Repetisi pertarungan Marduk dan Tiamat, disalin dalam modus-modus lokal seperti yang maujud dalam tradisi tahun baru pada orang Hattite, bangsa Mesir, bangsa Ras Shamra. Semua dibungkus dalam scenario dramatic tahun baru. Pertarungan repetitif itu dirindangkan dalam bentuk perkelahian antara dua kelompok, yang bukan saja ingin menggambarkan konflik primordial Marduk versus Tiamat, ihwal ini sekaligus hendak mengulangi, reaktualisasi kosmogoni, perjalanan dari golak (chaos) menuju tata (cosmos). Semua itu dihajatkan untuk mendemonstrasikan keinginan kalenderis ke masa depan. Semua itu, juga berangkat dari sebuah idaman bersama demi “pembebasan masa lampau”, “restorasi kekacauan primordial”, sekaligus “pengulangan aksi kosmogonik”.
Ada masa berkabung; ketika Marduk turun ke neraka dan menjadi “tawanan di gunung”. Pada masa ini diwajibkan berpuasa untuk seluruh manusia, dan dirayakan dalam model karnaval besar yang berlangsung terbuka. Pengusiran setan dan penghapusan dosa pribadi dan komunitas tetap berlangsung melalui pengorbanan (hewan, maupun manusia). Lingkaran siklis ritual ini dikhatamkan lewat peristiwa hierogami dewa dengan sosok bernama Sarpanitu, dalam sebuah bilik seorang dewi. Perjalanan ritual itu adalah drama besar epic penciptaan sejak dari dominasi Tiamat; kemudian masa perendaman banjir bah yang dalam epic Gilgamesh disebut tokoh Ut-Napistim (mungkin semacam Nuh Langit atau Heaven Noah); yang menjelaskan unsur air dan rendam dalam permulaan hidup kembali. Kemudian siklik ini berkisah tentang penciptaan alam raya yang berlangsung “in illo tempore”, sebagai tanda permulaan tahun. Masuk tahap ketiga, di sini partisipasi manusia secara langsung, yang memproyeksi manusia masuk ke dalam waktu mitis, yang membuat dia hidup sezaman dengan kosmogoni. Pasase ke empat adalah festival nasib; bahwa nasib setiap bulan dan saban hari, ditentukan. Fase terakhir adalah fase hierogami, sebagai reaktualisasi mengenai “kelahiran kembali” (renata); baik dunia maupun manusia. Ihwal pasase ini, juga berlangsung dalam tradisi Yahudi dalam menyambut tahun baru sebagaimana citra “Kultus Jerusalem”.
Kini, di era kita, merayakan tahun baru masih tetap mengandalkan bebunyi dan cahaya yang bersilang-silang, menembak langit atau paling tidak lelangit. Cahaya dan bebunyi itu berlompatan dan saling berkejaran dari kota ke kota-kota dunia. Di sini hukum pasar mengenai pencapaian peradaban, tetap diukur dari seberapa gagah cahaya, seberapa ragam bebunyi yang dihajatkan menjadi penanda tentang garis maya demarkasi waktu; lampau dan akan. Di sini sejatinya terpola sebuah keinginan menghadirkan circumcision (pengkhitanan) sebagai penanda demarkasi waktu; baligh, dewasa, matang, bestari, jauhari. Inilah nada mitis dari “in illo tempore” itu, sebagaimana diarifi oleh orang Negro Amazulu bahwa pahlawan peradaban (Unkulunkulu) akan berkata gagah dalam gaya vivere pericoloso: “Biarkanlah lelaki dewasa itu dikhitan, supaya mereka tak menjadi kanak-kanak lagi”. Tahun baru, adalah khitan yang menuju penanda…***