HARY B KORIUN

Narco (1)

Perca | Minggu, 29 Januari 2023 - 11:12 WIB

Narco (1)
Hary B Koriun (ISTIMEWA)

“Hampir segera dirasakan bahwa menulis dan meliput berita dapat berubah menjadi kematian. Bukan saja terhadap diri saya, tapi juga terhadap setiap orang yang bekerja di surat kabar...”
--Maria Jimena Duzan

ENAM orang bersenjata senapan serbu masuk ke sebuah restoran di Cimitarra, Provinsi Santander, Kolombia, di sebuah malam  pada 26 Februari 1990. Mereka --yang merupakan anggota kelompok kriminal Puerto Boyaca-- melepaskan tembakan ke segala arah yang menewaskan tiga pemimpin organisasi petani yang baru didirikan --Association of Agricol Workers of the Carare (ATCC)-- yakni Josué Vargas, Saúl Castañeda, dan Miguel Ángel Barajas. 

Baca Juga : Napoleon

Silvia Margarita Duzan, wartawati yang sedang membuat proyek dokumenter tentang kegiatan organisasi itu, ikut tewas terkena berondongan peluru. Dia sedang bekerja untuk Canal 4 yang berpusat di London, ketika terbunuh. Dia tertarik dengan perlawanan damai organisasi petani di Cimitarra itu melawan tuan tanah, gembong obat bius, dan kelompok pasukan kriminal bersenjata, termasuk Puerto Boyaca, yang memperebutkan kawasan itu.

Seperti ditulis Fundamecion Para La Libertad de Prensa atau The Fundation for Press Freedom (FLiP) dalam laman flip.org.co, Silvia dan para pimpinan organisasi petani di Midle Magdalena Valley (Lembah Tengah Magdalena), hanyalah bagian kecil dari ribuan orang yang terbunuh oleh gembong narco –sebutan bagi pengedar narkotika-- di Kolombia, sebelum atau sesudah peristiwa tersebut. Silvia juga bukan satu-satunya jurnalis yang tewas oleh kartel narco. Masih banyak lagi nama jurnalis yang terbunuh, hampir sama dengan jumlah hakim, jaksa, polisi, politisi, atau rakyat kebanyakan yang menjadi korban kartel tersebut.

Maria Jimena Duzan, kakak kan­dung Silvia, merasa sangat sedih ketika mengingat hari-hari terakhir dia ketemu adiknya itu sebelum tewas. Sang adik lebih sering tersenyum dan tertawa dalam obrolan ringan dengannya sebelum kemudian pergi untuk urusan pembuatan film dokumenter tersebut. Jika adiknya bekerja sebagai wartawan lepas di beberapa media internasional, Maria bekerja untuk El Espectador, salah satu harian terbesar di Kolombia yang berpusat di ibu kota Bogota. Maria lebih banyak menulis kolom, selain tugasnya sebagai seorang peneliti --semacam lembaga litbang media-- dan banyak ikut melakukan tugas investigasi. 

Investigasinya tentang hubungan para bos narco dengan para perwira tinggi polisi dan militer, membuatnya mendapat ancaman pembunuhan berkali-kali. Bahkan, secara guyon, dia pernah berkata: “Saya merasa seperti telah mendapatkan gelar PhD dalam hal kematian,” katanya merujuk pada banyak peristiwa yang membuat nyawanya nyaris melayang. Padahal dia sudah tinggal berpindah-pindah rumah dengan alamat yang dirahasiakan. Termasuk harus beberapa lama hidup dalam pengawalan khusus. Namun ancaman bom ke rumahnya tetap terjadi. Ia akhirnya menetap di Paris, dan bekerja dari ibu kota Prancis itu.

Teror terhadap jurnalis, memang benar-benar menakutkan. Empat tahun sebelum Silvia tewas, penerbit sekaligus Pemimpin Redaksi El Espectador, Giulermo Cano Isaza, ditembak mati ketika pulang dari kantornya, 17 Desember 1986 di Bogota. Orang Pablo Escobar pelakunya. Kesalahan Cano adalah memberi izin –bahkan menyuruh— medianya menulis dukungan kepada Presiden Virgilio Barco Vargas yang menyetujui perjanjian ekstradisi antara Kolombia dan Amerika Serikat (AS) yang membuat para pengedar obat bius bisa dikirim ke AS untuk diadili dan dihukum di sana. Di El Espectador, nama para bos kartel obat bius seperti Pablo Escobar –yang menguasai kartel Medellin dan ketika itu menjadi anggota kongres— disebut. Selain itu, ada  nama bos kartel lainnya seperti  Carlos Lehder dan Jorge Luis Ochoa. Aliansi para bos kartel ini membuat “pasukan khusus” bernama Muerte a Secuestradores (Death to Kidnappers/MAS) 

 MAS inilah yang melakukan teror kepada semua orang yang dianggap menentang. Maria salah satu yang diincar. Juga seluruh jurnalis dan media yang berani memberitakan kartel. Tiga tahun sebelum kematian Cano, sebuah bom meledak di rumah Maria. Beberapa menit setelah bom itu meledak, seseorang menelponnya dan mengancam: “Bom itu dikirim oleh MAS: Kematian bagi Kidnappers (sebutan bagi para penentang kartel). Bom berikutnya akan membunuh kamu!”

Cano adalah jurnalis pertama yang tewas oleh narco, baik di tangan MAS atau pasukan kartel lainnya. Ada 41 wartawan Kolombia yang dibunuh kartel setelah kematian Cano. Kondisi ini menimbulkan ketakutan yang luar biasa bagi kalangan pekerja media. Jika organisasi penjahat terorganisir lainnya, misalnya mafia  Sisilia, membunuh petugas hukum seperti polisi, jaksa, hakim, atau sesama mafia karena persaingan, sangat jarang mereka menyerang dan membunuh jurnalis. 

Koran El Espectador sepertinya menjadi musuh utama narco. Hampir seluruh pekerja media itu --tak peduli wartawan atau pegawai biasa— mendapat teror. Beberapa bulan setelah kematian Cano, salah seorang wartawan  koran itu dibunuh di Leticia ketika sedang investigasi tentang bagaimana kelompok narco  menyelundupkan narkoba dari Brazil dan Peru ke Kolombia. Maret 1989, pengacara media itu juga dibunuh. Pada 2 September 1989, bom dahsyat diledakkan di depan kantor pusat El Espectador di Bogota. Tak ada korban jiwa dari media itu karena meledak di pagi hari saat kantor kosong meski kerusakan  parah terjadi, tetapi membuat 80 lebih  orang yang sedang mengantri bus di halte, terluka.

Pada Oktober di tahun yang sama, manajer distribusi dan sirkulasi koran itu ditembak di Medelin. Sebelum pembunuhan, kelompok Narco  menelpon. Mereka meminta koran El Espectador ditarik dari jalanan di Medellin. Ancaman yang terus terjadi selama setahun yang membuat ketakutan. Namun setelah itu, pada Agustus 1990, El Espectador kembali beredar di Medellin. 

Baca Juga : Pers Bebas

“Peredaran koran kami kembali di Medellin adalah bukti bahwa El Espectador, juga pers Kolomboa, tak terkalahkan, meski kami tetap hidup dalam ketakutan. Sewaktu-waktu, nyawa kami tetap bisa lenyap tanpa meninggalkan pesan apa pun seperti apa yang terjadi pada adik saya, Silvia…” kata Maria.

Di bagian bumi lainnya, lawan media dalam ikut menegakkan demokrasi kebanyakan adalah pemerintah yang tiran. Di Kolombia, media harus berhadapan dengan kriminal bersenjata seperti kartel obat bius ini: narco.***


 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook