Oleh: Nafiah Al Marab
Sebuah karya sastra idealnya merupakan karya yang mampu membuka panca indera manusia untuk bisa difungsikan lebih maksimal. Karya sastra tak hanya singgah di hati. Kekuatannya mampu menggerakkan tangan yang diam, membuat mulut bungkam menjadi bicara, membuat mata terpejam menjadi beliak. Dalam konteks pemahaman ini, defenisi sastra akan dikaitkan dengan objek yang menjadi lingkungannya. Sebut saja alam, sebagai salah satu objek yang saat ini sedang santer digunakan orang sebagai perbincangan yang bergejolak di dalam karya sastra. Orang dulu menamakannya sastra tema lingkungan, dan saat ini definisi ini akan lebih kita kenal dengan istilah sastra hijau atau green sastra.
Sejak tahun 70-an, di negara-negara yang masyarakatnya peduli lingkungan. Misalnya di Brazil, Australia dan Amerika. Walau sebetulnya, Sastra Hijau telah ditulis sejak puluhan tahun yang lalu di berbagai benua. Sastra hijau disebut sebagai ekokritisisme. Yaitu, konsep kearifan ekologi yang dipadukan dengan karya sastra, demikian pendapat Cheryll Glotfelty dan Harold Fromm. Sastrawan Indonesia, Ahmad Tohari, menyebut Sastra Hijau sebagai Sastra Imani, yaitu sastra yang dapat meningkatkan kesadaran hidup bergantung pada alam (bumi dan seluruh isinya). Kesimpulannya, Genre Sastra Hijau ditulis untuk melestarikan bumi serta isinya dan menyelamatkan bumi dari kehancuran. Khususnya hutan tropis dan lingkungan hidup manusia.
Naning Pranoto dalam tulisannya menyebutkan bahwa sastra Australia, khususnya puisi, telah menyajikan Sastra Hijau sejak awal Abad 19 yang mereka sebut sebagai Era Sastra Kolonial. Puisi mereka dikenal dengan sebutan bush poetry dan penyairnya disebut bush poet. Kata bush jika diterjemahkan secara harafiah adalah "semak-semak". Dalam kenyataannya bush adalah hutan ringan khas Australia yang ditumbuhi aneka cemara, aneka gum, tanaman obat dan bunga serta aneka ilalang dialiri sungai-bunga berair bening. Bush selain dihuni oleh bushman, juga sebagai arena jelajah alam dan berkemah musim panas bagi warga Australia yang umumnya pemuja alam. Bush poetry dipelopori oleh Henry Lawson (1986 –1922), Banjo Paterson (1864-1941) dan Dorothea Mackellar (1885-1968).
Puisi-puisi karya ketiga penyair ini dijadikan bacaan wajib bagi pelajar tingkat dasar hingga pendidikan atas di Negeri Kanguru. Juga digubah menjadi lagu. Bahkan puisi karya Banjo Paterson yang berjudul “Walzting Matilda” menjadi lagu rakyat yang sangat populer. Bahkan dianggap sebagai "lagu kebangsaan tak resmi" dan dijadikan ilustrasi musik beberapa film Australia, hingga membuat lagu ini mendunia.