WARSIDI hanyalah seorang petani kecil yang juga guru ngaji. Di bukan tokoh masyarakat atau orang besar yang punya pengaruh kuat yang harus ditakuti. Dia hanya ingin menjalankan syariat Islam bersama keluarga dan kelompoknya. Namun, oleh pemerintah Orde Baru (Orba), dia dianggap sebagai ancaman. Dia dan kelompoknya dituduh suversif: akan mendirikan negara Islam dan melakukan makar dengan menggulingkan pemerintahan yang sah. Dan: dia dan kelompoknya, harus dihabisi.
Pembantaian Talangsari adalah tragedi memilukan di masa Orba saat tirani yang dibangun Soeharto benar-benar kuat. Tak ada yang bisa merintanginya. Yang ingin mencoba melawan dihabisi. Dia membuat peraturan yang menguntungkan dan menguatkan kekuasaannya. Di masa kini, banyak orang menganggap Soeharto sangat toleran dan dekat dengan Islam. Tetapi sejarah mencatat, banyak kejahatan HAM besar yang dilakukan di masa pemerintahannya, menyapu kalangan Islam.
Peristiwa Talangsari, sebagaimana peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Haur Koneng di Majalengka (1993), tak terlepas dari usaha Soeharto untuk memastikan tidak ada satu pun kelompok berbahaya yang bisa mengganggu pemerintahannya. Meski mereka seagama dengan dirinya. Meski Soeharto ketika itu baru pulang dari menunaikan haji. Dengan dalih menyelamatkan Pancasila, setiap kelompok ekstrem, baik kanan maupun kiri, dicurigai, dan dihabisi.
Hal ini berawal dari pemberlakukan UU Nomor 3/1985 pada 19 Februari 1985 dan UU Nomor 8/1985 pada 17 Juni 1985. UU itu mengharuskan semua partai politik di Indonesia berasas tunggal, Pancasila. UU itu menggantikan UU Nomor 3/1975 yang membolehkan partai mengusung azas lain selain Pancasila. Tak hanya partai politik, organisasi masyarakat (ormas) juga harus tunduk dengan aturan tersebut. Termasuk ormas keagamaan. Dua organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, juga tunduk dengan aturan itu.
Jika basis agama bisa mendirikan ormas dan partai politik di masa Orde Lama (Orla) saat Soekarno berkuasa, tidak di masa Soeharto. Semua partai agama sudah disatukan dengan nama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam hal ini, agama sebagai basis ideologi dihancurkan. Lalu, partai-partai berbasis nasionalis disatukan di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Jadi, dua partai itu adalah boneka Soeharto. Dan Soeharto sendiri membangun basis yang yang dikatakannya non-partai, yakni Golongan Karya (Golkar).
Anehnya, meski bukan partai, tetapi Golkar ikut pemilu, dan “diharuskan” selalu menang. Soeharto selalu bilang, Golkar menang dalam proses demokrasi yang jujur dan adil (jurdil), karena diinginkan rakyat. Tetapi, adakah di negara di dunia yang mengaku menganut demokrasi, sebuah organisasi non-partai tetapi bisa ikut pemilu?
Namun, apakah Warsidi dan kelompoknya --yang hanya petani kecil-- memahami masalah politik seperti ini? Dirunut ke belakang, semua berawal dari sebuah kelompok Islam kecil, Gerakan Usroh, yang dipimpin Abdullah Sungkar, di Solo. Gerakan dakwah yang mengadopsi Ikhwanul Muslimin di Mesir ini dianggap ancaman dan dihancurkan oleh Pangdam Diponegoro, Jawa Tengah, dalam sebuah operasi militer. Pimpinan dan pengikutnya ditangkap dan dipenjara pada 1986. Salah satu pengikut Usroh, Fadillah, melarikan diri dari kejaran tantara. Dia kemudian sampai ke Lampung. Dalam beberapa literatur ditulis, melalui Darhari, Fadillah mengenal Warsidi. Warsidi menampung Fadlillah dan Muslimah –muridnya-- di rumahnya. Selain mereka, Warsidi juga menampung pelarian lainnya.
Selain itu, ada kelompok pengajian pimpinan Nur Hidayat yang cukup memiliki pengaruh. Nur Hidayat termasuk orang yang kecewa dengan “politik akomodatif” ala PPP, NU, dan Muhammadiyah yang menerima UU nomor 3 1985. Bagi Nur Hidayat dan pengikutnya, menerima UU itu sama saja melampaui wahyu dari Allah, mengesampingkan Islam, dan menomorsatukan asas Pancasila yang baginya adalah produk sekuler. Ternyata, Nur Hidayat adalah bagian dari Gerakan Usroh Abdullah Sungkar yang paling dicari aparat Orba. Nur Hidayat bekerja sama dengan kelompok pengajian Warsidi untuk menggabungkan program kerja membangun kampung Islam dan berencana sama-sama mendirikan pondok pesantren di Cihideung.
Eksodus orang-orang itu ke Lampung yang dilindungi Warsidi lalu menjadi masalah. Keberadaan mereka dicurigai pemerintah sebagai gerakan subversif. Pemerintah berdalih bahwa kelompok Warsidi mengajarkan ajaran sesat karena membangun komunitas yang tertutup dan tidak berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya.
Camat Way Jepara, Zulkifli Malik, menulis laporan yang ditujukan kepada Komandan Rayon Militer (Koramil) Way Jepara, Kapten Sutiman. Pada 28 Januari 1989, turun perintah dari Kapten Sutiman agar Warsidi menghadap. Kepala Desa tempat Warsidi tinggal pun kebagian tugas dari Sutiman mengawasi gerak-gerik Warsidi.
Tanggal 1 Februari 1989, ada laporan dari kepala desa setempat: kelompok Warsidi mengadakan ceramah bernada ekstrem, mengumpulkan botol untuk bom molotov, dan mengadakan latihan beladiri. Tanggal 4 Februari 1989, laporan dari kepala desa itu diteruskan Sutiman ke Kodim Lampung Tengah. Selanjutnya, Mayor EO Sinaga turun tangan. Tidak lupa, Kapten Sutiman mengirim beberapa anggotanya untuk mengintai pengajian Warsidi.
Rupanya, pengintai yang dikirim Sutiman juga melakukan penculikan pada beberapa pengikut Warsidi. 6 Februari 1989, rombongan pejabat lokal, baik sipil maupun militer, mendatangi kelompok Warsidi di Umbul Cideung. Setiba di sana, rombongan itu langsung diserang karena dikira akan menangkap Warsidi. Dalam bentrokan itu, Kapten Sutiman tewas kena panah. Tidak lama setelah itu, di tempat lain, Pratu Budi dibunuh Riyanto, pengikut Warsidi, yang kesal dengan kedatangan pejabat lokal itu.
Seperti ditulis Tempo (18 Februari 1989), saat tengah malam yang sunyi dan gelap, Kolonel AM Hendropriyono (Danrem 043/Garuda Hitam, Lampung) memimpin pasukan yang terdiri 3 peleton Batalyon 143 dan satu peleton Brigade Mobil (Brimob). Pukul 04.00 WIB tanggal 7 Februari 1989, pasukan menyerbu Umbul Cideung, Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Mereka dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat, dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat. Mereka melakukan penyerbuan dan melakukan penembakan, mirip sebuah perang. Sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi sendiri. Namun, Komnas HAM punya catatan yang berbeda. PembantaianTalangsari, dalam catatan mereka, “hanya” menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan.
Kini, pemerintah mengakui bahwa Pembantaian Talangsari masuk dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu bersama beberapa kasus lainnya. Meski terlambat, upaya ini setidaknya bisa menghapus stigma buruk keluarga kelompok Warsidi yang masih hidup.***