Selain itu, pendidikan money politics juga harus diberikan agar pesta demokrasi bisa berjalan dengan lebih adil. Menurut pengamatannya, ekspektasi masyarakat terhadap imbalan untuk memilih kepala daerah ada Pilkada Serentak 2015 menunjukkan peningkatan. Padahal, hal tersebut bisa menimbulkan kesan bahwa sang kandidat sudah membeli suara dan kurang bertanggung jawab dalam masa kepemimpinannya.
‘’Kalau dibilang faktor, ini juga bisa dikaitkan dengan kurangnya keaktifan masyarakat urban. Karena banyak yang sudah mampu, uang pun juga tak mendorong mereka untuk memilih. Tapi, mereka juga harus dididik, jangan mengharapkan amplop dari suara mereka,’’ ujarnya.
Pengamat politik sekaligus pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan minimnya partisipasi masyarakat perkotaan di Pilkada Serentak 9 Desember lalu memang sebuah paradoks. ‘’Paradoksnya, semakin tinggi tingkat kesadaran politiknya justru semakin rendah partisipasi mencoblosnya,’’ katanya kemarin.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Tetapi juga di negara-negara yang tergolong maju. Mereka sudah tahu calonnya tidak bisa diharapkan, tidak bisa mengubah apa-apa. Jadi ada unsur ketidakpedulian. ‘’Bagi para profesional, dianggap tidak ada dampak terhadap bisnis mereka,’’ jelasnya.
Sebaliknya, menurut Refly, tingkat partisipasi masyarakat di pedesaan tinggi karena masyarakat menyambut pemilu sebagai pesta akbar. Pemilu masih direspon dengan begitu antusias. Selain itu sifat komunal masyarakat pedesaan juga ikut mendorong berbondong-bondongnya orang mencoblos di TPS.
Solusi meningkatkan partisipasi di daerah perkotaan menurut Refly, tidak lain adalah sistem pengkaderan di internal partai. Partai-partai yang akan bertarung di daerah perkotaan, harus menyiapkan kadernya yang benar-benar unggul. Sehingga bisa mencari semacam oase bagi penduduk perkotaan. ‘’Efeknya tingkat partisipasi bisa naik,’’ jelas dia.