HARY B KORIUN

Narco (3)

Perca | Minggu, 12 Februari 2023 - 11:06 WIB

Narco (3)
Hary B Koriun (ISTIMEWA)

“Sementara pemerintah memberi me­reka medali, kami hanya memberikan mereka sedikit uang…”  

--Gonzalo Rodriguez Gacha, Bos Kartel Obat Bius

Baca Juga : Pers Bebas

KEMISKINAN menjadi salah satu alasan yang membuat para bos kartel obat bius begitu mengakar. Kepada masyarakat dengan strata sosial rendah itu, mereka memberi harapan dan cita-cita, juga hidup yang layak secara nyata. Ini yang tak bisa diberikan oleh pemerintah Kolombia. Kelompok miskin dengan pengasilan tidak tetap yang berada di sudut-sudut kota Bogota, Medellin, Cali, dan lainnya, atau mereka yang hidup di ladang-ladang pertanian yang tak sabar dengan hasil tanamannya, kemudian memilih kehidupan menggiurkan yang ditawarkan para bos kartel. 

Mereka tinggal di barak-barak kumuh dengan sanitasi yang butuk, atau  di kawasan pengungsi akibat bentrokan antarkelompok yang terjadi di Kolombia dalam dua dasarwarsa lebih sebelum tahun 1990-an yang menewaskan lebih 200 ribu orang. Di kawasan  kumuh ini para pedagang obat bius  mendapat “bahan mentah” proyek pembunuhan dan terorisme yang mereka bangun sebagai alat untuk melawan siapa pun yang menghalangi mereka, termasuk narco. Anak-anak remaja –yang mereka panggil sicario— yang berumur belum 15 tahun, mereka rekrut dan kemudian dilatih untuk menjadi mesin pembunuh tanpa rasa takut sedikit pun. 

Orang seperti Pablo Escobar, Carlos Lehder, atau  Jorge Luis Ochoa, menjadi idola para sicario ini. Anak-anak itu ingin seperti mereka –terutama Escobar— yang bangkit dari kawasan kumuh sebaga anak miskin, menjadi bos narkoba, dan memiliki kekayaan miliaran. Escobar yang mendalangi banyak pembunuhan terhadap mereka yang mengancam bisnis obat bius dan menjadi buronan pemerintah Kolombia dan internasioal, justru menjadi idola dan pahlawan mereka. Menjadi simbol daya tahan hidup dan juru selamat karena memberikan  mereka kesejahteraan.

Bagi anak-anak dan penduduk di wilayah miskin, bendera-bendera pemerintah atau gambar-gambar Presiden Luis Carlos Galan tak berarti apa-apa. Mereka juga tak peduli dengan masa depan Kolombia akan seperti apa karena tak memiliki dampak langsung dalam kehidupan mereka. Jika ikut dan setia kepada pemerintah, mereka akan tetap berada di dasar kemiskinan, sementara gembong obat bius memberikan harapan untuk memiliki uang banyak, sepatu bagus, baju mahal, makan enak, dan sebagainya.

Baca Juga : Al azhar (2)

Para gembong kartel itu adalah orang-orang kaya dan sangat berpengaruh yang memiliki bank, perkebunan, stasiun radio, stasiun televisi, jaringan hotel, pasar swalayan besar, klub-klub sepakbola besar –salah satunya Nacional Medellin milik Pablo Escobar sangat ditakuti di kawasan Amerika Latin dan  melahirkan banyak mega bintang seperti Carlos Valderrama, Andres Escobar, Rene Higuita dll--  dan banyak pabrik lainnya. Perusahaan-perusahaan legal tersebut menyedot ribuan tenaga kerja dan menghidupi ribuan anggota keluarga mereka. Bahkan banyak dari mereka mendapatkan upah yang layak dan tinggi. Pemerintah tak bisa menolak ketika banyak perusahaan memenangkan tender dari dari pemerintah  seperti tambang batu permata dan lainnya. 

Pekerjaan legal itu membuat mereka juga membayar pajak tinggi seperti perusahaan lainnya. Sering pemerintah tak sadar kalau mereka adalah para pedagang obat bius yang akhirnya memunculkan bias. Banyak polisi, tentara, jaksa, hakim, para petugas pajak, dan pegawai pemerintah lainnya yang juga tak sadar kalau mereka sudah berada dalam pusaran kartel yang membuat sulit keluar. Yang terjadi, kasus korupsi, lenyapnya kode etik, dan hilangnya sistem nilai, terjadi sangat parah. Salah seorang ekonom Kolombia, Salomon Kalmanovitz, menjelaskan, 7 persen dari Gross Domestic Bruto (GDP) Kolombia setiap tahunnya adalah akibat langsung perdagangan obat bius, belum termasuk pekerjaan legal yang para kartel itu dapatkan dari pemerintah.

Lenyapnya kode etik dan sistem nilai serta korupsi yang parah, membuat para bos kartel dengan seenaknya mengatur orang-orang yang seharusnya bekerja baik dan jujur untuk negara dan rakyat. Beberapa bulan sebelum tewas, salah seorang bosk artel, Gonzalo Rodriguez Gacha, bicara dengan melecehkan para tentara atau politikus yang mereka cengkeram, dan tak berkutik. Mereka yang berani menentang, akan menjadi korban. Seperti yang terjadi pada beberapa politikus yang berani, antara lain Luis Carlos Galan, Carlos Pizzaro, atau Bernardo Jaramilo. Mereka tewas di tangan narco.

“Sementara pemerintah memberi mereka medali, kami hanya memberikan mereka sedikit uang,” kata Gacha sebelum tubuhnya ditembus peluru oleh tentara pemerintah dalam sebuah baku-tembak beberapa bulan setelahnya. Victor Gaviria, anak muda pembuat film, berhasil meneliti latar belakang sosiologis para mesin pembunuh yang diambil dari anak-anak alias sicario, menyimpulkan, “Aliansi pramiliter-obat bius  merupakan satu-satunya jalan keluar bagi kelompok miskin ini sehingga mereka merasakan bahwa mereka dapat mencapai sesuatu.”

Baca Juga : Napoleon (2)

Meski ancaman kematian yang terus menghantui orang-orang pemberani yang melawan narco, namun Mari Jimena Duzan mengatakan bahwa keliru kalau menganggap Kolombia sedang sekarat. Menurutnya, jumlah orang yang tewas dan genangan darah yang terus mengalir dari mereka yang dibunuh dan dibantai kelompok narco, adalah kesaksian atas keberanian menentang kebrutalan para kartel tersebut. Mereka telah berjuang bagi kelangsungan hidup negara mereka. Jika ada pemimpin petani yang mati, pemimpin politik dibunuh, jurnalis dibedil, akan selalu muncul orang-orang meneruskan perjuangan itu. Lalu, meskipun kelompok narco membunuh mereka kembali, tetap selalu ada penggantinya. Dinamika ini terus terjadi dan berlangsung yang memberikan kepada Kolombia sebuah vitalitas dalam menghadapi segala ancaman tersebut.

Kini, Kolombia relatif lebih baik dari 20 atau 30 tahun lalu. Para kartel obat bius sudah dipersulit geraknya ketika para pimpinan mereka ditangkap, dipenjarakan, atau ditembak mati –seperti halnya Pablo Escobar— yang membuat kematian para politisi, petugas keadilan, atau jurnalis, dan para pemberani lainnya,  sangat berarti bagi terbangunnya masyarakat yang lebih manusiawi. Dunia juga merasakan bagaimana perlawanan para pekerja pers di masa itu yang meskipun ketakutan, tetapi tetap bekerja dan melawan dengan pena dan kamera mereka.***


    









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook