Meski demikian, kata Yuri, banyaknya pasien asimptomatis ini juga harus diawaspadai dan diikuti oleh pelacakan kontak yang semakin masif. Karena sumber-sumber penularan baru semakin smar untuk ditemukan. ”Bahwa masih ada kemungkinan belum terdeteksi kasus positif tanpa gejala. Oleh karena itu penelusuran kontak dekat menjadi sesuatu yang penting. Kami yakin Dinkes daerah tracing positif,” kata Yuri.
Poin utamanya dalam momen kali ini bukanlah Indonesia yang melampaui Cina dalam hal jumlah kasus konfirmasi positif. Melainkan bagaimana upaya Indonesia untuk menurunkan tingkat penularan Covid-19. Dalam kondisi penularan yang sudah tinggi seperti saat ini, pemerintah baru akan memulai penerapan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.
Di saat yang sama, masyarakat makin abai dengan Covid-19. Tidak sedikit yang mengabaikan protokol kesehatan tanpa ada rasa takut tertular. Tidak seperti saat Hilya dan alumni Natuna pulang, di mana masyarakat begitu khawatir terular penyakit tersebut.
Bagi Hilya, pekerjaan rumah terbesar pemerintah adalah sosialisasi. Tidak cukup hanya sosialisasi melalui media massa dan media sosial. Pemerintah harus turun ke lapisan terbawah masyarakat untuk memberitahu betapa pentingnya menggunakan masker. Cara manual itulah yang diterapkan di Wuhan, tempat Hilya tinggal selama 1,5 tahun sebelum dipulangkan.
’’Hampir setiap hari ada pengumuman lewat speaker di lingkungan apartemen, mengingatkan untuk mematuhi protokol kesehatan,’’ tutur Hilya.
Bila ada yang nekat mengabaikannya, sudah pasti akan mendapat sanksi sosial. Orang lain tidak akan mau berdekatan dengan dia. Teknologi tidak digunakan untuk sosialisasi. Melainkan membuat zonasi personal. Semua warga baik lokal maupun asing wajib registrasi melalui aplikasi ponsel. Dari kondisi kesehatannya dia akan mendapatkan status merah, kuning, atau hijau. Hanya yang berstatus hijau lah yang boleh keluar rumah.
Sejak awal Cina menggunakan sistem penguncian atau lockdown. ’’Supermarket besar tidak boleh buka, hanya toko-toko kecil. Itu pun saya mengantre, bergantian untuk masuk ke toko,’’ ucap perempuan yang tinggal di Wuhan dalam rangka menempuh studi doctoral itu.
Di awal-awal, lockdown memang belum terlalu ketat. Namun seiring waktu, lockdown diperketat. Saat itulah, para relawan yang bekerja. Bila ada warga yang memerlukan sesuatu, tinggal menelepon ke relawan yang berada di lingkungan tempat tinggalk masing-masing. Mereka yang akan berbelanja sementara warga dilarang keluar sama sekali.
Saat karantina di Natuna, Hilya dan ratusan WNI lainnya memang dijaga asupan gizinya maupun kondisi kesehatannya. Namun, tidak dilakukan tes PCR kepada mereka. Karena saat itu WHO masih menginstruksikan hanya yang bergejala saja yang dites. Instruksi tersebut diikuti oleh Indonesia sehingga Hilya dan lainnya tidak dites.
Co-Founder Kawal Covid-19 Elina Ciptadi menjelaskan, kekurangan utama dalam penanganan Covid-19 di Indonesia adalah minimnya tes PCR. Sehingga sampai saat ini pemetaan epidemiologis juga belum bisa maksimal. Total orang yang dites hingga kemarin baru mencapai 697 ribu. Dengan kemampuan tes di kisaran 20 ribu per hari.
Kemampuan itu masih jauh dibandingkan Malaysia yang menurut dia 30 ribuan per hari. Padahal, jumlah penduduk Indonesia sembilan kali lipat dari Malaysia. ’’Harusnya yang dites di Indonesia minimal 270 atau 300 ribu perhari,’’ terangnya. Nyatanya, Indoensia masih sangat jauh untuk bisa mencapai angka pemetaan tersebut.
Maka, dia mengapresiasi langkah pemerintah yang fokus pada tracking, tracing, dan treatment. Pihaknya mendorong pemerintah untuk benar-benar berkomitmen enegan kebijakan tersebut. Tidak sebatas lip service. ’’Ketika pemerintahnya serius, kita akan jadi ikut serius,’’ lanjutnya.