HARY B KORIUN

Allende (1)

Perca | Minggu, 23 Juli 2023 - 11:07 WIB

Allende (1)
Hary B Koriun (RIAU POS)

THE House of the Spirits (La casa de los espíritus, 1982) adalah novel perdana yang ditulis Isabel Allende. Setelah Seratus Tahun Kesunyian (One Hundred Years of Solitude [Cien años de soledad, 1967]) yang ditulis Gabriel García Márquez, inilah menurut saya novel terbaik Amerika Latin yang ditulis oleh keponakan Salvador Allende, Presiden Cili yang digulingkan dalam kudeta berdarah. Diakui atau tidak, kondisi politik saat pamannya dibunuh oleh militer, menginsipirasi Isabel untuk menulis novel ini.

Novel ini bercerita tentang kehidupan keluarga Trueba, yang mencakup tiga generasi, yang menelusuri gejolak sosial dan politik pasca-kolonial dari negara Amerika Latin, yang diceritakan lewat prespektif dua tokoh protagonis, Esteban Trueba, dan cucunya, Alba, dan menggabungkan unsur-unsur magic realism (realisme magis), salah satu aliran prosa yang berkembang di Amerika Latin, dengan  Marquez sebagai salah seorang pelopornya. Beberapa pembaca mengklaim bahwa novel ini adalah roman à clef (novel yang karakter-karakternya mirip dengan tokoh nyata). Menurut mereka, Si Penyair dalam novel tersebut mungkin Pablo Neruda, sedang sang kandidat presiden adalah karakter dari Salvador Allende.

Baca Juga : Pers Bebas

Awalnya, novel ini ditolak oleh penerbit berbahasa Spanyol, tapi kemudian menjadi best-seller ketika diterbitkan di Barcelona pada tahun 1982. Dalam waktu cepat, novel ini menjadi bahan pembicaraan di seluruh negara berbahasa Spanyol, sebelum kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dibicarakan di seluruh dunia yang menahbiskan Isabel Allende sebagai salah satu novelis/sastrawan kelas dunia.

Pada tahun yang sama, novel ini menjadi Best of the Year di Cili, dan Isabel menerima penghargaan dari negara, Panorama Literario. Hingga kini, novel ini telah diterjemahkan ke lebih dari 28 bahasa dunia, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan Rony Agustinus dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama Juni 2010 ini. Buku ini pertama kali yang disusun oleh Isabel ketika ia menerima kabar bahwa neneknya sedang sekarat, dan ia mulai menulis surat kepadanya yang akhirnya menjadi naskah awal dari The House of the Spirits.

Novel ini telah digunakan dalam kurikulum sekolah dan universitas di seluruh dunia, terutama untuk pemahaman dan contoh karya bergenre realisme magis. Organisasi Pendidikan International Baccalaureate mengakui bahwa novel ini sebagai salah satu buku studi sastra terbaik dunia.

Pada tahun 1993, novel ini diadaptasi menjadi film dengan judul sama oleh sutradara berdarah Denmark, Bille Agust. Karakter Esteban Trueba diperankan oleh Jeremy Irons, Meryl Streep sebagai Clara del Valle Trueba, Winona Ryder sebagai Blanca Trueba, Glenn Close sebagai Férula Trueba, Sasha Hanau sebagai Alba García Trueba, dan Antonio Banderas sebagai Tercero Pedro García. Dalam beberapa festival yang diikuti, film adaptasi ini memenangkan penghargaan di Bavarian Film Awards, German Film Awards, Golden Screen (Jerman), Havana Film Festival, dan Robert Festival (Denmark). Juga mendapatkan penghargaan dari German Phono Academy dan The Guild of German Art House Cinemas.

Baca Juga : Al azhar (2)

Hanya saja, jika Anda sudah nonton filmya terlebih dahulu sebelum membaca novel ini, mungkin Anda agak sedikit kecewa dengan “ketidakpatuhan” Bille August –yang juga menulis skenarionya— pada naskah novelnya. Dalam novel aslinya, narator yang mengantarkan kita pada cerita adalah Alba Garcia, dari awal hingga penutup novel diselingi oleh Esteban Trueba. Alba-lah perangkai seluruh karakter dalam novel hingga menjadi sebuah plot yang lengkap, padat, dengan kesimpulan yang sugestif tentang karakter buruk kakeknya (Esteban Trueba) dan sisi gelap Kolonel Esteban Garcia (anak hasil perkosaan Esteban Trueba terhadap seorang pembantu Indian –-kelak, saat revolusi, ia menjadi komandan polisi rahasia yang menculik, menyiksa, dan memperkosa Alba karena dendam terhadap keluarga Trueba) menjadi sebuah penyadaran bahwa dendam harus diakhiri dan masa lalu buruk harus ditinggalkan, dengan mengenang segala yang baik.

Dalam film, Blanca-lah sang narator, wanita cantik keras kepala yang memilih aliran Marxis, berseberangan dengan sang ayah, senator dari Partai Konservatif yang kalah dalam pemilu oleh Partai Rakyat beraliran sosialis-komunis, yang salah satu tokohnya adalah Pedro Torcero Garcia, kekasih Blanca, anak seorang mandor di tanah pertanian Trueba, yang hubungannya dengan Blanca tak direstui Trueba –-namun kemudian diselamatkan Trueba ke Kedutaan Kanada ketika dikejar-kejar tentara saat kudeta. Dalam film, Blanca (ibu Alba) yang menjadi pusat cerita, yang harus menerima siksaan, penderitaan dan perkosaan dari Kolonel Esteban Garcia, saudara satu ayah yang tak diakui. Sementara Alba hingga akhir cerita tetap menjadi gadis kecil, yang menjadi saksi kematian Clara, yang menemani saat-saat sepi Esteban Trueba setelah ditinggal Clara, juga saat menunggu nasib Blanca yang ditahan tentara, sekaligus cucu kesayangan yang perannya tak sekuat dalam novel.

“Ketidakpatuhan” Bille August dalam film ini memang membuat kita akhirnya menemukan sebuah cerita yang “berbeda” dengan rasa yang juga “berbeda” dari karakter film saat membaca novelnya —sekali lagi, ini jika Anda terlanjur menonton filmnya lebih dulu— meski tetap tak kehilangan kekuatan dan inti plot, baik dalam novel maupun film, yang sejatinya tak jauh berbeda.

Yang juga agak “mengganggu” adalah The House of The Spirits yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiah menjadi Rumah Arwah. Judul yang sekilas menjelaskan seolah-olah novel ini bergenre horor, padahal “House” dan “Spirits” yang dimaksud dalam keseluruhan cerita ini adalah bagaimana rumah –-dua buah rumah, yakni satu rumah megah di Las Tres Maria yang dibangun oleh Esteban Trueba di sebuah dataran tinggi pegunungan tempat di mana dia membangun tanah pertaniannya, dan sebuah rumah di Kota Santiago yang disebut sebagai “rumah besar di sudut jalan”; dua rumah— yang menjadi inti cerita dengan beragam karakter orang di dalamnya yang memiliki kisah masing-masing dan saling memiliki benang merah sangat kuat.

Isabel bukan hanya hendak bercerita tentang Clara yang seolah-olah menjadi arwah gentayangan karena rohnya selalu hidup dan mendatangi orang-orang yang dikasihinya, namun dia hendak menjelaskan bahwa ada hubungan yang tetap terjalin antara dunia nyata dengan dunia setelah kematian, yang saling memberi sugesti untuk dijadikan kekuatan melawan apa pun. Salah satu contoh adalah ketika roh Clara mendatangi Alba, cucunya (dalam film, karakter diubah menjadi Blanca, ibu Alba), yang diculik, disekap, dan diperkosa para polisi rahasia. Alba yang putus asa karena tersiksa lahir bathin, akhirnya bisa menghadapi itu —termasuk membebaskan seluruh rasa sakit ragawi dan jiwanya— setelah berkomunikasi dengan roh Clara.

“Ada banyak hal yang harus kau lakukan, jadi berhentilah meratapi diri, minum air, dan mulailah menulis,” kata Clara memberitahu cucunya sebelum menghilang sebagaimana ia muncul.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook