HARY B KORIUN

Sastra Koran

Perca | Minggu, 13 Agustus 2023 - 12:01 WIB

Sastra Koran
Hary B Koriun (RIAU POS)

HUBUNGAN karya sastra dan media massa di Indonesia, merupakan fenomena unik yang merupakan sebuah hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Barangkali ini bukan tesis yang sangat kuat, tetapi fakta menjelaskan bahwa sejarah sastra Indonesia hampir selalu “berdekatan” dengan media massa, baik itu majalah, tabloid mingguan, surat kabar harian, dan sebagainya. Dari waktu ke waktu, hubungan yang “intim” tersebut semakin erat, yang seolah-olah tidak bisa dipisahkan.

Fakta saat ini menjelaskan hal itu. Hampir semua surat kabar harian di Indonesia selalu menyediakan halaman budaya (baca: sastra) yang diterbitkan pada edisi Ahad atau Sabtu (akhir pekan). Beberapa koran mingguan juga menyediakan halaman budaya. Majalah-majalah hiburan juga menyediakan halaman yang sama. Tulisan sastra berupa cerita pendek (cerpen), sajak atau puisi, cerita bersambung (novel/roman), dan telaah sastra (esai) adalah menu yang ditawarkan kepada pembaca.

Baca Juga : Pers Bebas

Beberapa tahun terakhir ketika penerbitan buku-buku sastra sangat marak dengan banyaknya penerbit alternatif di beberapa kota di Indonesia,  halaman sastra di media massa juga tetap menjadi sebuah pilihan banyak penulis sastra untuk menunjukkan  identitasnya dalam berkarya. Bahkan banyak cerpen, puisi, atau novel yang diterbitkan menjadi buku adalah daur ulang dari karya yang sebelumnya sudah dimuat di media massa. Saat ini, sangat sedikit karya sastra  yang dibukukan yang tidak terlebih dahulu dipublikasikan di media massa. Ada dua hal dari alternatif seperti ini. Pertama, sang penulis mendapatkan imbalan (honor) yang lebih daripada  langsung dibukukan. Dan yang kedua, dengan dimuatnya karya di media massa yang tirasnya jelas lebih besar dari buku, dan harganya lebih murah, nama sang penulis lebih dulu dikenal di masyarakat yang bisa memengaruhi  minat beli masyarakat terhadap buku sastra yang diterbitkan tersebut.

Sekadar menyebut beberapa karya, misalnya Sepotong Senja untuk Pacarku, Dunia Sukab, Saksi Mata, dan Senja dan Cinta yang Berdarah-nya Seno Gumira Ajidarma, Bidadari yang Mengembara dan Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu karya AS Laksana, Menggarami Burung Terbang (Sitok Srengenge),  Di Bawah Kibaran Sarung (Joko Pinurbo), Rumah Kawin (Zen Hae), Mantra Penjinak Ular (Kuntowijoyo), Sayap Anjing dan Celeng Satu Celeng Semua (Triyanto Triwikromo), Kota-Kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai (Raudal Tanjung Banua), Reruntuhan Musim Dingin (Sungging Raga) dan ratusan buku sastra lainnya, adalah buku-buku yang isinya, cerpen atau puisi, sudah dipublikasikan terlebih dulu di media massa. Buku kumpulan cerpen yang setiap tahun diterbitkan oleh Kompas, adalah contoh paling dekat, yang dipilih dari cerpen-cerpen yang dimuat di media itu setiap pekannya. 

Di kancah sastra Riau, sekadar menyebut beberapa contoh, gejala yang sama juga terjadi bahwa penulis lebih dulu memilih memublikasikan karyanya  ke media massa terlebih dahulu sebelum dibukukan. Misalnya Sinambela Dua Digit dan Sebutir Peluru dalam Buku karya Olyrinson, Derai Tangis di Penghujung Tawa dan Burung-Burung Kertas (Nyoto), Langgam Negeri Puisi, dan Jangan Kutuk Aku Jadi Melayu (Marhalim Zaini), Pada Suatu Perjalanan (Syamsul Bahri Judin), Hikayat Suara-Suara (Taufik Ikram Jamil), Grafiti Bukit Puisi (M Badri), Pedang dan Cinta yang Mengasahnya (Maymoon Nasution), Sebatang Ceri di Serambi (Fakhrunnas MA  Jabbar), Roh Pekasih, Bunatin,  dan Olang 2 (Dheni Kurnia), dan lain-lain. 

Baca Juga : Al azhar (2)

Sejarah sastra Indonesia memang mencatat demikian. Seperti dijelaskan HB Jassin dalam buku Koran dan Sastra Indonesia (1994). Kata Jassin, kesusasteraan Indonesia modern memang muncul dan dianggap berawal dari roman Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920) dan Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), namun jauh sebelumnya beberapa surat kabar atau majalah seperti Jong Java, Jong Sumatra, Suara Djawa, Timbul, Pewarta Deli, Abad XX, Suara Umum, Bangun, atau Panji Pustaka, telah menerbitkan karya-karya sastra dari pengarang yang di kemudian hari mewarnai dunia sastra kita. Tersebutlah nama Armijn Pane, Jamaludin Adinegoro, Matu Mona, Sutan Takdir Alisjahbana, JE Tatengkeng, Or Madank, atau Mas Marco dengan Student Hidjo-nya yang dimuat sebagai cerita bersambung di Suara Djawa. Di masa Jepang, bebeapa koran seperti Asia Raya, Sumatra Shinmbun, atau Jawa Baru, halaman sastra juga menghiasi yang membuat iklim sastra ketika itu sangat hidup.

Baca Juga : Al azhar (2)

Tidak membahas itu secara rinci dari tahun ke tahun, tetapi pada perkembangan selanjutnya, koran dan majalah seperti Indonesia Raya, Zaman, Harian Abadi, Mimbar Indonesia, Aktuil, Harian Rakyat, dan sebagainya, tetap membuka lembaran sastranya dan menjadi tempat bagi para sastrawan di masa itu (1950-an hingga 1970-an) untuk memublikasikan karyanya. Paling tidak nama-nama seperti Ali Akbar Navis, Goenawan Mohammad, Hamsat Rangkuti, Hamid Jabbar, Taufik Ismail, dan sekian nama lainnya lahir pada masa itu. Jangan dilupakan juga, Chairil Anwar atau Pramoedya Ananta Toer juga menulis di media massa di zamannya.

Hingga saat ini, meskipun banyak media harian atau majalah yang sudah mengurangi jumlah halamannya dan menghilangkan halaman budaya-sastranya karena kenaikan harga kertas yang signifikan, namun tumbuhnya media online (daring) yang memberikan ruang untuk sastra, atau malah memang dibuat khusus untuk memuat karya sastra, membuat para penulis tak pernah berhenti menciptakan karya. Media daring seperti detik.com, BasaBasi.com, Magrib.co, BacaPetra.com, dan lain-lain, terus menjadi tempat bagi para sastrawan untuk terus berkarya bersama koran cetak lainnya yang masih eksis seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia,  Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun Jabar, Riau Pos, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Serambi Indonesia, Tanjungpinang Pos, dan media lainnya.***
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook