HARY B KORIUN

Giwa

Perca | Selasa, 21 Februari 2023 - 15:30 WIB

Giwa
Hary B Koriun (ISTIMEWA)

“Di Nigeria di masa itu, pers yang baik dan menjunjung integritas menjadi musuh besar penguasa…”

--Ray Ekpu

Baca Juga : Napoleon

 

KETIDAKSTABILAN politik di Nigeria yang mengalami kudeta militer lima kali sejak merdeka dari Inggris tahun 1960, membuat perjuangan demokrasi --termasuk pers-- menjadi sulit. Ketidakyakinan terhadap pemerintahan sipil membuat militer melakukan kudeta berulang kali, dengan janji akan menyerahkan kekuasaan kepada sipil jika dianggap sudah stabil. Namun, kudeta itu terus terjadi, dan militer “nyaman”. Akibatnya, pembangunan ekonomi menjadi sulit, demokrasi juga terus melemah.

Dalam kondisi seperti ini, ketika pers berusaha maju untuk ikut membangun demokrasi, tangan besi junta militer menjadi penghalang utama. Banyaknya perusahaan pers yang dimiliki pemerintah menyulitkan fungsi kontrol. Pers hanya jadi alat propaganda penguasa, sementara perusahaan pers partikelir sulit tumbuh karena banyaknya aturan dan tekanan.

Dalam kondisi seperti ini, seorang wartawan yang pernah bekerja di The New York Times pulang: Dele Giwa. Oleh sahabatnya saat masih di Amerika Serikat (AS), Larry Diamond, Giwa dianggap seseorang yang menonjol keluar dari kerakusan yang sedang merusak negerinya. Giwa memberikan harapan untuk suatu kehidupan masa depan yang demokratis dengan keberaniannya.

"Ia tidak takut... Uang tidak berhasil menggodanya. Ancaman tidak berhasil menggodanya. Ancaman tidak membuatnya gentar. Kekuasaan tidak mempesonanya. Tekadnya hanya mengembalikan kebebasan kepada negerinya," tulis Diamond mengutip penyataan hakim Isagani Cruz dalam buku Democratic Revolutions (1992).

Giwa yakin, misi pers adalah untuk melayani dan memberitakan kebenaran, ke mana pun kebenaran itu akan menuntunnya dalam usaha untuk mencapai masyarakat yang terbuka dan demokratis. Dia paham, untuk negara berkembang dan baru lepas dari penjajahan seperti Nigeria, apa yang diimpikannya itu memerlukan standar jurnalisme yang ulet, berinisiatif, teguh pada keyakinan dan pandangan,  berani, dan menuntut profesionalisme yang tinggi. Jurnalisme investigatif adalah solusinya, menurut dia. Model jurnalisme yang mengedepankan pendalaman, penelitian, komprehensif, tak percaya sepenuhnya dengan rilis pemerintah atau lembaga, dan selalu meragukan kebenaran tanpa bukti yang kuat.

Seperti ditulis The Republic.com, lelaki bernama panjang Sumonu Oladele Giwa itu lahir di di Ife, barat daya Nigeria, pada 16 Maret 1947. Dia lahir dari keluarga berada dan menghabiskan masa kecilnya di Ife sebelum berangkat ke AS untuk belajar. Dia belajar bahasa Inggris di Brooklyn College dan, setelah itu, meraih gelar master dalam Komunikasi Publik dari Universitas Fordham.

Setelah kuliah, Giwa bekerja untuk Times --begitu The New York Times disebut-- pada 1974. Pada 1979, dia kembali ke Nigeria, di mana dia bergabung dengan Daily Times. Pada tahun yang sama, dia menerbitkan artikel berjdul "Golden Fleece? – Saya Pikir Saya Mengerti!". Di dalamnya, dia menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusannya untuk belajar di luar negeri sebelum kembali ke Nigeria.

Saat masih bekerja di Times, Giwa bersama beberapa wartawan kulit berwarna, termasuk Afro-Afrika (sebutan halus untuk Negro) menggugat harian itu ke pengadilan  atas dasar keluhan diskriminasi rasial terhadap kelompok minoritas. Salah satunya, mereka dipersulit untuk menjadi karyawan tetap. Mereka kebanyakan hanya dipekerjakan sebagai "pembantu" reporter. Gugatannya dimenangkan pengadilan. Dia mendapat kompensasi sebesar 2.000 dolar AS dan diangkat menjadi wartawan penuh dan karyawan tetap.

Giwa memiliki karier yang sukses dan bermartabat. Itu merupakan campuran dari idealisme dan keteguhannya. Dia membedakan dirinya sejak awal melalui komitmennya yang tak henti-hentinya terhadap jurnalisme berkualitas dan dengan memiliki apa yang banyak orang setujui sebagai "penguasaan penuh atas apa yang diperlukan untuk menjadi reporter yang baik." Namun, “jurnalisme berkualitas” yang diperjuangkannya itu membuatnya harus berada di penjara selama 17 hari pada tahun 1983 karena menerbitkan dokumen-dokumen pemerintah, meskipun kemudian dia memenangkan sidang di pengadilan, mendapat ganti rugi, dan perintaan maaf dari kepolisian.

Pada tahun 1980, Giwa bergabung dengan The Sunday Concord, raksasa media di ibu kota Abuja. Giwa dipekerjakan sebagai editor di anak perusahaan, Daily Times, kemudian di Nigerian Concord. Karena intervensi ke news room yang dilakukan oleh sang pemilik Grup Concord, seorang miliuner Moshood Abiola, Giwa dan tiga rekannya mengundurkan diri pada 17 Juni 1984. Mereka adalah Dan Agbese, Yakubu Mohammed, dan Ray Ekpu.  Diwa dan ketiga rekannya kemudian merencanakan mendirikan sebuah media dengan standar jurnalisme yang tinggi di Nigeria:  Newswatch. Dan Giwa menjadi pemimpin redaksi pertama majalah tersebut.

Pada 28 Januari 1985, edisi perdana Newswatch terbit dengan 30 ribu eksemplar. Majalah itu dalam waktu cepat menjadi idola masyarakat hingga pada April 1987 tirasnya mencapai 150 ribu. Namun, dalam waktu bersamaan, Newswatch dengan cepat menjadi musuh pemerintah. Keberaniannya melakukan liputan investigasi pada hal-hal yang sensitif bagi pemerintah membuat pembacanya senang di satu pihak, tetapi di pihak lain membuat penguasa di bawah pimpinan Presiden Mayor Jendral Ibrahim Babangida geram dan murka. Mereka selalu mencari celah untuk memperkarakan Newswatch.

Pada ulang tahun pertama majalah tersebut, dalam laporan utama edisi 3 Februari 1986, Newswatch menulis tentang putusan pengadilan yang dipimpin hakim Samson Uwaifo yang membebaskan mantan Presiden Shagari dan wakilnya, Alex Ekwueme, dari segala tuduhan korupsi saat mereka berkuasa. Keputusan itu membuat rakyat kecewa dan marah yang menjadi dasar Newswatch untuk membuat laporan yang intinya menjelaskan bahwa keputusan itu ngawur dan “lucu”. Ray Ekpu menulis salah satu kolom tentang “lelucon” tersebut. Keesokan harinya, enam staf Newswatch, termasuk Ekpu dan Giwa, dipanggil menghadap Uwaifo. Mereka dituduh menghina pengadilan.

Pemerintahan yang dijalankan dengan tiran dan tangan besi Babangida terus mengawasi pers termasuk Newswatch. Beberapa bulan setelah itu, aparat mengundang Giwa sebagai Pemred Newswatch untuk “bertemu”. Dia diinterograsi. Giwa dituduh sedang merancang sebuah revolusi sosialis. Tuduhan, yang menurut Ekpu, sangat tidak mendasar.

Baca Juga : Ambigu

Pada 19 Oktober 1986, Giwa tewas mengenaskan karena sebuah bom yang dikirimkan ke rumahnya. Bungkusan itu diantar dua orang dalam sebuah mobil. Di luar bungkusan itu tertulis “Dari Kantor C di C” dan dialamatkan kepada “Pemred Dele Giwa”. Giwa menyangka itu kiriman dari presiden dan langsung membuka bungkusan itu di atas pahanya. Beberapa detik kemudian bungkusan itu meledak dan menghancurkan bagian bawah tubuhnya. Dia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Kematian ini membuat marah jutaan rakyat Nigeria –yang sebagian besar belum pernah ketemu dengannya kecuali membaca tulisan-tulisannya.

Setelah kematian Giwa, Newswatch terus dipantau inteljen pemerintah. Pada 5 April 1987, Newswatch membuat laporan utama berjudul “Republik Ketiga: Suatu Agenda Politik Baru”. Isinya uraian rinci tentang laporan yang belum dikeluarkan oleh pemerintah, namun sudah bocor. Laporan itu menjadi investigasi terakhir Newswatch, karena setelah itu kantor mereka diduduki polisi, peralatan kerja dirusak, para pekerjanya ditahan, dan Newswatch dilarang terbit alias diberedel.

Di Nigeria di masa itu, kata Ray Ekpu, pers yang baik dan menjunjung integritas menjadi musuh besar penguasa. Dan Dele Giwa menjadi martir bagi perjuangan para jurnalis yang menolak tunduk kepada junta militer.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook