Perkembangan kesusastraan modern barangkali merupakan angin segar bagi kesusastraan nasional. Wacana dan kegiatan-kegiatan sastra di kampus-kampus mulai digelar, Koran-koran mulai membuka lembar untuk memuat tulisan yang bergenre sastra, dan komunitas-komunitas yang berlabel sastra yang sudah mulai peduli terhadap masadepan kesusastraan nosional dengan diskusi-diskusi seputar dunia sastra.
Namun sebagai bangsa jajahan, kesusastraan kita dapat diyakini adalah perpanjangan sejarah kesusastraan barat. Medium penerbit Balai Pustaka yang mewadahi penulis-penulis Indonesia dalam menerbitkan tulisannya merupkan tanda tebal politik klonial. Misalnya dari buku-buku terbitan Balai Pustaka yang memang disaring ketat dalam meng-ekplorasi tema (tema yang bukan perlawanan), dan ketentuan-ketentuan lain yang dirasa mengekang penulis Indonesia. Yang lambat-laun pun terjadi perlawanan kecil dari penulis kita dalam penerbitan buku indipenden (di luar penerbit Balai Pustaka).
Hingga dari polemik sederhana itu, terjadi preodisasi kelanjutan sampai saat ini. Preodisasi kesusastraan kita dari Balai Pustaka sampai angkatan 45 kemerdekaaan, angkatan 66 sampai terakhir angkatan 2000 yang dirumuskan oleh Korrie Layun Rampan, termasuk bagian kemajuan dan tantangan kesusastraan nasional.
Sejarah kecil dari penerbit Balai Pustaka telah membuka pintu bagi kesusastraan kita untuk terus berjalan memasuki preodisasi-preodisasi sastra. Bisa disimak pengaruh dari angkatan-angkatan kesuastraan itu, dari Balai Pustaka ada karya Marah Rusli dengan roman Siti Nurbaya-nya yang sampai pada preodisasi saat ini masih dijadikan kiblat sebagai kajian sastra feminis, atau 45 dengan puisi-puisi eksistensialisnya Khairil Anwar, atau dengan angkatan 66 terbitnya lirisme dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Muhammad, atau angkatan 200o yang dipimpin Seno Gumira Ajidarma dengan cerpen-cerpen suerealisnya, menunjukkan sejarah kesusastraan Indonesia merupakan perpanjangan kesusastaraan barat.