“Lubang-lubang yang dalamnya kira-kira sama dengan tinggi lima orang digali sampai dalam, sampai bertemu tanah yang merah dan lumpur merah, kemudian sampai melalui pasir abu-abu yang yang disebut napar. Bambu panjang dengan takik untuk pijakan kaki dimasukkan ke dalam lubang-lubang ini. Airnya diserok dengan tangan atau kadang-kadang dengan gayung. Pendulang emas di sini tidak mengenal jampi-jampi...”
DI sekitar Tanjung Ampalu, Tanah Datar (kini Sumatera Barat), tahun 1838 --seperti ditulis dalam laporan Reizen van Holner yang dikutip Christin Dobbin dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy Central Sumatra 1784-1847-- bahkan jauh sebelum itu, penambangan emas rakyat sudah sangat marak. Dengan cara tradisional, mereka mendulang butir-butir debu logam mulia itu, kemudian disatukan dengan metode yang tradisional pula menjadi gumpalan maupun batangan.
Di Salido, Muara Bungo, Muara Enim, hingga Logas, menambang emas tradisional sudah menjadi pekerjaan sehari-hari warga, sejak dahulu kala. Di tanah pulau ini, emas bukan hanya berada di bongkahan Bukit Barisan yang memanjang dari Lampung hingga Aceh, tetapi juga berada di rawa-rawa, sungai-sungai, atau dataran-dataran yang, kadang, oleh orang-orang tertentu, sangat kasat mata. Emas ada di tanah pijakan kita. Di depan rumah kita. Atau bahkan di dalam rumah kita.
I-Tsing, dalam sebuah perjalanannya dan sempat singgah di Sriwijaya pada abad ke-6, menyebut tanah ini sebagai Chin-chou: pulau atau daratan emas. Ditulis NatGeo, di prasasti Nalanda yang dibuat Raja Devalapa (810-850) dari Kerajaan Pala, disebutkan bahwa Balaputradewa adalah penguasa sebuah kawasan yang disebut Swarnadwipa (Suvarnadvipadhipamaharaja). Dalam versi lain, nama Suvararupyaka --yang disamakan dengan Svarnadvipa-- sudah disebut dalam epik Ramayana sebagai sebuah daratan yang memiliki bukit dan gunung emas.
Pomponius Mela pada abad pertama juga menyebut beberapa istilah yang mengacu ke Chryse (pulau emas), Argyre (pulau perak), juga Aurea Chersonese (peninsula emas), dalam De Chorographia. Seabad kemudian, Claudius Ptolemaeus, seorang ahli georgrafi yang juga pintar matematika plus cakap dalam ilmu perbintangan, ditamsilkan pernah mengelilingi sebuah wilayah yang juga disebut Chryse tadi. Dia menjelaskan bahwa tempat itu adalah “India setelah melewati Gangga”. Mungkin wilayah itu ke arah timur Teluk Bengali.
Sama-sama emas, tetapi lokasinya agak berbeda. Versi Pomponius merujuk pada Swarnadwipa, sementara versi Ptolemaeous merujuk Swarnabhumi. Chin-chou dalam istilah I-Tsing, Swarnadwipa yang disebutkan Devalapa, atau Chryse-nya Pomponius, merujuk pada sebuah pulau yang dikemudian hari lebih dikenal dengan Sumatra.
Sedangkan Chryse-nya Ptolemaeus lebih merujuk pada Swarnabhumi, sebuah daratan setelah India, yang kawasan itu kini diklaim sebagai tanah Siam, Thailand. Swarnabhumi diabadikan sebagai bandara udara terbesar di kerajaan yang pernah dipimpin Bumibol Abduljaded ini.
Apa yang digambarkan oleh Dobbin, menjelaskan bagaimana tanah ini, Sumatra (Svarnadvipa/Swarnadwipa), adalah sebuah pulau yang secara tradisional penduduknya sudah lama menambang emas dengan cara masing-masing, di semua daerah yang kini dipecah menjadi 10 provinsi itu –termasuk dua kepulauan: Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka-Belitung. Jika di dalam tubuh gunung atau bukit emas bisa berupa bongkahan, maka di sawah, rawa, tanah datar, dan banyak tempat lainnya, emas masih berupa debu bubuk yang terpisah-pisah dan disatukan dengan sebuah cara manual hingga menjadi padat.
Di tengah “tuduhan celaka” bahwa di tanah ini kehidupan masyarakatnya masih sangat primitif --termasuk pola pikirnya-- Swarnadwipa adalah salah satu simbol kejayaan masa lalu yang kilaunya tak beda dengan emas yang dikandungnya. Swardwipa pernah menjadi pusat kerajaan yang berkuasa lebih luas dari Nusantara atau Indonesia di masa kini: Srivijaya (Sriwijaya), yang susah ditaklukkan oleh siapa pun.
Tanah emas inilah yang membuat serikat dagang seperti VOC hingga pemerintah Kolonial Belanda tak pernah secara utuh memilikinya, sebagaimana Javadvipa (Jawa) yang diagungkan sebagai tanah kolonialis mutlak. Di Jawa, para pedagang dan pangreh praja --yang menurut Sartono Kartodirjo-- sangat kemaruk kekuasaan dan menjadi koloborator yang setia untuk tuan kulit putih. Tetapi, di Swarnadwipa, yang masyarakatnya dituduh primitif, para tuan berambut perak tak mampu sepenuhnya menjadi pemilik karena para kaum pribuminya tak mudah ditaklukkan oleh kilauan emas. Sebab, di tanah ini, di segala ruas, emas selalu ada. Emas ada di tanah pijakan. Di depan rumah. Atau bahkan di dalam rumah.
Dan, para penambang emas tanpa izin (PETI)yang hingga kini terus diburu petugas pemerintah seperti di Kuantan Singingi, Bungo, Tebo, Salido, dan daerah lainnya di Sumatra, sebenarnya adalah pengikut jejak para penambang tradisional seperti mereka yang sekian abad lalu melakukannya dan membuat silau para pemburu emas dari berbagai negara, terutama Eropa. Dulu, para penambang harus bayar upeti kepada raja lokal dan kemudian beralih kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Kini, mereka dilarang oleh kekuasaan modern yang muncul setelah Belanda –juga Jepang— pergi meninggalkan tanah yang kemudian disebut merdeka ini. Negara merdeka, tetapi rakyatnya tetap berada dalam aturan ketat seperti kehilangan kemerdekaan dan kebebasannya.***