Melayu merupakan suatu bangsa, bukan etnis tertentu. Sebagai suatu bangsa, Melayu punya kekuatan, kebesaran, dan kedaulatan tersendiri sejak abad ke-7. Karena itu, jika memperbincangkan Melayu berarti kita sedang memperbincangkan sebagian besar kawasan Asia Tenggara. Secara geografis, kawasan ini meliputi negara Indonesia, Thailand Selatan (Provinsi Pattani, Songkla, Naratiwat, Chulalangkorn, dan Nakhon Sithammarat/Ligor), Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina Selatan, Champa (sekarang terletak di Vietnam Tengah). Kawasan-kawasan ini memiliki persamaan sejarah, agama, bahasa, sosial, budaya, dan adat-istiadat (Ismail Hussein, dkk. dalam Shomary, Tamadun, Edisi April 2011:10). Adanya anggapan bahwa Melayu merupakan etnis tertentu merupakan upaya pengerdilan sejarah bangsa melayu. Anggapan ini tentu saja tidak berterima di mata pakar sejarah Melayu atau nusantara.
Perjalanan tamadun Melayu telah mengukir sejarah monumental. Telah banyak kajian bahwa keagungan Melayu yang berkaitan dengan kerajaan sudah dimulai sekitar 1.600 tahun, yaitu berdirinya Kerajaan Kutai pada 380 M, dilanjutkan Kerajaan Melayu (Suwarnabhumi) dan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 yang berasaskan ekonomi perdagangan. Kerajaan inilah yang menguasai Selat Malaka sebagai jalur perdagangan antarbangsa. Dari sinilah mulai berkembang aspek bahasa dan sastra. Bahasa Melayu semakin dikenal dalam bahasa perdagangan (lingua frqnca). Dalam perkembangan selanjutnya, sastra Melayu pun tumbuh menjadi sastra yang mendunia. “Asas tamadun bangsa Melayu ialah bahasa dan sastra,” kata Braginsky. Puncak kejayaan marwah Melayu ketika agama Islam menyebar dan menyatu dengan kehidupannya pada abad ke-13.
Marwah Bahasa Melayu = Bahasa Indonesia
Bangsa Indonesia tidak akan melupakan peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Inilah peristiwa historis monumental yang tak patut alfa dari hati dan otak bangsa ini. Pergerakan pemuda1928 telah menancapkan tonggak nasionalisme yang agung bagi semangat persatuan di tanah air: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Inti falsafah ikrar ini menjadi tiang seri bagi kekuatan Indonesia di mata dunia. Jika tiang seri ini keboi, tunggulah kehancurannya. Karena itu, nilai-nilai kandungan falsafah ini selayaknya terus hidup dan dihidupkan di setiap nadi generasi muda melalui berbagai aktivitas yang mendorong ke arah tersebut.
Pada mulanya, butir ketiga dalam Sumpah Pemuda bukan mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dalam Kongres Pemuda Pertama yang berlangsung 30 April–2 Mei 1926, Muhammad Yamin, yang nantinya menjadi Sekretaris Panitia Kongres Pemuda Kedua pada 28 Oktober 1928, membahas tentang masa depan bahasa-bahasa Indonesia dan kesusastraannya. Muhammad Yamin menyatakan hanya ada dua bahasa, yakni bahasa Jawa dan bahasa Melayu, yang berpeluang menjadi bahasa persatuan.
Namun, Yamin yakin bahasa Melayu akan lebih berkembang sebagai bahasa persatuan. Pernyataan Yamin ini “diamini” Djamaludin, Sekretaris Panitia Kongres Pemuda Pertama. Walhasil, peserta kongres saat itu sepakat menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Namun, Mohammad Tabrani Soerjowitjitro menentang. “Bukan saya tidak menyetujui pidato Yamin. Jalan pikiran saya ialah tujuan bersama, yaitu satu nusa, satu bangsa, satu bahasa,” ujar Tabrani, seperti yang ia tulis dalam buku 45 Tahun Sumpah Pemuda seperti dilansir Laporan Khusus Majalah Tempo edisi 2 November 2008.
Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah. Seperti diungkapkan juga pada Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, Sumatra Utara, bahwa Bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia. Dalam beberapa sumber, terdapat beberapa alasan mengapa bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia.
Pertama, bahasa Melayu merupakan lingua franca di Asia Tenggara sejak abad ke-7, bahasa perhubungan, dan bahasa perdagangan. Kedua, sistem bahasa Melayu sangat sederhana, mudah di pelajari karena dalam bahasa ini tidak di kenal tingkatan bahasa, seperti dalam bahasa Jawa (ngoko, kromo) atau perbedaan bahasa kasar dan halus, seperti dalam bahasa Sunda (kasar, lemes). Ketiga, suku-suku yang lain dengan sukarela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Keempat, bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.