HARY B KORIUN

Sastra Koran (2)

Perca | Minggu, 27 Agustus 2023 - 14:30 WIB

Sastra Koran (2)
Hary B Koriun (RIAU POS)

SEJAK dulu hingga sekarang, media massa tetap dianggap penting sebagai tempat “lahirnya” sastrawan dan karya sastra yang berkualitas. Simbiosis mutualisme yang saya maksud dalam hal ini adalah, bahwa media tetap merupakan sebuah tempat yang diperlukan oleh para penulis untuk mengaktualisasikan diri dan karyanya. Sementara media juga membutuhkan karya sastra tersebut sebagai sebuah simbol dari intelektual sebuah media. Karya sastra dan telaah sastra-budaya-seni adalah karya intelektual yang lahir dari pencarian dan perenungan. Media membutuhkan hal ini sebagai sebuah legitimasi, bahwa media juga ingin memperlihatkan tingkat intelektualnya dan berbudaya, agar tidak menjadi media bar-bar --istilah Jassin untuk media yang tak memiliki rubrik budaya-sastra--.

Riau, sebagai negeri di mana budaya Melayu sebagai alasnya --yang menjadi dasar dan rujukan awal bahasa Indonesia-- sejak lama memiliki sastrawan yang tidak hanya berkutat dan dikenal dalam skala lokal, tetapi juga nasional dan regional. Sudah sejak lama sastrawan seperti Raja Ali Haji, Soeman Hs, M Kasim, Hasan Junus, Taufik Ikram Jamil, BM Syamsudin, Rida K Liamsi, Fakhrunnas MA Jabbar, Ediruslan Pe Amanriza, Makmur Hendrik, Husnu Abadi, Gde Agung Lontar, Abel Tasman, Sudarno Mahyudin, dan lain-lain, dikenal luas. Mereka tidak hanya membesarkan sastra Riau, tetapi juga sangat dikenal di wilayah Semenanjung, seperti Singapura, Malaysia, atau Brunei Darussalam. Kedekatan budaya membuat polarisasi ini terjadi. Karya-karya mereka tidak hanya terbit di Riau atau Jakarta, tetapi juga di negara-negara tetangga tersebut.  

Baca Juga : Pers Bebas

Lalu, apakah sastrawan Riau hanya mereka?  Sastrawan Riau terus mengalami regenerasi. Nama-nama seperti Marhalim Zaini, Olyrinson, Budy Utami, Hang Kafrawi, Syaukani Al Karim, Kazzaini Ks, Musa Ismail, M Badri, Sobirin Zaini hingga generasi milinial terkini seperti Maymoon Nasution, Boy Riza Utama, Cikie Wahab, Alpha Hambaly, Cahaya Buah Hati, Windy Syahrian Djambak, Jeli Manalu, dan yang lainnya, terus tumbuh dan berkarya. Mereka mampu menyeruak di antara nama-nama besar sastra Indonesia dan karya mereka dimuat di berbagai media massa, lokal maupun nasional.

Di masa sebelum Riau Pos terbit harian dan menyediakan halaman budaya-sastra, Riau hanya menjadi tempat pemasaran media-media dari Sumbar dan Sumut. Di masa itu, bukan hal yang aneh kalau masyarakat Riau bacaan surat kabarnya adalah Harian Haluan, Singgalang, Semangat, dan Mingguan Canang (Sumbar), atau media-media dari Sumut seperti Waspada, Analisa, Sinar Indonesia Baru, Medan Pos, dll.

Sastrawan Hasan Junus, pernah bercerita, ketika Riau belum punya koran harian, para sastrawan Riau seperti dirinya, Fakhrunnas MA Jabbar, Husnu Abadi, Ediruslan Pe Amanriza, Idrus Tintin dan yang lain, harus berjuang keras bertarung dengan penulis lainnya di koran Haluan (Padang), dan media-media Jakarta. Penulis perlu tempat untuk menyiarkan naskahnya, dan itu tak peduli di mana. “Ketika itu honornya kecil, tapi bukan itu tujuan kami. Kami harus berkarya dan menyiarkan karya itu. Persaingan di Padang sangat ketat karena di sana juga banyak penulis bagus...” kata Hasan Junus.

Di samping itu, para sastrawan itu juga berupaya menerbitkan media sastra dan budaya sendiri. Beberapa majalah budaya dan sastra yang terbit di masa itu antara lain Menyimak, Sagang, dan Berdaulat. Sayangnya, media-media tersebut kini sudah tak terbit lagi. Terakhir, Sagang masih terbit versi daringnya, tetapi sejak akhir 2019, Sagang versi daring juga tak terbit lagi.

Baca Juga : Al azhar (2)

Namun yang menarik dalam kondisi tersebut –saat Riau belum memiliki media harian dan juga pastinya tak ada halaman sastra dan budaya— para sastrawan Riau mampu tumbuh dan berkembang dengan baik dan juga bersaing dengan para sastrawan dari daerah lain. Di masa itu, ini masih dari cerita Hasan Junus, dia dan teman-teman seangkatannya seperti Husnu, Ediruslan, BM Syamsudin, atau generasi sedikit di bawahnya seperti Fakhrunnas dan Taufik Ikram, mampu bersaing dengan para sastrawan dari Sumbar seperti Abrar Yusra, AA Navis, Wisran Hadi, Chairul Harun, Harris Effendi Thahar atau generasi di bawah mereka seperti Gus tf Sakai, Yusrizal KW, Wannofri Samry, Iyut Fitra, dan nama lainnya. Para sastrawan Riau itu silih berganti karyanya dimuat di media-media Jakarta juga –yang memang masih menjadi barometer karya sastra--  seperti Kompas, Media Indonesia, Suara Karya, Suara Pembaruan, Horison, dll.

Baca Juga : Ambigu

Pergaulan sastra mereka juga tak hanya di Indonesia, tetapi –seperti yang sudah disebut sebelumnya--  juga sampai ke tingkat Asia Tenggara seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darusallam, atau Thailand Selatan.  Kesamaan rumpun memudahkan mereka bergaul dengan intim sebagai sesama satrawan Melayu. Mereka yang dari negara-negara tersebut juga sudah jamak dan sering berkunjung ke Riau. Misalnya Isa Kamari dan Sutarman Markasan (Singapura),  A. Ibrahim Hamid (Brunei), Hasyida Abadi dan Syamsudi Othman (Malaysia), Nik Abdullah Rakib bin Nik Hassan dan Pausan Jahwae (Thailand), dan yang lainnya. Bukan hanya orangnya, karya-karya sastrawan Riau juga sudah jamak dibaca oleh masyarakat di negara-negara tersebut. Melihat fenomena ini, sebenarnya sudah lama satrawan Riau bergaul secara internasional, meski setingkat regional Asia Tenggara.

Pada dasarnya, media massa di daerah adalah tempat yang baik bagi sastrawan pemula atau muda untuk belajar dan mengasah kemampuan dasar sebelum melangkah ke tempat yang lebih jauh dan tinggi. Hingga saat ini, masih sangat jarang sastrawan yang tidak kuat dan tidak berakar di komunitas lokalnya kemudian mampu mendapatkan tempat di media massa nasional yang dianggap lebih bergengsi. Sebab untuk menuju sesuatu yang lebih baik dibutuhkan  proses yang panjang. Jadi, tidak ada yang instan dalam sastra. Mau tak mau ada proses yang harus dilalui.***

Riau Pos, 20 Agustus 2023









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook