Wanita paruh baya itu duduk di emperan rumahnya yang semi permanen. Ditemani anak keduanya, ia menceritakan suaminya yang mendekam di jeruji besi Rutan Sialang Bungkuk, Tenayan Raya karena kasus pembakaran lahan seluas 20x20 meter pada Maret 2019. Ia pun berharap keringanan atas vonis yang diterima suaminya.
PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Sorot matanya menahan pilu. Sesekali menyeka matanya dari buliran air yang keluar. Sambil menahan tangis, wanita yang diketahui bernama Zetma Ernawilis (64) itu sudah bersama sang suami Syafrudin sejak 1979.
Huniannya berada di Jalan Lintas Pekanbaru-Duri, Muara Fajar, Rumbai, Pekanbaru. Lewat sedikit tol Pekanbaru-Dumai sebelah kiri. Kedai harian. Di depannya jualan bahan bakar minyak. Rumahnya bercat hijau pada papan dan abu-abu pada tembok.
Ia tinggal bersama dengan anak ketiga dan kelima. Keduanya mengalami tuna daksa akibat kecelakaan yang menimpanya. Bahkan, anaknya hampir berada di ICU selama satu bulan. Selain itu, ia pun tinggal dengan anak kelimanya yang membantu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Kepada Riau Pos, Kamis (23/1) Zetma mengatakan, berharap vonis pada suaminya bisa sesuai dengan hukum yang berlaku dan hakim adil. "Hakim dapat adil dalam memberi putusan sidang," sebutnya dengan menyembunyikan tangisnya menghadap bumi.
Katanya, suaminya pun pernah mengalami kecelakaan pada sekitar enam atau tujuh tahun belakangan saat akan ke pasar. Kejadiannya, setelah kedua anaknya kecelakaan. Sehingga kaki suami tercintanya mengalami sedikit gangguan berjalan.
Sejak suaminya tersandung hukum, perekonomiannya pun turun drastis. Dulu, suaminya menderes karet di lahan yang terbakar (milik bosnya) itu. Karet itu dijual jika sudah 15 hari, hasilnya bisa mencapai 100 kg hingga 150 kg. Normalnya 100 kg. Harga per kilonya kisaran Rp6 ribu. Jika ditotalkan mencapai Rp900 ribu. "Dengan penghasilan seperti itu tidak cukup. Tapi ya bagaimana lagi. Sementara sekarang hanya mengandalkan hasil jualan kedai yang tak seberapa ini. Kalau dituntut Rp3 miliar dapat uang dari mana," ucap wanita tua yang miliki enam anak ini.
Sebagai informasi, sebelum menjadi petani kerja asongan, suaminya sudah bekerja di kebun itu sejak 1993. Menanam palawija seperti ubi, kacang dan cabai. Namun, kisah itu harus berakhir saat suaminya dipanggil polisi pada Maret 2019.
"Biasanya setiap pagi pukul 09.00 WIB suami saya pergi ke kebun dan menderes karet. Kini sudah tidak lagi. Sejak ditinggal, saya mencoba tanami lagi dengan cabai. Belum ada berbuah. Semoga dalam waktu dekat panen," tuturnya.
Saat sidang Selasa (21/1), ia ikut hadir. Kepada pengacaranya sangat memohon agar vonis pada suaminya bisa seringan mungkin atau bahkan jika bisa dibebaskan. "Saya shock sambil nangis karena tuntutan jaksa dan meminta pengacara agar bisa membela suami. Dan saya juga ingin hakim benar-benar adil saat sidang putusan selanjutnya," kisahnya.
Di waktu yang sama, anaknya yang nomor dua turut menceritakan, saat penangkapan ayahnya. "Waktu itu pukul 09.00 WIB ayah pergi ke kebun untuk bersih-bersih. Kemudian menumpukan hasil yang dibabat termasuk ada tumbuhan semak belukar kecil. Kemudian dibakar agar bersih sekitar pukul 11.00 WIB," paparnya.