Marwah Sastra Melayu
Selain aspek bahasa, marwah Melayu juga terletak pada sastra. Pada masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, beberapa penulis muncul dengan berbagai karyanya. Beberapa nama yang tersohor adalah Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, Bukhari al-Jauhari, Syamsuddin al-Sumaterani, Abdul Rauf Singkel, Tengku Syiah Kuala. Merekalah yang menghasilkan kitab agama, sejarah, undang-undang, dan karya sastra berbahasa Melayu. Lahirlah Syair Melayu, Syair Dagang, Syair Burung Pingai, Bustanus Salatin, Taj al-Salatin, Hikayat Aceh (Abdullah, 2000: 254). Lain pula halnya dengan Kerajaan Johor-Riau-Lingga. Dari sini, lahir Tun Sri Lanang yang terkenal dengan karyanya Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), Raja Ali haji dengan Gurindam Dua Belas, Tuhfat al-Nafis, Bustan al-Katibin, dan Tsamarat al-Muhimmah.
Tradisi berkarya (sastra) dalam tamadun Melayu terus berkembang hingga abad ke-21. Khususnya Riau, pancang-pancang sastra itu terus menggeliat dengan sastrawan seperti Soeman Hs, Sutardi Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, Sudarno Mahyudin, Tennas Effendi, Taufik Effendi Aria, Ediruslan Pe Amanriza, Taufik Ikram Jamil, Rida K. Liamsi, dan sederet nama sastrawan muda yang terus menggeliat berkarya. “Puncak tamadun Melayu terletak pada sastra, baik lisan maupun tulisan,” tegas Braginsky, sarjana sastra Melayu asal Rusia.
Tentang sastra Melayu yang tertuang dalam berbagai bentuk manuskrip, Ding Co Ming menjelaskan bahwa manuskrip Melayu merupakan sumber maklumat pribumi Melayu, terutama tentang kerajaan Melayu, pendidikan, ilmu pengetahuan, surat-menyurat, dan undang-undang. Karya Melayu tradisional berjumlah 10.000 manuskrip yang tersimpan di 151 perpustakaan dan 57 negara, baik di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, dan Australia.
Karya-karya tersebut bergenre puisi, prosa fiksi, dan drama. Kenyataan ini membuktikan bahwa karya sastra Melayu memang telah mengangkat marwah bangsa ini ke jenjang dunia universal. Selanjutnya, Saleh dan Ming menjelaskan, setelah kejatuhan kerajaan Malaka pada 1511, kekuasaan politik Melayu agak goyah. Namun, bangsa Melayu tidak kehilangan kekuatan di bidang kebudayaan dan kesastraan hingga akhir abad ke-19. Pengarang Melayu menjadi saksi sejarah pelbagai konflik, interaksi dan pergolakan sosial, politik, agama, dan ekonomi. Oleh karena itu, manuskrip Melayu, baik bersifat sastra maupun sejarah menjadi mata air yang terbaik, banyak, dan sahih maklumatnya. Inilah pengakuan bahwa marwah Melayu ada pada bahasa dan sastranya.***
Musa Ismail lahir di Karimun, 14 Maret 1971, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMAN 3 Bengkalis, pengajar di STAIN Bengkalis. Saat ini, baru menghasilkan 4 buku cerpen, 2 novel, dan 1 buku esai sastra-budaya.