HARY B KORIUN

Realisme

Perca | Minggu, 17 September 2023 - 11:38 WIB

Realisme
Hary B Koriun (RIAU POS)

BAGI sebuah karya kreatif (dalam hal ini prosa [cerpen]), pengarang adalah “tuhan” yang bisa menentukan semuanya: mulai dari hidup-mati sang tokoh, nasib, jalan hidup, menderita-bahagia, jatuh cinta-patah hati, kaya-miskin, dan sabagainya. Pengarang punya hak mengatur semuanya, dengan karakter tokoh masing-masing, di mana setting-nya, bagaimana wajah tokoh, bagaimana prilakunya, apa yang hendak dan telah dibuatnya, termasuk sebab-akibatnya. Sebagai “tuhan” bagi karyanya, pengarang harus cerdas menciptakan tokoh-tokohnya, agar kekuatan yang dibangun dalam karya fiksinya juga terasa “hidup”.

Menurut Nietzsche, manusia adalah dewa terakhir yang masih hidup setelah Tuhan diberi batu nisan. Baginya, manusia harus mencipta tak henti-hentinya, karena ketika Tuhan telah mati, tak ada lagi yang bisa menciptakan kecuali manusia. Penciptaan merupakan pelunasan terhadap penderitaan dan cahaya yang kian terang dalam kehidupan (creation, that is the great redemption from suffering, and life’s growing light).

Baca Juga : Pers Bebas

Menurut JW Goethe, karya sastra harus memiliki arah. Kehidupan dunia yang eksoteris (menekankan kepuasan aspek lahiriah) telah meracuni kehidupan modern, yang mengesampingkan esoteris, tabu, dan sakral, sehingga arahan dunia batin manusia yang suci telah terjerembab akarnya, dan kenyataan inilah yang menjadi sumber inspirasi karya-karya modern. Untuk itulah, sastrawan dalam menciptakan karya harus memiliki komitmen dimensi batin, esoteris yang bersih dan suci. Sebab karya sastra adalah bentuk pengungkapan batin yang paling dalam tentang keberadaan, eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan.

Di bagian lain, TS Elliot, seorang penyair Inggris yang dianggap sangat berpengaruh di zamannya hingga sekarang, mengatakan, ukuran nilai suatu karya sastra harus dilihat dari aspek etika dan keagamaan. Bila ada gagasan atau semacam kesepakatan dalam suatu masyarakat tentang etika keagamaan, maka karya sastra haruslah “baik” sesuai dengan etika keagamaan. Sumber etika maupun budaya --dalam karya sastra-- adalah agama. Dan dalam hal ini, Islam ternyata merupakan salah satu faktor penentu yang paling penting bagi terciptanya iklim sosial-budaya Indonesia modern. Seorang pengarang diharapkan mendalami agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing secara intens, atau teologi sebagai inspirasi.

Menciptakan karya yang tak henti-henti seperti Nietzsche; karya yang memiliki arah ke lebih baik seperti dalam pikiran JW Goethe; dan karya yang memiliki aspek etika dan agama seperti TS Elliot, terlihat dalam cerpen-cerpen Benny Arnas  dalam buku kumpulan cerita pendek Bulan Celurit Api (Koekoesan, Jakarta: 2010). Hampir di semua cerpen dalam kumpulan ini, ketiga unsur itu terlihat lekat. Benny berhasil memainkan dirinya sebagai seorang penutur, tukang cerita, yang bisa membius audiensnya, dengan bahasa akar rumput –bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat di mana cerita itu berasal– meskipun mungkin banyak tak dimengerti atau harus membuka kamus bagi pembaca umum yang tak berasal dari akar cerita itu tumbuh. Di sinilah letak kekhasan dan keunikan cerpen-cerpen Benny, yang kadang centil, berhura-hura dengan kata-kata, namun menukik tajam membidas hati kita saat menjelaskan ada realitas-mitos masyarakat yang dibangunkan. Realisme-mitos, inilah yang membedakan Benny dengan “tukang cerita lainnya” –maksudnya para cerpenis lainnya.

Baca Juga : Napoleon

Pramoedya Ananta Toer mengusung realisme dalam sastra yang menjanjikan pembebasan bagi sastrawan dan publik dari belenggu pemikiran, paham, tradisi, mitos, dan legenda yang tidak manusiawi. Dengan mengedepankan fakta-fakta sosial, berarti publik diberi hak untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu hal tanpa merasa didikte. Pijakan inilah, dulu, yang dipakai Pramoedya bersama Lekra-nya, dalam wujud realisme sosial yang menjadi kabar petakut bagi sastrawan non-Lekra (yang kemudian bergabung dalam Manikebu).

Baca Juga : Al azhar (2)

Lalu, ada aliran surialisme dan realisme-magis. Istilah ini biasanya dipakai di dunia sastra untuk menyebut karya penulis seperti Gabriel-Garcia Marquez (ingatlah novel dahsyatnya, One Hundred Years of Solitude [Cien años de soledad, 1967] yang diterjemahkan menjadi Seratus Tahun Kesunyian), Jose Louis Borges, atau Ben Okri. Dalam film, kritikus sastra Wendy B Faris menyebut film The Withes of Eastwick dan Field of Dreams, misalnya, sebagai film realisme-magis. Apa sebenarnya realisme-magis ini? Penggunaan istilah realisme-magis dipelopori oleh kritikus seni Franz Roh pada tahun 1925 untuk melihat kembalinya banyak pelukis kepada realisme sesudah banyak sekali yang berkarya dengan lukisan-lukisan abstrak. Roh melihat pada karya-karya pelukis seperti Dix Otto dan Giorgio di Chirio, realisme tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi ada elemen magis di dalamnya. Elemen magis ini intuitif dan tak terjelaskan.

Dalam surealisme dan realisme-magis, respons kita seharusnya tidak sama. Manusia, ruang, waktu, dan peristiwa tak berjalan dalam logika internal yang padu layaknya film realis. Surealisme sempat menjadi gerakan seni yang penting tahun 1930-an yang dipelopori oleh Andre Breton. Kalau mengikuti sejarahnya, surealisme merupakan kelanjutan dari dadaisme yang merupakan gerakan yang mengabaikan rasionalisme dalam berkarya. Tak perlu ada alasan-alasan masuk akal dalam berkarya. Pada dasarnya dadaisme adalah sebuah gerakan anti-art, gerakan antiseni yang melecehkan rationale dalam berkarya.***
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook