SEBAGAI genre sastra yang dianggap paling baru, kekuatan prosa pendek berada pada kemampuan para penulisnya menerjemahkan realitas masyarakatnya, yang akan menimbulkan tafsir-tafsir yang berbeda dari para pembacanya. Cerpen-cerpen penulis asing seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, Yasunari Kawabata, Victor Hugo, Charles Dickens, Maxim Gorxi, Jean-Paul Satre, Franz Kafka, Alexander Pushkin, Nikolai Gogol dan lainnya, sudah lama menyihir kita.
Persoalan-persoalan manusia yang diceritakan membawa kita pada pemahaman yang berbeda-beda, yang semakin menjelaskan bahwa manusia memiliki masalah masing-masing dan kita tidak tahu jalan keluar apa yang harus dipilih untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Kisah-kisah sederhana tetapi kadang pemahamannya tak sesederhana cerita itu.
Di Indonesia, cerpen mendapat tempat yang sangat tinggi, seiring sejalan dengan genre lain seperti novel dan puisi yang tumbuh subur. Hampir setiap Sabtu-Ahad, hampri semua media arus utama Indonesia menyediakan ruang untuk cerpen. Dan di setiap akhir pekan, seolah-olah masyarakat sastra kita (terutama penggemar cerpen, karena kadang ada media yang memuat cerpen tetapi tak memberi ruang untuk puisi) menganggapnya sebagai “hari cerpen”.
Kita banyak memiliki penulis cerpen yang bagus dan diakui secara universal. Sekadar menyebut nama, AA Navis, Budi Dharma, Kuntowijoyo, Satyagraha Hoerip, Putu Wijaya, Danarto, Seno Gumira Ajidarma, Triyanto Triwikromo, Agus Noor, Linda Christanty, Raudal Tanjung Banua, Taufik Ikram Jamil dan lainnya, adalah penulis-penulis cerpen terkemuka kita.
Meski menjadi salah satu genre sastra yang banyak ditulis dan disukai orang, tetapi nasib cerpen masih berada di “pinggiran” ketika dihadapkan dengan novel atau puisi. Puisi dianggap sebagai “engkong”-nya sastra, sedangkan novel –karena memiliki ruang yang luas— memungkinkan para penulisnya bisa menuangkan ide-ide besar yang membuat karya mereka nantinya juga sebagai karya “besar”. “Kebesaran” inilah yang sejak lama menjadi perdebatan para kritikus ketika ketiganya dipersandingkan atau diperlombakan.
Hal itu juga yang terjadi ketika Nobel Sastra nyaris tak menyentuh para cerpenis. Ketika Kawabata meraih Nobel Sastra tahun 1968, ukuran yang ditarik darinya bukan karena cerpen-cerpennya, tetapi lebih para karya-karya novelnya. Begitu juga dengan Ernest Hemingway (1954), dan beberapa nama lainnya yang lebih sering menulis novel dan hanya “sedikit” menulis cerpen.
Di Indonesia, keadaannya juga hampir serupa. Meski tak seekstrem Nobel Sastra, tetapi penghargaan terhadap karya puisi dan novel –meski batasnya agak sumir— dianggap lebih besar. Banyak kalangan menganggap, membaca cerpen hanya untuk menemani minum kopi pagi sambil merokok, dan belum menjadi bacaan yang memang diinginkan secara intelektual.
Pada 10 Oktober 2013, ketika Alice Ann Munro dinobatkan sebagai peraih Nobel Sastra 2013 oleh Royal Swedish Academy of Sciences, banyak orang terkejut. Namanya memang sempat disebut-sebut, namun banyak orang tak yakin, termasuk bursa taruhan di banyak tempat yang tidak menjagokan perempuan kelahiran Ontario, Kanada, 10 Juli 1931 ini. Sejarah Nobel Sastra tak pernah berpihak kepada para sastrawan yang “hanya” menulis cerpen.
Sekadar contoh terdekat, dalam sepuluh tahun sebelum Munro, mereka yang meraih Nobel Sastra bukanlah penulis cerpen. John Maxwell Coetzee (Afrika Selatan, 2003), adalah novelis yang sapanjang hidupnya berkutat dengan masalah apartheid di negaranya. Elfriede Jelinek (Austria, 2004) juga novelis yang karya-karyanya cendrung sangat pribadi dan absurd. Harold Pinter (Inggris, 2005) lebih dikenal sebagai dramawan. Tahun 2006, Orhan Pamuk (Turki) dianggap novelis kontroversial yang bahkan tak disukai oleh pemerintahnya karena karya-karya dan komentarnya sering menyerang Pemerintah Turki. Doris Lessing (Inggris, 2007) merupakan salah satu novelis perempuan terkuat Inggris saat ini.
Tahun 2008, Jean-Marie Gustave Le Clézio (Perancis) adalah seorang penulis yang telah merilis 30 judul lebih novelnya. Herta Müller (Jerman, 2009) seorang novelis yang dalam novel-novelnya bercerita bagaimana beratnya hidup di Rumania pada masa pemerintahan diktaktor komunis Nicolae Ceausescu. Lalu, tahun 2010, Mario Vargas Llosa (Peru) dikenal novelis sekaligus politikus yang pernah mencalonkan diri sebagai presiden. Tahun 2011, Tomas Tranströmer (Swedia) merupakan seorang penyair dan penerjemah sastra, orang Swedia pertama yang meraih Nobel Sastra. Tahun 2012, Mo Yan (Cina) dengan realisme halusinasinya menggabungkan cerita rakyat, sejarah, dan kontemporer ke dalam novel, adalah orang Cina pertama peraih penghargaan ini.
Lalu, di mana posisi para cerpenis? Mereka nyaris tak dianggap “ada”. Keberhasilan Munro seolah mematahkan anggapan bahwa cerpen tidak lebih unggul dari genre lainnya. Tahun 2013, masyarakat sastra dan media lebih menjagokan dua nama novelis yang memang lebih terkenal dibanding Munro: novelis Jepang, Haruki Murakami, dan novelis yang juga jurnalis Belarusia, Svetlana Alexievich (mendapatkan Nobel tahun 2015).
Selama ini, kritik mengarah ke karya yang bercita rasa Eropa. Sudah menjadi pembicaraan sangat luas, bahwa sastrawan besar asal Afrika atau Asia seperti Nawal el Saadawi (Mesir), Assia Djebar (Aljazair), Ko Un (Korea Utara), sastrawan Suriah, Ali Ahmad Said Esber, Ngugi wa Thiong’o (Kenya), dan yang lainnya, seolah tak dilirik. Itu juga yang membuat sastrawan besar kita Pramoedya Ananta Toer hingga akhir hayatnya tak pernah mendapatkan penghargaan ini meski beberapa kali namanya “disebut”.
Ketika Munro dimenangkan tahun 2013, mestinya ini menjadi pesta para cerpenis di manapun berada, bahwa genre ini mulai “diakui” kekuatannya. Power of short. Bahwa cerpen, mau tidak mau, harus disejajarkan dengan kedua “kakaknya”, puisi dan novel, yang selama ini menguasai penghargaan sastra paling bergengsi di dunia ini.
Munro, yang sejak usia 11 tahun sudah memilih jalan hidupnya sebagai penulis cerpen, dikenal sebagai pendongeng yang baik, dengan ciri kejelasan dan realisme psikologis. Ia mulai menulis saat remaja, namun baru menerbitkan buku pertamanya tahun 1968, kumpulan cerita berjudul Dance of the Happy Shades, yang cukup mendapat perhatian di Kanada. Kejernihannya dalam bercerita dengan penekanan pada kelemahan-kelemahan manusia, membuat Munro dianggap sebagai Anton Chekhov-nya Kanada. Karya-karyanya yang lain adalah Who Do You Think You Are? (1978), The Moons of Jupiter (1982), Runaway (2004), The View from Castle Rock (2006), Too Much Happiness (2009), dan Dear Life (2012).***
Hary B Kori’un, Riau Pos, 12 Oktober 2013