HARY B KORIUN

Penyair

Perca | Minggu, 26 Maret 2023 - 12:46 WIB

Penyair
Hary B Koriun (RIAU POS)

SUATU hari, sebuah surat masuk ke alamat e-mail redaktur. Seorang penyair muda –dia mengatakan dirinya baru belajar menulis sajak— mengirim beberapa sajak ke jendela e-mail, tidak melalui file lampiran. Ada empat sajak dan temanya seragam, tentang cinta yang kandas. Yang membedakan hanya kata dan bahasanya. Terjadi diskusi antara penyair kawan kita ini dengan redaktur. Dia bilang, sajak-sajak yang ditulisnya itu adalah ungkapan perasaannya yang sedang karam karena jalinan kisah cintanya kandas.

Ketika ditanya mengapa mengirimkannya tidak pakai file lampiran dan sepertinya dia menulis keempat sajak itu hampir dalam waktu bersamaan, dia bilang, ketika membuka internet, pikirannya sudah penuh dengan sajak dan harus dituangkan dalam tulisan, untuk itu dia langsung menulis dan setelah selesai langsung mengirimkannya.

Baca Juga : Pers Bebas

Beberapa hari kemudian, dia bertanya, apakah empat sajak yang dibuat dan dikirimnya layak untuk dimuat. Ketika dijawab belum layak, dia bertanya: mengapa? Kemudian dijelaskan bahwa pilihan-pilihan katanya masih amat verbal, khas orang sedang patah hati. Dijelaskan juga bahwa dia harus banyak lagi belajar bagaimana menggunakan bahasa tulis yang benar. Kemudian dia mengatakan, bukankah sajak tak terbatas oleh aturan apa pun? Dia bicara tentang licencia poetica. Dia menjelaskan bahwa dia sudah membaca banyak buku teori tentang menulis sajak, membaca karya-karya Sutardji Calzoum Bachri hingga Octavio Paz, dari Joko Pinurbo hingga Emily Dickinson, dan sebagainya.

“Mengapa Sutardji boleh menulis kata-kata apa saja dengan tata bahasa yang kadang kacau dan  ngawur tanpa makna, mengapa saya tidak boleh? Bukankah bahasa sajak yang dibuat oleh Joko Pinurbo, Octavio Paz atau Emily Dikcinson amatlah sederhana dan mudah dipahami? Mengapa itu disebut sajak, dan punya saya tidak?” kata penyair muda kawan kita ini panjang lebar.

Ketika dijelaskan bahwa para penyair yang dia sebutkan itu sudah melalui proses panjang dalam melahirkan sajaknya, dan tak serta-merta menulis sajak dengan bahasa “ngawur” –istilah penyair muda kawan kita itu— itu, teman penyair muda kita ini tetap tak terima. Katanya, dunia sastra tak adil bagi para pemula. Kalau para maestro dengan gampang menulis karya dan dapat tempat untuk publikasi, sementara yang masih muda masih disuruh belajar, padahal bobot karyanya tak jauh berbeda.

Dijelaskan, ada analogi tentang seorang pelukis aliran surealis yang sudah terkenal pun harus melalui tahapan melukis realis di awal karirnya, tak serta-merta atau sekonyong-konyong langsung dia melemparkan cat warna-warni ke kanvas, kemudian bergulung-gulung di sana –sekadar contoh— dan kemudian lahir karya avan-garde seperti Affandi dan yang lainnya. Di sekolah seni lukis, diajarkan dasar melukis: mulai dari sketsa wajah, ditail wajah –mulai dari bibir, telinga, hidung, mata, alis mata, dagu, dan sebagainya— hingga lahir karya lukis potret misalnya. Atau mengapa mereka juga harus praktik melukis tubuh –sering dangan model (maaf) tanpa busana— adalah untuk memahami detil tersebut. Selanjutnya, adalah pilihan dia untuk tetap menjadi pelukis realis atau yang lainnya. Bayangkan kalau seorang pelukis surealis tak bisa melukis potret yang detil, misalnya.

Baca Juga : Al azhar (2)

Pelan tapi pasti, penyair muda kita ini berusaha memahami. Sebulan kemudian, dia mengirimkan satu sajaknya. Dia mengatakan, “Saya sudah berusaha menulis dengan baik: menulis apa yang ada dalam pikiran saya, membaca ulang, memperbaiki bahasanya, menuliskannya lagi, dan setelah sekian hari saya baca lagi, dan benar kata Anda, saya menemukan hal-hal baru baik dari sisi kata atau maknanya…”

Dan, setahun kemudian, penyair muda teman kita ini berhasil mempublikasikan sajak-sajaknya bukan hanya di media tempat dia bermastautin, tetapi juga di media yang terbit di provinsi tetangga, bahkan di beberapa media nasional, media arus utama yang tentunya dengan kurasi yang ketat karena banyaknya penyair yang mengirimkan karyanya. Dari waktu ke waktu, ada pehaman yang semakin baik pada sajak-sajaknya –pemahaman ini amat sangat relatif dan berbeda bagi orang yang berbeda. Dalam e-mail terakhirnya, dia tak mengirimkan sajak. Dia hanya menulis beberapa kalimat: “Sajak telah menyadarkan saya, bahwa kata-kata tak bisa dibeli dengan publikasi apa pun dan dengan honor berapapun. Kata-kata selalu mencari makna, dan mencari makna itu yang sesungguhnya paling penting…”

Sajak adalah bahasa metafor yang lahir dari pencarian yang tak bisa dihitung batasan waktunya. Seorang penyair bisa membuat sebuah sajak dalam hitungan menit atau jam, tetapi ada yang memerlukan waktu berbulan hingga bertahun untuk melahirkan sebuah sajak. Ada sajak yang ditulis setelah sekian waktu ada dalam pikiran sang penyair. Ada sajak yang ditulis, sekian hari, sekian bulan, atau sekian tahun kemudian baru dibaca lagi oleh sang penyair, dan setelah itu baru dipublikasikan. Alhasil, ada seorang penyair yang dalam sebulan bisa menulis 100 sajak, tetapi di tempat lain ada yang hanya menulis satu sajak dalam sebulan.

Pengalaman “religus” dalam bersajak yang dialami kawan kita penyair muda itu adalah gambaran bahwa dunia sajak (puisi/syair, dll) bukanlah dunia yang asal jadi: bahwa asal menulis baris-baris kata “indah”, kemudian menjadi sebuah sajak. Proses hingga menjadi sebuah sajak, mestinya dipahami oleh para penyair sebagai sebuah tahapan paling penting, sehingga karya yang lahir itu bukan karya gampangan dan sembarangan.

Namun hingga kini, banyak anak muda –dari segi usia atau lama berkarya--  yang tidak sabar. Mereka menulis satu-dua puisi yang dimuat di media, kemudian menepuk dadanya bahwa dia sudah menjadi penyair. Ada juga yang menulis satu-dua puisi, tak dimuat di media mana pun, tetapi di-share media sosial,  ke teman-temannya, atau sebuah grup percakapan, dan kemudian “membabtis” dirinya sendiri sebagai seorang penyair. Yang lebih parah lagi, dia tidak menulis puisi, tetapi suka membaca dan sering naik panggung untuk membacakan puisi, lalu dia menulis dalam biodatanya kalau dia seorang penyair.

Baca Juga : Al azhar (2)

Apa yang dikatakan Sutardji barang kali benar bahwa jika seseorang menulis, dan ingin menganggap tulisannya adalah puisi, ya jadilah puisi. Tetapi, barangkali, ucapan Sutardji ini ditujukan bagi mereka yang sudah katam dalam menulis puisi, bukan yang baru belajar mengeja-tulis puisi.

Jadi penyair itu mudah, tetapi tanggung jawabnya yang berat. Berkarya atau tidak.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook