HARY B KORIUN

Realisme (2)

Perca | Minggu, 24 September 2023 - 11:21 WIB

Realisme (2)
Hary B Koriun (RIAU POS)

LALU, bagaimana dengan realisme-mitos? Tak jauh berbeda dengan pemahaman kita tentang realisme-magis, realisme-mitos yang ingin saya sampaikan tentang cerpen-cerpen Benny, adalah sebuah upaya menjadikan mitos sebagai bagian penting dalam karya sastra (cerpen) modern. Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya.

Mitos pada umumnya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang, bentuk topografi, petualangan para dewa, kisah percintaan mereka dan sebagainya. Namun dalam hal ini, Benny tidak hanya menjadikan cerita rakyat yang memang sebuah mitos menjadi dongengan modern dalam cerpen-cerpennya, tetapi juga kisah-kisah realis yang justru menjadi mirip mitos.

Baca Juga : Pers Bebas

Nama Benny Arnas sangat fenomenal dalam dunia cerpen Indonesia, terutama cerpen koran, sejak dia muncul hingga sekarang (2023). Hampir tidak ada redaktur budaya di media-media Indonesia yang “berani” menolak cerpen-cerpennya.  Bahkan, ada sebuah media yang sampai harus antri kepada Benny untuk bisa memuat cerpennya, padahal biasanya justru penulislah yang antri untuk mendapatkan kesempatan karyanya dimuat. Fenomena ini hampir sama dengan pertengahan tahun 2000-an ketika nama Raudal Tanjung Banua mencuat ke permukaan jagad cerpen Indonesia. Ketika itu, hampir tak ada media –baik media mainstream atau media biasa— yang menolak cerpen Raudal. Atau jika diurut lagi ke belakang, nama Gus Tf Sakai juga sempat menjadi fenomena cerpen koran Indonesia yang namanya hampir setiap pekan menghiasi halaman budaya media-media di Indonesia.

Yang menarik adalah, dua nama tersebut “sangat dikenal” oleh Benny. Dalam catatan pengantarnya, selain beberapa nama yang menjadi teman diskusinya, Raudal dan Gus Tf adalah dua di antaranya. Entah faktor kebetulan atau tidak, ada ikatan emosional yang menghubungkan Benny dengan Raudal atau Gus. Meskipun lahir dan besar di Lubuklinggau –sebuah kota di pinggir Jalan Lintas Barat Sumatra— Benny menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Aroma ranah Minangkabau sangat berpengaruh dalam gaya ceritanya, dan –semoga tesis ini tidak salah— ada kecenderungan  tidak jauh beda antara gaya bertutur Benny dengan Raudal maupun Gus Tf. Saya tidak ingin mengatakan bahwa Benny punya kecendrungan mimikri gaya Raudal dan Gus Tf, tetapi secara tidak langsung, kesamaan alam yang membesarkan ketiganya, di beberapa sisi, menjadi latar belakang yang membuat cerpen-cerpen ketiganya memiliki benang merah. Karya sastra lahir tidak dari kekosongan. Kredo ini berlaku bagi siapa saja, bahwa sebelum karya itu ada, sudah ada karya-karya lainnya.

Namun, di luar persoalan itu, Benny telah mampu mengembalikan sebuah cerpen benar-benar menjadi sebuah cerita asalnya yang dekat dengan penuturnya. Berbeda dengan Seno Gumira Ajidarma –salah satu cerpenis kuat Indonesia— atau Hamsat Rangkuti, Yanusa Nugroho, Triyanto Triwikromo, Linda Christanty, dll, yang banyak mengupas persoalan manusia modern dengan segala problematikanya, Benny justru mengambil cerita-cerita masyarakatnya, masyarakat di mana dia hidup dan tinggal yang juga mempengaruhi secara pribadi dirinya.

Dalam cerpen “Bulan Celurit Api”, Benny berkisah tentang kepercayaan masyarakat tempatan tentang sesuatu yang akan terjadi ketika bulan merah berbentuk celurit (bulan baru atau bulan akhir?) yang seolah-olah menantang atap sebuah rumah limas. Mak Muna, sang tokoh utama, memiliki firasat bahwa akan ada hal buruk yang akan terjadi di kampungnya. Masyarakat sudah lupa akan tanda-tanda itu, tetapi Mak Muna masih ingat, meski akhirnya dia harus menghadapi kenyataan ketika justru rumahnya yang menjadi korban amukan massa ketika anak kandungnya melakukan perzinahan.

Baca Juga : Al azhar (2)

Kisah cerpen ini amat sederhana dengan bahasa sehari-hari penuturnya. Kemampuan Benny menyerap bahasa penutur inilah yang tak banyak dikuasai oleh cerpenis lainnya yang terbiasa dengan bahasa dan diksi lebih modern. Kita akan menemukan bahasa-bahasa renyah, termasuk bekacuk, misalnya, bahasa kasar masyarakat Lubuklinggau dan lebih luas masyarakat Sumsel dan Jambi. Ada nilai-nilai religius yang disampaikan Benny dalam cerpen ini, termasuk kritik terhadap masyarakat pedesaan yang sok modern. Dalam pemilihan nama anak-anak mereka misalnya.

Benny sangat fasih sebagai tukang cerita dalam cerpen “Hari Matinya Ketip Isa”. Di luar serapan lokalitas yang diambilnya, pilihan karakter antagonis sebagai tokoh utama (Mak Zahar), juga suatu hal yang menarik. Banyak cerpenis kita yang tak suka memakai tokoh utamanya karakter antagonis. Mak Zahar dalam cerpen ini mewakili sisi hitam karakter masyarakat pedesaan yang berpura-pura lugu, tapi judes, suka berutang, dan gagal memberikan nilai dan etika dalam mendidik anak-anaknya, padahal dia istri seorang ketib, seorang tokoh masyarakat yang amat dihormati. Mak Zahar menjadi anti-tesis masyarakat kelas bawah, yang selama ini dianggap sebagai masyarakat yang santun, lugu, dan jujur.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook