HARY B KORIUN

Kopi Daun

Perca | Minggu, 12 Maret 2023 - 15:32 WIB

Kopi Daun
Hary B Koriun (RIAU POS)

PERNIAGAAN adalah pintu kebudayaan. Dalam buku Islamic Revicalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847 (tahun 1992 diterjemahkan dengan judul Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847; dan tahun 2008 diterjemahkan ulang dengan judul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri, Minangkabau 1784-1847), sejarawan Christine Dobbin menguraikan sejarah ekonomi Minangkabau (termasuk di dalamnya pantai timur Sumatra hingga ke Semenanjung Malaya) dan bagaimana kebudayaan --juga agama-- ikut berperan di dalamnya.

Dobbin tidak hanya melihat bagaimana pergerakan dunia perniagaan di Sumatra Tengah --Dobbin menganggap jazirah ini sebagai kawasan Minangkabau dalam arti luas, karena pergerakan perniagaan masyarakat ini nyaris menguasai Sumatera Tengah, bahkan Sumatera dan Asia Tenggara di masa itu--  tetapi juga pengaruh ekonomi perniagaan itu yang mendorong terjadinya reformasi Islam. Salah satunya yang digerakkan oleh Padri yang tidak hanya terjadi di Bonjol dan kawasan Pasaman, tetapi juga sampai ke Tambusai, Rokan Hulu (Riau) dan Padangsidempuan (Sumatera Utara).

Baca Juga : Pers Bebas

Pada masa itu, Sumatra Tengah adalah kawasan yang subur dengan penghasilan tidak hanya padi, tetapi juga hasil pertanian dan perkebunan yang menjadi incaran para pedagang Eropa seperti kopi, lada, gambir, cengkeh dan yang lainnya.

Hal ini yang membuat Belanda (sebelumnya VOC) menjadikan kawasan ini sebagai salah satu tujuan “perdagangan” mereka --jika tak mau disebut sebagai cara untuk menguasai secara paksa. Bukan hanya komoditi pertanian, perniagaan emas yang ditambang di Salido (kini Pesisir Selatan, Sumbar) dan Sawahlunto, juga menjadi tujuan perniagaan ini.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Inggris yang berkuasa di Tumasik (Singapura) dan Malaya. Mereka berusaha menembus ke pedalaman Sumatra lewat tiga sungai besar yang langsung bermuara di Selat Melaka, yakni Sungai Kampar, Sungai Siak dan Sungai Rokan. Tiga jalur utama inilah, plus jalur Sungai Indragiri, yang dijadikan Inggris untuk bersaing dengan para pedagang Belanda agar memperoleh komoditi bermutu tinggi yang sangat laku di Eropa. Bahkan dalam periode 1790-1829, para pedagang dari Amerika juga berkelana mencari kopi dari pantai timur lewat jalur yang dipakai Inggris.

Di periode-periode perniagaan ini, kemudian muncul istilah “Melayu Kopi Daun” di kawasan ini. Masyarakat di pedalaman menjadikan daun kopi sebagai pengganti kopi. Daun kopi diasap, kemudian direbus dan disaring, dan disajikan seperti minum teh atau kopi. Pada awalnya, kondisinya tidak separah itu. Tetapi pada periode 1847-1908, seperti ditulis Mestika Zed –dalam “Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial dalam Sistem Tanam Paksa Kopi di Minangkabau, Sumatera Barat (1847-1908), 1983”—kondisinya semakin meluas karena kopi-kopi dengan kualitas bagus dibawa ke Eropa dan masyarakat lokal cukup meminum rebusan daunnya.

Baca Juga : Al azhar (2)

Ketika Belanda secara politis memaksa berkuasa di Sumatra Tengah, mereka melakukan tanam paksa kopi dan mendirikan perusahaan-perusahaan perkebunan besar (ondernemingen). Masyarakat benar-benar tidak merasakan lezatnya kopi karena kopi-kopi tersebut diangkut ke Eropa dan menjadi komoditi perdagangan dunia yang sangat laku dengan nilai jual yang tinggi. Hasil kopi melimpah, tetapi masyarakat tak punya hak untuk sekadar meminum secangkir kopi yang dihasilkan tersebut.

Menurut Dobbin, munculnya nasionalisme di Sumatra Tengah yang dikobarkan oleh kaum Padri, bukan hanya sebagai perlawanan politis atau keinginan Padri melakukan revolusi keagamaan, tetapi juga karena ingin membebaskan diri dari kekangan kekuasaan Belanda secara ekonomi, terutama mengembalikan perniagaan bebas yang selama ini terjadi dengan baik sebelum Belanda ingin menguasainya secara politis. Belanda perlu menguasai lumbung kopi dan komoditi lainnya itu setelah ambruknya VOC yang selama ini dikendalikan swasta. Mereka melihat kopi, gambir, dan yang lainnya sebagai komoditi yang akan menguatkan ekonomi mereka di Eropa.
Yang menarik, di  beberapa wilayah seperti di Bukittinggi, Padangpanjang,  Payakumbuh, Batusangkar, dan beberapa daerah lainnya hingga jauh di kaki Gunung Kerinci, yakni di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh (Jambi) masyarakat yang menikmat minuman yang kemudian disebut “kawa daun” tersebut juga terjadi hingga kini. Mereka malah menyebutnya sebagai “tradisi”. Kedai-kedai “kawa daun” dibuka di banyak tempat. Malah banyak yang menganggapnya sebagai minuman berkasiat yang bisa menyembuhkan diabetes, menurunkan darah tinggi, dan mengobati penyakit jantung. Serbuk daun kopi dianggap memiliki semacam antioksidan.

Di masa kini, ketika perdagangan bebas mulai digagas dengan diterapkannya ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) 1 Januari 2010 lalu, membuat persaingan perdagangan kian tak mengenal batas. Arus masuknya barang-barang Cina dari peniti hingga mobil, bisa berdampak baik dan menguntungkan, tetapi juga bisa berdampak sangat buruk bagi ekonomi sektor pertanian karena produk-produk pertanian mereka akan masuk dan menjadi pesaing ketat produk pertanian kita.

Atau sebaliknya, harga tinggi produk pertanian unggulan ketika diekspor, bisa membuat kebutuhan dalam negeri tak terpenuhi yang membuat harga akan melambung tinggi tak terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah harus menyiapkan segala perangkat untuk melindungi sektor-sektor tersebut. Kita tentu tak mau kembali ke belakang, ketika masyarakat kita terpaksa meminum daun kopi saat kopi-kopi berkualitas tinggi dalam jumlah besar diangkut ke luar negeri.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook