SURABAYA TERGOLONG PARAH

Kota Besar, Partisipasi Pemilih Kecil

Politik | Jumat, 11 Desember 2015 - 08:26 WIB

Kota Besar, Partisipasi Pemilih Kecil
Arief Budiman

Sosok yang berbekal popular saja, menurut Refly, belum jaminan. Ia mencotohkan ketika Joko Widodo bertarung di pemilihan gubernur DKI Jakarta. Menurutnya tingkat partisipasi pemilihnya hanya sekitar 60 persen. Padahal rata-rata di daerah-daerah lainnya, partisipasi bisa menjadi 70 persen lebih. ‘’Itu Jokowi padahal. Kita tahu dulu popularitasnya seperti apa,’’ katanya.

Meskipun partisipasi rendah saat pilkada berlangsung, masyarakat perkotaan cenderung rewel ketika kandidat sudah dilantik. ‘’Kontrol terhadap kebijakan kepala daerah, justru lebih kuat masyarakat perkotaan,’’ katanya. Ada kebijakan yang tidak cocok sedikit, partisipasi masyarakat perkotaan untuk mengkritisi semakin besar. Berbeda dengan masyarakat di pedesaan yang cenderung tidak ikut campur mengkritisi kebijakan kepala daerahnya.

Baca Juga :Pemilu di Indonesia Paling Singkat Sekaligus Paling Rumit

CEO Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan mengatakan, tingkat paritisipasi masyarakat perkotaan dalam pilkada yang rendah itu pemandangan lama. ‘’Semakin paham politik, semakin banyak nanya. Semakin kritis,’’ jelas dia. Ujung-ujungnya ada persaan tidak cocok kepada seluruh calon. Sehingga akhirnya memilih tinggal di rumah atau berlibur bersama keluarganya.

Peneliti Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby mengatakan KPU perlu mengevaluasi sejumlah kebijakannya terkait rendahnya angka partisipasi publik. Salah satunya kebijakan pencetakan dan pemasangan alat peraga kampanye (spanduk, baliho dan sejenisnya) yang dilakukan sendiri oleh KPU.

’’Kami melihat hal itu mengurangi euforia pilkada sekarang ini,’’ ujarnya. Dia mencontohkan kebijakan pemasangan alat peraga satu desa satu alat peraga. Padahal desa tersebut wilayahnya cukup luas. Akhirnya sosialisasi pilkada dan para kontestannya tidak terbaca masyarakat.

Namun, LSI menyebut hal itu bukan faktor utama. Yang utama menurut mereka ialah geliat kontestasi para kandidat sendiri. Lantaran banyak kandidat yang kekuatannya tidak sepadan dengan petahana, maka persaingan merebut suara publik kurang sengit. ’’Kalau persaingan antar kandidat sengit, mereka pasti berebut pemilih seluas-luasnya,’’ terang Adji.(byu/bil/wan/gun/wan/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook