan tak menarik minat baca. Saya ingin terus berproses,” jelasnya lagi.

Membangun Eksistensi Sendirian
Perjalanan Jeli Marlina Manalu sebagai seorang penulis cukup unik. Wanita kelahiran di Padangsidimpuan, Sumatra Utara (Sumut) pada 2 Oktober 1983 ini, tak pernah balajar langsung (tatap muka) dengan seorang penulis maupun komunitas. Namun dia bekerja keras dan mampu melahirkan cerpen-cerpen yang mampu menembus media-media nasional dan daerah lain di luar Riau. Meski tinggal jauh dari ibukota provinsi, yakni di Rengat (Indragiri Hulu), namun kerja keras Jeli membangun eksistensi dalam menulis cukup berhasil.

“Saya hanya seorang  ibu rumah tangga dengan dua orang putri, yang juga memiliki usaha kelontong, dan suka menulis,” kata Jeli kepada Riau Pos, Kamis (15/9/2022).

Jeli mengaku mulai terjun di dunia menulis pada 2014, dan setahun kemudian baru serius. Dia banyak belajar di komunitas menulis online seperti LovRinz and Friend,  di Facebook.  Lalu bergabung dalam diskusi-diskusi mini di grup WA bersama teman-teman penulisnya. Dia tak pernah memiliki komunitas menulis secara offline, karena menulis dikerjakan sendiri di rumah di sela-sela kesibukan sebagai ibu rumah tangga dan berdagang. Bisa dibilang tidak ada teman untuk belajar menulis secara tatap muka. Jadi belajarnya semua melalui internet dan sosial media.  

Meski hanya belajar di dunia maya, namun dia bisa belajar dan saling mendukung dengan teman-teman di sana. Mereka saling mengkritik karya dan memberi masukan. Turut bergembira ketika karya dari para anggota ada yang tayang di media. Mereka juga tetap saling mendukung meski sekarang sibuk di masing-masing genre yang diminati. Jeli mengaku, Pringadi Abdi Surya adalah guru pertamanya yang memotivasi dirinya untuk belajar dan tumbuh di dunia menulis secara serius. Ketika itu penulis novel Sejumlah Pertanyaan tentang Cinta, Hari Sempurna untuk Tidak Berpikir, dan kumpulan cerpen Simbiosa Alina yang ditulis bersama Sungging Raga tersebut sedang membuka kelas menulis secara daring.

Perjuangan keras Jeli dalam menulis kemudian terbayarkan dengan cerpen-cerpennya yang kemudian berhasil menembus berbagai media, baik Jakarta maupun di daerah lain. Jeli merasa bahagia karena kerja kerasnya membuat karyanya bisa dimuat di Media Indonesia, Sumut Pos, Analisa, Lombok Pos, Padang Ekspres, Haluan, Banjarmasin Pos, Rakyat Sultra, Suara NTB, Medan Bisnis, Majalah Litera, Majalah Utusan, Majalah Majas, Majalah Simalaba, Bacapetra, Detik.com, Cendawa News, Jurnal Ruang, Apajake.id, Ideide.id, Sastra Media, Margrib.id, Nusantara News, Buletin Sastra Pawon, dll.

Tak hanya dimuat di media massa, cerpen-cerpen Jeli juga dimuat di beberapa antologi bersama. Misalnya dalam buku Bahagia Tak Mesti dengan Manusia, Rahel Pergi ke Surga Sendiri, Mimpi-Mimpi Erina, Segenggam Air Bah di Atas Loteng, Gregah, dan yang lainnya.

Salah satu puncak dari kerja kerasnya sebagai penulis adalah ketika kumpulan cerpennya, Kisah Sedih Sepasang Sepatu, diterbitkan oleh Penerbit BasaBasi (Yogyakarta). Dan kini dia sedang menunggu kumpulan cerpen keduanya, Kucing Penunggu Susteran dan Cerita-Cerita Lainnya.

“Ketika buku Kisah Sedih Sepasang Sepatu terbit, rasanya saya kok gemetaran dan seperti tak percaya kalau karya saya diterbitkan menjadi buku. Itu membuat saya semakin termotivasi lagi untuk terus belajar menulis,” jelasnya lagi.

Jeli juga merasa mendapatkan sebuah hadiah ketika kemudian diundang ke beberapa festival sastra seperti Festival Sastra dan Rupa Kristiani (Sapa) 2018 di Jakarta dan Jogjakarta Literary Festival (Jotlitfest) tahun 2019. Di dua festival itu dia bisa bertemu orang-orang sastra yang selama ini hanya berada dalam angannya. Mereka antara lain Romo Mudji Sutrisno, Iksaka Banu, Eka Kurniawan, Kiki Sulistiyo, Raudal Tanjung Banua, atau Kurnia Effendi.

Tentang siapa penulis favoritnya, Jeli menyebut beberapa nama seperti Yetti A KA, Norman Erikson Pasaribu, Triyanto Triwikromo, Dea Anugerah,  Sasti Gotama, Etgar Keret, Haruki Murakami, dan banyak lagi. Jeli menganggap karya-karya mereka memberinya inspirasi dalam menulis meski beberapa buku yang menjadi favoritnya justru bukan karya nama-nama tersebut. Jeli lebih menyukai Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dan Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang karya Luis Sapulveda (pengarang dan wartawan asal Chili yang pernah ditangkap dan disiksa oleh rezim diktator Augusto Pinochet).

Dalam menulis, Jeli lebih suka tema-tema realisme sosial, juga personal religius. Namun dia mengaku tak menjadikan dunia menulis sebagai pekerjaan utamanya, bukan semata-mata untuk mendapatkan materi. Dunia menulis baginya adalah tempat belajar tentang hidup. Belajar berpikir, belajar bermenung bahwa dunia ini tidak sekadar hitam putih, namun ada warna-warna lain di dalamnya.

“Jadi dengan menulis saya harus membaca. Kegiatan ini otomatis menambah pengetahuan dibanding sebelumnya. Saya seperti kembali ke sekolah karena harus membeli banyak buku lagi, dan membaca lagi,” jelas ibu dua orang putri yang sehari-hari merasa bahagia dengan melayani pembeli di toko kelontongnya di Rengat tersebut.

Menyukai Sastra tanpa Pamrih
Andreas Mazland baru saja menyelesaikan S-1 di Jurusan Sejarah FIB Universitas Andalas (Unand), tetapi dia punya potensi menjadi penulis yang baik dan kuat di masa datang. Pemuda kelahiran  Banda Aceh, 21 Juni 1997, dan Duri, Minas, dan Pekanbaru. Memiliki dasar menulis yang baik, terutama esai sejarah dan sosial, sebelum akhirnya tunak di genre puisi, juga cerpen.

Andre mulai belajar menulis saat masih mondok di Pesantren Alfadhlah Minas Jaya, Minas, Kabupaten Siak. Lewat surat-surat yang berisi puisi dan dikirimkan kepada seseorang yang disukainya di pondok pesantren tersebut, rambutnya sempat digunduli oleh para ustaznya. Menurutnya, karena di pondok pesantren tersebut tidak boleh menggunakan teknologi seperti handphone, maka menulis tangan adalah satu cara baginya untuk berkreasi dalam menulis.

Kebiasaan menulisnya itu kemudian terbawa saat menjadi mahasiswa di FIB Unand. Dia mendapatkan bimbingan dari seorang dosen yang juga hobi menulis di media, Dr Zaiyardam Zubir. Dia kemudian belajar menulis artikel sejarah dan sosial. Dan meskipun lebih dari 20 tulisan awalnya ditolak media, dia tetap bekerja keras belajar.

Namun artikel dan esainya kemudian dimuat di beberapa media seperti Haluan, Padang Ekspres, Koran Sindo, Tempo.co.id dan beberapa media lainnya. Beberapa esainya menarik perhatian Mochtar Naim (sosiolog), Taufik Ismail (sastrawan), Maizar Rahman (mantan Sekjen OPEC) yang membahas tulisan pertamanya yang dimuat di media, yakni “Minangkabau Hilang Minang Tinggal Kabau” dalam sebuah seminar di Bukittinggi. Tulisan Andre ada juga yang dijadikan bahan ajar, salah satunya di Binus University tentang kebudayaan surau dan lapau. Salah satu esainya juga pernah memenangkan Lomba Artikel Nasional The Columnist di Jakarta, tentang pandemi.

Namun setelah itu, dia mengaku tersesat di dunia sastra, terutama cerpen dan puisi. Dia merasa terlambat mendalami genre itu karena harus memulai dari nol, tetapi justru mendalaminya hingga sekarang. “Kegilaannya” pada puisi membuatnya bekerja keras untuk belajar dengan membaca karya penyair-penyair Sumatra seperti Esha Tegar Putra, Heru Joni Putra, Deddy Arsya, Boy Riza Utama, Marhalim Zaini, Taufik Ikram Jamil, dll.

“Tak lama kemudian, akhirnya puisi pertama saya terbit di media setelah saya bekerja keras untuk mengirim ke sana. Yang pertama terbit di Haluan, Padang,” ujar Andre.

Dia merasa pintu dunia puisi sudah terbuka untuk dirinya. Setelah itu puisi-puisinya mampu menembus media lain seperti Padang Ekspress, Singgalang, Tempo, Suara Merdeka, Media Indonesia dan media online lainnya. Beberapa puisinya juga termaktub dalam antologi bersama seperti antologi 115 Penyair Indonesia dalam Festival Puisi Bordir Umayah dan antologi Payakumbuh Poetry Festival 2021. Dia juga pernah terpilih sebagai nominator dan menghadiri festival puisi, seperti Payakumbuh Poetry Festival  2021 di Payakumbuh dan Festival Puisi Teuku Umar di Meulaboh 2022.

Dalam menulis puisi, Andre mengaku menyenangi tema-tema sejarah, tradisi, dan sosial. Dia tidak dapat terlepas dari tema-tema ini meski yang saya tulis adalah kisah romantis sekalipun.  Dalam pengolahannya terkadang dia menampilkan kejadian sebagaimana adanya, kadang juga dengan gugatan-gugatan yang tak terduga yang tidak terekam kisah sebenarnya. Kadang juga mengawinkan keduanya. Dengan kata lain, unsur realisme dan surealisme hadir seimbang dalam karya-karyanya.

Untuk saat ini Andre bergiat di banyak komunitas --karena masih harus terus belajar-- seperti Serikat Sastra Riau, Kalera Sastra, dan Sarangtampuo. Meski beberapa komunitas itu sayup-sayup aktivitasnya, tapi saya tetap bersyukur karena dari sana saya mendapat banyak teman dan mengukur diri sudah sejauh mana melangkah dalam dunia puisi.

Andre mengaku terpengaruh  oleh Nizar Qabani, baik syair cinta maupun politiknya, terutama dalam hal menngolah tema. Tapi, menurutnya, bahasa ucap yang digunakan dalam puisi tidak seperti Nizar. Salah satu buku Nizar yang menjadi favoritnya adalah Aku bersaksi Tidak Ada Perempuan Selain Engkau. Selain itu, Andre juga menyukai buku Hindia, Sebentang Peta Kumal karya Boy Riza Utama, Post Kolonial dan Wisata Sejarah dalam Sajak karya Zeffry Alkatiri, dan Dalam Lipatan Kain karya Esha Tegar Putra.

Terlepas dari dunia sastra yang tidak menjanjikan hari depan, terlebih di masa sekarang, dia mengaku semua hari muda yang dia habiskan di ranah sastra, memang dilandasi rasa senang. Yang jelas, katanya,  mencintai dunia ini justru tanpa alasan yang jelas. Tidak ada angka-angka yang disertakan padanya. Dia hanya ingin dikenang sebagai orang yang pernah hidup di suatu zaman. Entah sebagai penyair yang berbahagia atau malang.

“Meski keputusan itu membuat langkah saya rabun dan khayal tentang hari depan samar-samar. Toh, saya masih punya satu benak, dua tangan dan dua kaki untuk menghidupi satu badan atau beberapa badan lainnya di hari depan,” ujar Andre yang kini tunak sebagai peneliti di Pusat Analisa Data Sumatra tersebut.***


Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook