KOLOM HARY B KORIUN

Munich, Paris

Perca | Kamis, 26 November 2015 - 14:06 WIB

Munich, Paris

Pada tahun 1999, Mohammed Daud Odeh, yang dikenal sebagai Abu Daud, meluncurkan buku berjudul Palestine: From Jerusalem to Munich. Dalam buku itu, Daud mengaku sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas Black September. Peluncuran buku itu memicu kemarahan di Israel yang akhirnya melarang ia tinggal di Palestina yang merupakan daerah teritorial otonomi Israel. Dia kemudian lari ke Suriah, tinggal di daerah pengungsian Palestina, Yarmuk, sebelah selatan Damaskus.  Dia meninggal pada 3 Juli 2010.

Dalam film Munich, Daud dan para pentolan perancang Black September yang menjadi buruan Avner dan kelompok kecil militan ultra-nasionalis Israel yang dibentuk Mossad yang direstui Perdana Menteri Golda Meir sebagai operasi Ghost Protocol. Jika terjadi apa-apa dengan para anggota kelompok ini, Israel tak akan mengakuinya. 

Tugas mereka adalah memburu para penyerang asrama atlet yang masih hidup (Fadeyeen) dan para pimpinan yang menjadi otaknya. Mereka hidup tersebar di mana-mana dengan perlindungan keamanan yang ketat. Di  Inggris, Italia, Yunani, Belanda, dan banyak negara lainnya.

Serangkaian operasi rahasia ini tak mampu membunuh semua anggota Fadeyeen. Malah satu per satu  teman-teman  Avner tewas. Setiap serangan yang mereka lakukan, berbalas serangan dari Fadeyeen. Ditengarai, CIA dan KGB (Rusia) ikut bermain di sini, melindungi para Fadeyeen. Hingga akhirnya Avner sadar, dia dan kawan-kawannya hanya dijadikan alat balas dendam pemerintah Israel, meski dalam hatinya dia tetap sakit hati ketika duta olahraga negaranya terbunuh secara tragis.

***

JUMAT, 13 November lalu, serangan mematikan membuat Paris, Prancis, dan dunia, tersentak. Bertepatan dengan pertandingan sepakbola persahabatan antara timnas Prancis melawan Jerman di Stade de France, terjadi teror mengerikan di 7 titik di Paris. Selain tiga meninggal di pintu J Stade de France akibat bom bunuh diri, hampir 150 orang tewas dan lebih 100 orang luka-luka yang tersebar di berbagai tempat. Yang paling memilukan adalah penembakan di saat  konser musik Eagles of Death Metal di Bataclan, tak jauh dari Stade de France. Tiga orang berzebo, dengan tenang dan santai, masuk ke gedung pertunjukan, mengokang senjata jenis Kelasnikov dan AK-47, dan memberondong secara membabi-buta.

Kelompok Islamic State Iraq Syiria (ISIS) mengaku bertanggung jawab atas kejadian ini. Mereka menggertak Prancis karena keterlibatan negeri itu dalam operasi militer terhadap ISIS di perbatasan Irak dan Suriah. Dalam ancamannya lewat rekaman video setelah penyerangan, mereka akan terus melakukan teror kepada negara-negara yang dianggapnya “kafir” dan memusuhi mereka. Bahkan, mereka membangkitkan kenangan terhadap sejarah Perang Salib, perang agama terbesar yang pernah terjadi di beberapa abad lampau.

ISIS menyebutnya, serangan itu adalah “badai pertama”, dan akan menyusul serangan lainnya. Kata mereka, serangan itu adalah hukuman bagi Paris, “ibu kota paling prostitusi dan cabul”.

“Delapan saudara, dilengkapi dengan sabuk peledak dan dipersenjatai dengan senapan mesin, menargetkan situs yang akurat untuk dipilih seperti jantung ibu kota Prancis,” tulis pernyataan kelompok ISIS, seperti dilansir New York Times.

Membawa-bawa nama Islam dalam aksi terorisme seperti itu, semakin mengampanyekan kepada dunia bahwa Islam bukanlah agama yang toleran. Seolah-olah Islam agama yang egois yang ingin menjadi agama satu-satunya di dunia dan menihilkan agama dan kepercayaan lainnya yang ada. Islam tidak begitu. Ajaran Islam sangat toleran dan menghargai agama lainnya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook