ALENIA - M. ROSYID H.W.

Titik Singgung Sastra dan Agama

Seni Budaya | Minggu, 07 November 2021 - 08:08 WIB

Beberapa teks karya sastra pernah dianggap melecehkan dan menistakan agama tertentu. Kritik-kritik sosial yang terpotret dalam suatu karya sastra ditengarai menyinggung salah satu pemeluk beragama. Hasilnya para penulis diboikot dan karya sastranya dilarang beredar. Ada yang berakhir di penjara atau dapat melenggang bebas dengan masih menyandang nama sebagai penista agama. Namun, ada pula penulis yang berjuang mati-matian mempertahankan karyanya bahwa sastra adalah karya imajinasi dan dunia rekaan hingga ia dielu-elukan karena menjadi pembaharu yang menjembatani hubungan sastra dan agama.

Teks sastra memang mengandung ranah intrepretasi yang terus berkembang seiring zaman. Setiap pembaca dari dimensi waktu dan tempat yang berbeda berhak untuk memaknai teks sastra dengan interpretasi masing-masing. Pernyataan Roland Barthes dengan The Death of Author “penulis mati setelah sebuah karya lahir” menjadi terbuka untuk diperdebatkan kembali. Memang penulis harus mempertanggungjawabkan hasil karyanya, tetapi penafsiran tunggal terhadap sebuah teks sastra juga menciderai kebebasan mencipta kreatif.  


Sastra dan Penodaan Agama
Novelis kenamaan Salman Rushdie menjadi pemberitaan dunia karena novelnya, The Satanic Verses (Ayat-Ayat Setan). Karya tersebut menyinggung umat muslim sedunia karena dianggap melecehkan Tuhan, Nabi, dan Malaikat dengan julukan yang tidak senonoh. Ia dicekal di beberapa negara. Bahkan, bahkan pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khomeini mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi Salman Rushdie. Beberapa pengusaha juga mengeluarkan sayembara dengan hadiah materi bagi yang berhasil “menyelesaikan” Salman Rushdie. Gelombang protes dari kalangan muslim bergejolak dimana-mana. Ketika melihat karya Salman Rushdie dipajang pada Frankfurt Book Fair di Jerman tahun lalu, Iran menyatakan keberatan dan menolak hadir dalam pesta buku sedunia itu.

Dalam kancah sastra Indonesia, beberapa karya sastra juga dianggap menodai agama hingga menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan. Salah satunya ialah cerita pendek karangan A.A. Navis yang berjudul Robohnya Surau Kami. Navis bercerita tentang Haji Saleh yang rajin beribadah seumur hidup berdialog dengan Tuhan. Dalam cerita tersebut Haji Saleh tidak terima karena dimasukkan ke neraka. Padahal, ia rajin beribadah siang dan malam. Tuhan pun menjawab bahwa Haji Saleh membiarkan dirinya dan anak cucunya melarat. Padahal, ia tinggal di Indonesia yang subur makmur. Cerpen ini mengkritik orang yang rajin beribadah siang malam, tetapi alpa terhadap kepedulian sosial. Bagi sebagian kalangan, cerpen ini terlalu keras mengkritik praktik keberagamaan yang dipandang suci nan agung bahkan menganggap A.A. Navis berdosa. Di lain sisi, cerpen ini juga dipuji karena mengomentari model beragama yang menitikberatkan kehidupan akhirat tanpa peduli kehidupan dunia melalui karya sastra.

Seorang penafsir Al-Qur’an harus sehat akidah, terbebas dari hawa nafsu, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis, merujuk perkataan sahabat Nabi Muhammad saw, merujuk perkataan tabiin, menguasai ilmu bahasa Arab...

Adapula novel Atheis Achdiat Karta Mihardja yang memotret penganut ideologi-ideologi dan pergumulannya pada masa awal kemerdekaan. Novel terbitan Balai Pustaka pada 1990 ini bercerita tentang Hasan seorang pemuda alim yang dididik oleh orang tuanya untuk berpegang kuat pada ajaran agama Islam. Namun, seiring pertemuannya dengan teman masa kecilnya, dia mulai belajar tentang marxisme, revolusi, dan juga komunisme. Ia pun juga mulai memasuki dunia pergerakan organisasi saat mengenal Kartini. Sebagai muslim, Hasan mulai mendialogkan kepercayaannya dengan ideologi lainnya, walaupun ia digambarkan sebagai tokoh peragu dan pembimbang.

Banyak orang alergi dan menjaga jarak dengan buku berjudul seperti ini. Bahkan, menuding novel ini akan membawa pembacanya menjadi atheis, tidak mengenal Tuhan atau jatuh pada lubang kekafiran. Namun, ada pepatah mengatakan Don’t judge the book from its cover ‘jangan melihat buku dari sampul dan judul bukunya.’ Setelah menyelami kata demi kata, novel ini secara filosofis memotret pergumulan antara barat-timur, modern-tradisional, dan Islam-marxisme. Alih-alih merekomendasikan buku ini untuk dibaca, banyak juga yang mengharamkan buku ini. Padahal, mereka belum membaca isinya sama sekali. So, sebelum menunjuk buku yang menodai agama atau membawa kita pada kegelapan kekafiran, mari kita telaah dahulu isi buku tersebut.

Hubungan sastra dan agama juga mengemuka saat Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, menerbitkan cerita pendek “Langit Makin Mendung” karya Ki Pandjikusmin dalam Majalah Sastra. Cerita ini menimbulkan polemik yang panjang dalam jagat sastra Indonesia pada 1968. Cerpen ini ditengarai menyinggung orang Islam karena imajinasi pengarang yang menampilkan Tuhan dan Nabi. Karya yang dimuat di Majalah Sastra Edisi VI No.8, Agustus 1968 ini mengundang respon banyak pihak. Bahkan, Hamka, sastrawan yang ahli agama, menilai bahwa cerita pendek ini menghina agama karena menampilkan tokoh Tuhan, Nabi, dan Malaikat. Walhasil, pimpinan redaktur Majalah Sastra, H.B. Jassin, haruslah bertanggung jawab dan diadili secara hukum. Polemik tentang kasus ini bergema begitu luas antara ahli agama dan pegiat seni di media massa hingga H.B. Jassin mengumpulkan tulisannya dalam buku Heboh Sastra 1968, suatu Pertanggunganjawaban yang berisikan kumpulan esai tentang hubungan karya seni dan kebebasan mencipta. Akhirnya, H.B. Jassin dijatuhi hukuman penjara bersyarat satu tahun walaupun Ki Pandjikusmin telah menulis surat permohonan maaf dan mencabut cerita pendeknya.

H.B. Jassin kembali “berulah” saat mencoba menafsirkan Al-Qur’an melalui puisi-puisinya melalui buku Bacaan Mulia pada tahun 1982. Banyak ulama mempertanyakan kemampuan H.B. Jassin dalam menerjemahkan kitab suci yang berbahasa Arab klasik, walaupun banyak pula masyarakat di akar rumput yang memuji keberaniannya dalam “membumikan” Al-Qur’an melalui puisi. Perdebatan mengemuka, H.B. Jassin dianggap kurang otoritatif dalam menafsirkan Al-Qur’an karena banyak syarat yang harus dimiliki oleh seorang penafsir Al-Qur’an (yang dipahami sekarang, seorang penafsir AL-Qur’an harus sehat akidah, terbebas dari hawa nafsu, menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan AL-Qur’an dengan hadis, merujuk perkataan sahabat Nabi Muhammad saw, merujuk perkataan tabiin, menguasai ilmu bahasa Arab, menguasai ilmu yang terkait dengan ilmu tafsir, dan memiliki pemahaman yang mendalam [Republika, 2020]). Dalam sebuah wawancara di Majalah Horison, Gus Dur membela Jassin bahwa terjemahan itu bukan terjemahan resmi, tetapi hanya bacaan (noble reading). Dalam tulisannya pula di Tempo (21 Agustus 1982) Gus Dur juga menyesalkan tidak terselesaikannya masalah ini secara mendalam. Padahal, isu ini mengangkat tema yang menarik tentang sesuatu yang indah secara manusiawi yang berhadapan dengan sikap formal agama.

Ruang pertemuan antara sastra dan agama akan terus saling talik ulur sepanjang peradaban manusia. Sebuah ruang terpajang luas di antara imajinasi, teks, dan interpretasi yang menimbulkan pemaknaan yang berbeda-beda bagi setiap pembaca. Hubungan keduanya bisa menjadi simbiosis mutualisme yang memperindah peradaban atau membuat pergolakan karena titik temu yang berlawanan. Di Indonesia, agar pergolakan itu tidak memicu perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, penulis eloknya bijak membaca situasi masyarakat Indonesia yang sangat beragam sebelum mengayunkan pena dan memainkan jemarinya. Ada pertanggungjawaban yang akan diminta, baik oleh pembaca, negara, maupun oleh Sang Pencipta pembaca pada akhirnya.***

 

M. Rosyid H.W., Mahasiswa Kajian Sastra dan Budaya, Pascasarjana Universitas Airlangga









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook