Berbagai hal ditengarai menjadi penyebab minimnya pemilih di sejumlah daerah. Komisioner KPU Arief Budiman menuturkan, pihaknya membagi kemungkinan penyebab minimnya partisipasi pemilih menjadi tiga. Pertama, pemilih tidak mengetahui apabila pemungutan suara pilkada dilaksanakan pada 9 Desember.
‘’Kalau itu penyebabnya, berarti KPU yang salah, tidak mampu menyosialisasikan dengan baik,’’ ujarnya di KPU, Kamis (10/12). Minimnya sosialisasi bisa karena macam-macam hal bisa karena KPU di daerah itu memang malas, atau anggaran sosialisasi yang minim sebagai dampak keterbatasan anggaran operasional pilkada.
Faktor kedua, partisipasi pemilih minim justru karena mengetahui betul informasi pilkada, termasuk para calon yang berlaga. Mereka memutuskan golput sebagai bentuk kekecewaan karena calon yang ada dinilai tidak baik. Apabila hal itu terjadi, maka partai politiklah yang menjadi penyebab karena tidak bisa menyediakan calon pemimpin yang dipersepsi baik oleh pemilih.
Faktor ketiga adalah akibat keadaan. Arief mencontohkan, misalnya ada satu keluarga yang hendak berangkat ke TPS, namun tiba-tiba salah satu anggota keluarga mengalami kondisi darurat yang membuat mereka urung berangkat ke TPS. ‘’Kalau kondisi darurat itu terjadi sampai pukul 13.00, pasti mereka golput,’’ lanjutnya. Atau bisa juga sebagian pemilih yang bekerja jauh di luar daerah tersebut, sehingga tidak mungkin pulang untuk mencoblos.
Dengan demikian, menurut Arief. KPU tidak bisa sepenuhnya disalahkan apabila partisipasi pemilih minim. ‘’Kami kan tidak mungkin menanyai satu per satu alasan pemilih, kok Anda tidak menggunakan hak pilih,’’ tutur mantan anggota KPU Jatim itu.
Dia menambahkan, KPU masih menunggu rekapitulasi total dari seluruh daerah untuk bisa melihat tingkat partisipasi pemilih. Apabila memang di bawah target, tentu menjadi bahan evaluasi, khususnya untuk pelaksanaan pilkada 2017 dan 2018. Sebagai gambaran, pada pilkada 2010 di 244 daerah, partisipasi pemilih rata-rata mencapai 60 persen.