Secara historis, perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan-peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka 1380 M, maupun hasil-hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah-daerah di wilayah nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Ini sebagai bukti bahwa bahasa ini sangat adaptif. Bahasa melayu sebenarnya berakar dari bahasa Austronesia yang mulai muncul sekitar 6.000-10.000 tahun lalu, dan digunakan sebagai lingua franca (bahasa perhubungan) di Nusantara. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Bangsa dan pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa bahasa Melayu merupakan sagang yang menumbuhkan rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Sistem komunikasi dan interaksi sosial antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia dalam peristiwa terpenting Sumpah Pemuda.
Bangsa Indonesia tentu masih banyak yang belum mengetahui peranan bahasa Melayu. Bahkan, negara yang besar ini masih saja memandang Melayu sebagai etnik kecil. Dengan demikian, bahasa Melayu selalu dipandang oleh pemerintah pusat sebagai bahasa etnik tertentu. Padahal, secara empiris dan historis, Melayu merupakan suatu bangsa, bukan etnik. Hal ini berarti bahwa bahasa Melayu bukanlah bahasa etnik tertentu. Anggapan bahwa bahasa (Melayu) adalah etnik tertentu merupakan upaya pengerdilan dan pengelabuan sejarah peradaban nusantara. Memang bangsa Melayu (Riau) memerlukan upaya gigih untuk mendudukkan kembali bahasanya di singgasana Asia Tenggara sebagai usaha untuk menangkis pengerdilan dari berbagai pihak.
Bangsa dan pemerintah Indonesia seharusnya menyadari bahwa bahasa Melayu adalah bahasa Indonesia. Karena itu, kosa kata bahasa Melayu secara spontan harus dijadikan kosa kata bahasa Indonesia. Dalam ini, perlu adanya upaya pembaharuan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara komprehensif dengan memasukkan kosa kata Melayu, terutama kosa kata yang kadar penggunaannya makin sedikit (hilang). Selain itu, bangsa Melayu (Riau) sendiri pun seharusnya membentuk lembaga tersendiri seperti Balai Bahasa Melayu untuk menggali kosa kata bahasa ini agar lebih eksis di masa mendatang.