HARY B KORIUN

Sastra Siak (2)

Perca | Minggu, 10 September 2023 - 11:31 WIB

Sastra Siak (2)
Hary B Koriun (RIAU POS)

JIKA yang dimaksud penulis adalah orang yang menulis, jelas, pendapat dia itu ada benarnya. Tetapi dalam dunia menulis, ada eksistensi, ada pengakuan, atau apresiasi. Jika seseorang setelah menyelesaikan tulisannya kemudian dimasukkan ke laci, bagaimana orang akan melihat eksistensinya sebagai seorang penulis? Publikasi –baik di media maupun dalam bentuk buku-- adalah salah satu jalan membangun eksistensi. Baik media maupun penerbit buku memiliki seorang atau lebih editor atau kurator, yang dengan segenap kemampuannya di bidang itu dengan standar tertentu, akan menilai sebuah karya layak atau tidak diterbitkan di media atau menjadi sebuah buku. 

Semakin sering karya seseorang dipublikasikan, pembaca akan tahu bagaimana kualitasnya, meski banyak orang berpendapat bahwa kualitas karya itu sangat relatif. Tetapi, meskipun relatif, jika penerbitan itu lewat kurasi yang ketat, tetap ada standar atau alat ukur yang metodologinya bisa dipertanggungjawabkan. Tentu ini berbeda dengan penerbitan buku-buku secara pribadi yang tidak menggunakan kurator atau editor, tetapi karena si penulis memiliki uang dan menerbitkan naskahnya sendiri menjadi buku.

Baca Juga : Pers Bebas

Sebagai hasil sebuah lomba yang dibatasi oleh tema, hampir semua cerpen yang ada dalam buku Balian, Roh Leluhur yang Diundang inimenjadikan Sungai Jantan (Sungai Siak) sebagai tautannya. Tautan, dalam hal ini, ada yang benar-benar serius mengeksplorasi Sungai Jantan sebagai pusat dan inti cerita –tentu dengan pendalaman melalui observasi atau penelitian serius— atau hanya menjadikannya sebagai latar belakang, setting, atau sekadar menyebut namanya agar tetap masuk dalam tema. Hanya ada beberapa cerpen yang tak berhubungan dengan tema, memilih berbeda. Begitu juga dengan pilihan spesifik tentang ritual ghatib beghanyut –sebuah ritual tolak bala yang dilakukan oleh masyarakat tradisional di beberapa wilayah di Siak— yang dilakukan beberapa penulis dalam cerpennya. Ada yang serius melakukan eksplorasi dan ada yang menjadikannya hanya sebagai tautan saja.

Dari dua hal spesifik itu –Sungai Jantan dan ghatib beghanyut— cerpen berjudul “Balian, Roh Leluhur yang Diundang” karya Ahmad Ijazi yang menjadi pemenang pertama lomba FSSJ 2019 –dan menjadi judul dalam buku tersebut— terlihat dikerjakan dengan serius. Bukan berarti karya yang lain tidak. Cerpen ini dibangun dengan permasalahan yang kontekstual dengan latar ritual adat tradisional, memiliki karakter yang kuat, konflik yang terjaga dengan baik dan ending yang mengejutkan. Unsur-unsur dasar sebuah cerpen yang baik terpenuhi. Iya, sekali lagi, sebuah karya tentu bukanlah sesuatu yang sempurna tanpa cacat, tetapi itu tak mengurangi kekuatan cerpen ini.

Ahmad Ijazi membenturkan pertarungan kapitalisme (dengan entitas tradisional) yang berusaha merampas kepemilikan masyarakat akan tanah. Ada perusahaan sawit yang berusaha mengambil tanah ulayat masyarakat. Ada perlawanan yang dilakukan oleh tetua adat yang didukung masyarakatnya. Di pihak lain, ada tetua adat lainnya yang “seakan” ikut dalam perlawanan itu tetapi sebenarnya justru menggunting dalam lipatan. Kemudian muncul wabah penyakit mematikan yang membuat warga panik, yang disinyalir merupakan perbuatan mistik (teluh) yang dilakukan oleh seseorang. Upaya penyembuhan secara tradisional, dengan memanggil roh Balian --yang selama ini dipercaya masyarakat tradisional itu-- ternyata tak mempan. Di sini, antara siapa yang benar dan yang salah, menjadi sumir, hingga akhir cerita menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Beberapa cerpen lainnya seperti yang ditulis Eko Ragil, Cikie Wahab, Deni Afriadi, Kitty Andriani, Essy Fenbriati, dan beberapa yang lainnya juga menggunakan ritual-ritual tradisional masyarakat, menjumput kearifan lokal sebagai titik awal bercerita. Secara umum, mereka mampu melakukan eksplorasi dengan baik, hanya saja kemampuan membangun plot, karakter, dan ending cerita, masih perlu dipertajam lagi.

Baca Juga : Al azhar (2)

Memang terjadi  kejomplangan yang cukup jauh antara para penulis yang “terlihat” sudah terbiasa menulis cerpen dengan mereka yang namanya masih baru. Jarak yang terjadi seperti ini adalah hal yang biasa, karena sesungguhnya menulis adalah soal kebiasaan. Jika seseorang sering melakukannya, maka pelan-pelan akan terlihat perkembangannya. Tetapi jika menulis tak dijadikan sebuah kebiasaan, maka karya seseorang itu akan mengalami stagnasi, tak berkembang dari waktu ke waktu. Para penulis muda, pemula, atau mereka yang baru belajar menulis, mesti memahami hal ini. Jika cepat puas karena karyanya sudah masuk dalam buku kumpulan ini –dan kemudian berhenti tanpa terus mengasahnya— maka karyanya akan berhenti sampai di situ saja.

Satu hal yang barangkali menjadi persoalan umum dalam hampir semua naskah yang ada dalam buku tersebut –dan nampaknya ini berlaku  pada semua penulis— adalah lemahnya pemahaman terhadap ejaan. Hal yang paling sederhana adalah memahami fungsi “di” atau “ke” saat digunakan sebagai kata depan atau awalan. Banyak yang masih menyamaratakan. Ini belum lagi penggunaan huruf kapital dalam penulisan hal-hal tertentu yang sudah diatur dalam EYD, termasuk bagaimana menulis kata baku atau tak baku dan semua hal tentang behasaan seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 

Seorang penulis sangat penting dan perlu memahami hal-hal teknis tersebut. Sebab, sebagai penulis, alat kerjanya adalah bahasa, seperti halnya petani harus bisa menggunakan sabit atau cangkul. Jika si petani tak bisa menggunakan minimal dua alat itu, bagaimana dia bisa mengolah tanah dan menghasilkan tanaman yang diinginkan?

Di luar hal itu, sekali lagi, apa yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Siak dengan menyelenggarakan Lomba Karya Sastra dalam FSSJ harus diapresiasi, termasuk membukukan karya-karya pemenang dan karya lainnya yang dianggap baik. Ini kerja besar kebudayaan yang harus terus dilakukan dan didukung oleh semua orang.***
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook