HARY B KORIUN

Zapatista

Perca | Minggu, 21 Mei 2023 - 12:14 WIB

Zapatista
Hary B Koriun (RIAU POS)

“Adalah kata-kata, yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk dan keluar dari diri kita. Adalah kata-kata, yang menjadi jembatan untuk menyeberang ke tempat lain. Ketika kita diam, kita akan tetap sendirian. Berbicara, kita mengobati rasa sakit. Berbicara, kita memba­ngun persahabatan dengan yang lain. Para penguasa menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam. Kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri kita. Inilah senjata kita, Saudara-saudaraku...

Itulah yang dikatakan Subcomdante Insurgente Marcos. Lelaki bertopeng penuh kharisma --selayaknya dongeng Zorro-- yang sekian tahun menjadi “musuh” pemerintah Meksiko, tetapi digilai kaum perempuan, dicintai kaum petani, dan diidolai anak-anak. Dia pemimpin dan sekaligus juru bicara Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (EZLN), nama Meksiko dari Tentara Pembebasan Nasional Zapatista, yang berjuang mengangkat senjata dalam sebuah gerakan perlawanan petani adat di Chiapas, sebuah wilayah di sebelah tenggara Meksiko. Gerakan itu dimulai pada malam Tahun Baru 1994.

Baca Juga : Pers Bebas

Inilah gerakan petani-adat yang “aneh”, yang merujuk dan mengidolakan Emiliano Zapata, pencetus gerakan reformasi agraria di Meksiko tahun 1911, yang juga menginspirasi hampir semua gerakan petani-rakyat-adat di Meksiko dan Amerika Bagian Tengah hingga ke selatan.  Doktrin Zapata bahwa  “tanah adalah milik mereka yang mengerjakan (mengolah)-nya” kemudian diperjuangkan dengan pemberontakan petani bersenjata yang memang akhirnya sering gagal.

Sementara, Zapatista adalah sebuah gerakan perlawanan sosial-kultural yang tidak memiliki tujuan merebut kekuasaan atau menjatuhkan pemerintahan sah. Mereka menggunakan kata-kata yang kemudian sakti dan melegenda hingga kini, “our word is our weapon” (kata kita adalah senjata kita). Kata-kata atau kalimat itu kemudian menjadi inspirasi banyak kelompok musik, misalnya Rage Agains the Machie (RATM) lewat lirik lagu-lagunya maupun kehidupan mereka sehari-hari.

Marcos  hanya ingin menjelaskan tentang pentingnya kearifan lokal (local genius), dan menjelaskan bagaimana berdemokrasi yang baik. Mereka menolak kapitalisme absolut yang mulai diberlakukan di Amerika Utara: karena akan semakin memiskinkan kaum petani dan masyarakat adat. Mereka bergerak dan menguasai Balai Kota San Cristobal de las Casas dan enam kota lain di Chiapas, meski akhirnya bisa dipadamkan oleh pemerintah Meksiko.

Zapatista bukan sebuah gerakan oportunis. Ini yang aneh dan “lucu”. Dalam sejarah gerakan sosial yang memanjang di Benua Amerika dan di manapun di sudut dunia, belum pernah ditemui sebuah gerakan gerilyawan serupa ini. Selain memaklumatkan diri bahwa mereka “tak berminat pada kekuasaan”, Zapatista juga tak memaksakan program dan keinginan mereka, tetapi ingin “menciptakan sebuah ruang demokrasi” dan mencari pemecahan pandangan politik yang berbeda-beda. Mereka menangkap dan menyandera para pemimpin, tetapi bukan untuk dilukai dan disakiti, melainkan diajak diskusi dan kemudian dilepaskan dengan utuh tanpa cacat sedikit pun.

Baca Juga : Al azhar (2)

Zapatista bukan tipe kelompok yang kemaruk kekuasaan seperti lazimnya gerakan lainnya yang mengatasnamakan rakyat, kemudian menyerukan perlawanan, mengambil-alih kekuasaan dan menjadi penguasa: setelah itu jadi diktaktor baru seperti kebanyakan gerakan sosial di Amerika Latin dan Afrika. Mereka tidak memprovokasi masyarakat --kaum adat dan petani-- untuk bangkit melawan, tetapi ingin menjelaskan kepada banyak orang, bahwa “kita harus banyak belajar dari kaum adat dan petani itu tentang kearifan lokal”. Bahwa kekuasaan tidak boleh melupakan kearifan lokal karena secara turun-temurun mereka hidup belajar dari alam, dan mereka sudah teruji sampai berpuluh bahkan beratus keturunan. Mereka tidak menjadikan minoritas-tertindas sebagai kekuatan untuk dimanfaatkan sebagai alat perlawanan, tetapi menjadikan minoritas tersebut sebagai sebuah contoh, bahwa dunia (kekuasaan) harus adil dengan minoritas apa pun: adat, agama, petani, orang miskin, dan yang lainnya.

Di sinilah peran seorang Marcos sangat dominan dalam menyampaikan pandangan-pandangan politik itu. Ketika dia mendaki pegunungan Chiapas tahun 1983 untuk bergabung dengan gerakan ini --dengan melepaskan dirinya sebagai orang kaya dan terpelajar di kota-- dia menanggalkan semua pahaman revolusioner klasik dari Lenin, Stalin, Marx, dan lainnya. Sosialisme-komunisme, menurutnya, tetap sama dengan ide kapitalisme klasik: menciptakan kediktaktoran baru, kaptalisme global, dan tak menghargai hak-hak masyarakat minoritas yang dianggap penghambat kemajuan. Yang ada dalam ranselnya ketika itu malah novel dan buku sastra milik Shakespeare, Gabriel Garcia Marquez, Mario Vargas Llosa, Julio Cortazar, Umberto Eco, dan yang lainnya.

Marcos dan Zapatista menggunakan kata (sastra) sebagai alat perlawanan baru, terutama untuk pencitraan diri lewat media massa. Marcos berbicara lewat surat yang di dalamnya adalah puisi, telaah, anekdot, dan cerita-cerita lucu-satir dengan menciptakan seorang tokoh pencerita (yang paling terkenal adalah Don Durito dari Rimba Lacandon), yang dikirimnya ke koran-koran besar maupun kecil Meksiko dan ternyata bisa melipatgandakan oplah mereka. Tulisan Marcos menyihir semua pembacanya, dan selalu ditunggu oleh mereka. Kekuatan prosa maupun liris Marcos diakui oleh kalangan sastrawan Nobel macam Octavio Paz, Regis Debray, Garcia Marquez sendiri, hingga Jose Samarago. Mereka menganggap, pencapaian Nobel mereka tak ada artinya dibanding cita-cita Marcos dan Zapatista-nya.

 Zapatista dan Marcos memang akhirnya harus dihentikan oleh kekuasaan yang sah. Tapi gerakan ini telah memenangkan hati rakyat Meksiko dan para pembacanya di dunia lain. Ketulusan mereka membela kaum tertindas tanpa pamrih kekuasaan, adalah cermin yang tak didapatkan dalam gerakan gerilyawan di manapun. Mereka menjunjung kearifan lokal (minoritas adat-petani) sebagai sebuah kekuatan besar, sebuah kelompok minoritas yang --menurut Peter L Berger-- menjadi korban kaum intelektual yang berkoloborasi dengan kekuasaan. Mereka yang “membangun piramida” (kekuasaan), tetapi akhirnya menjadi tumbal sebagai biaya pembangunan atau harga revolusi. Zapatista dan Marcos berusaha membalikkan itu.

Baca Juga : Napoleon

Di Indonesia, gerakan-gerakan sporadis yang dilakukan oleh petani maupun buruh dan masyarakat adat, juga terjadi di setiap kekuasaan. Dari zaman Sriwijaya, Majapahit,  dan raja-raja kecil lainnya hingga kedatangan VOC yang kemudian berubah menjadi kolonialisme Belanda dan Jepang, gerakan-gerakan tersebut selalu tumbuh. Di saat kemerdekaan didapat, penguasaan tanah tetap pada orang-orang kaya kapitalis yang mendapatkan “surat kuasa” dari rezim yang berkuasa, dan dengan begitu mereka terus menindas masyarakat lokal. Banyak orang yang hidup di tanahnya, kemudian terusir, karena tanah tersebut tak dapat pengakuan negara. Tak ada dalam peta yang dimiliki para pemilik “surat kuasa” tersebut.

Di Riau, ketika pertambangan dan perkebunan modern seperti sawit masif dikebangkan, banyak hak masyarakat adat lokal dihilangkan. Akibatnya, pertikaian atas nama tanah menjadi hal yang seharusnya jadi bahasan penting.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook