HARY B KORIUN

Svetlana

Perca | Minggu, 09 April 2023 - 11:51 WIB

Svetlana
Hary B Koriun (RIAU POS)

SVETLANA Alexievich seperti menampar dunia sastra pada 2015 lalu. Para panelis Nobel Sastra di Stockholm juga seperti mengejek para sastrawan dunia: sedang apa kalian? Haruki Murakami mungkin hatinya muram dan gundah-gulana. Adonis harus lebih bersabar.  Ko Un harus rela menunggu. Laszlo Krasnahorkai bisa menikmati kopi di pinggiran Budapest sambil nonton televisi. Ngugi Wa Thiong’o tak perlu bersedih. Ben Okri bisa tetap tenang dalam puisi-puisinya. Nuruddin Farah juga harus sering berzikir.

Svetlana memang sudah lama jadi perbincangan dunia. Sama halnya nama-nama di atas. Dan jika ditambahkan deretannya lagi masih ada Joyce Carol Oates, Philip Roth,  John Bamville, Jon Fosse,  Mircea Cartarescu, atau Isabell Allende, dan sekian nama lainnya. Apakah Svetlana menulis cerpen, novel, sajak, atau naskah drama? Tidak. Svetlana menulis laporan jurnalistik. Lalu, bagaimana batasan antara sastra dan jurnalistik disatukan seperti itu? Sastra adalah fiksi, sedangkan jurnalistik berpijak pada fakta dengan segala akurasinya. Jika jurnalisme sastrawi yang menjadi pijakan --sebagaimana John Hersey meraih  Pulitzer Prize lewat Heroshima-- tentu tetap dengan dasar yang tak bisa dibantah: fakta. Jurnalisme tak boleh mengarang (fiksi), tetapi sastra bisa berawal dari fakta, meski tetap dianggap sebagai fiksi.

Baca Juga : Pers Bebas

Tetapi, di luar pemahaman tersebut, pengakuan terhadap Svetlana sudah sejak lama muncul. Ketika Alice Munro mendapatkan Nobel Sastra tahun 2013, juga tahun 2014 ketika Patrick Modiano mendapatkan penghargaan ini, nama Svetlana sudah masuk dalam jajaran yang diperhitungkan panelis. Bersama Ngugi, Murakami, dan sederet nama tadi, karya-karya Svetlana dianggap bernilai sastra tinggi meski dibuat sebagai karya jurnalistik. “Nilai sastra” inilah yang menjadi salah satu patokan mengapa Svetlana layak dapat penghargaan adiluhung tersebut.

Svetlana dianggap sebagai jurnalis yang menggunakan mata hati dan kemanusiaannya dalam karyanya. Dia telah melintasi nilai-nilai lain hingga sampai pada suatu titik, bahwa nilai kemanusiaan berada di atas nilai-nilai lain itu. Ketika agama hanya menimbulkan pertumpahan darah di sana-sini dengan dogma kebenaran masing-masing yang sangat egois; ketika politik menjadi mesin yang sangat massif untuk membunuh manusia yang lain; ketika logika kebenaran takarannya sumir, maka nilai-nilai kemanusiaan menjadi sebuah standar yang dilihat dari sisi manapun akan sama pijakan nilainya. Terutama ketika itu menjadikan anak-anak dan wanita sebagai objek korban.

Hal Itulah yang dipilih perempuan kelahiran 31 Mei 1948 itu. Meski lahir setelah Perang Dunia II berakhir, namun Svetlana tetap merasakan aura tragedi kemanusiaan yang ditanggung jutaan manusia di berbagai belahan dunia itu. Dia merasakan jejak itu di tanah kelahiranya di Ivano-Frankivsk, Ukraina, dari ayah seorang Belarusia dan ibu Ukraina sebelum menetap di Belarusia setelah sang ayah berhenti dari militer selepas Perang Dunia II. Setelah Uni Soviet pecah menjadi 15 negara merdeka, dia melawan.

Banyak orang  menafikan perdebatan apakah yang ditulis Svetlana itu bisa disebut karya sastra atau tidak.  Dia menulis kisah-kisah pendek, esai, dan reportase yang semua tentang tragedi kemanusiaan. Dia mengaku banyak dipengaruhi oleh penulis besar Belarusia,  Ales Adamovich, yang membangun genre, apa yang disebut sebagai novel kolektif, novel oratorio, novel kesaksian, atau epic chorus.

Baca Juga : Al azhar (2)

Genre itulah yang dia pilih dalam menuliskan “laporan jurnalistik”-nya tentang bocornya reaktor  nuklir Chernobyl, Perang Soviet, Perang Afghanistan, dan tragedi kemanusian lainnya pascahancurnya Soviet pada 25 Desember 1991.   “Selama 30 atau 40 tahun terakhir, dia telah memetakan individu Soviet pasca-runtuhnya Soviet. Yang dipaparkannya bukan hanya sejarah peristiwa, tetapi juga melibatkan emosi orang-orangnya. Dia menawarkan dunia yang emosional. Dia memahami manusia, dan menuliskannya dengan penuh rasa kemanusiaan,” kata Sara Danius, Ketua The Swedish Academy.

Salah satu karya Svetlana yang menjadi penting dan dianggap sebagai pijakan utama penilaian adalah U voijny ne zenskoe lico (War’s Unwomanly Face). Buku pertamanya yang terbit pada 1985 itu merupakan laporan jurnalistik yang sangat panjang tentang penderitaan satu juta lebih wanita Rusia yang berada di garda paling depan dalam Perang Dunia II. Sebuah fakta yang selama ini disimpan dalam sejarah Rusia. Untuk penulisan ini, dia harus wawancara dengan ratusan wanita yang lolos dari maut perang tersebut, atau dengan anak-anak dan suami mereka saat perang itu terjadi. Mereka orang biasa, tak memiliki jabatan apapun saat perang, tetapi tahu dan merasakan kepedihan perang itu. Mereka dibiarkan bercerita sebagai diri mereka sendiri dengan penuh emosional, yang membuat buku itu secara komersil terjual lebih dua juta kopi dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.

Sebuah buku yang membuat Rusia marah dan menjadikan Svetlana sebagai target agen rahasia. Dia berkelana selama sepuluh tahun di beberapa negara untuk menghindari segala kemungkinan buruk sebelum Rusia pecah. Dia pernah tinggal di Jerman, Prancis, Italia, dan Swedia, dan kembali ke Minsk --ibu kota Belarusia yang kini jadi sekutu Rusia.

Beberapa bukunya yang lain adalah Voices from Chernobyl yang bercerita tentang bencana dahsyat di Ukraina tersebut, yang dampaknya hingga kini masih dirasakan oleh masyarakat di sana. Buku Zinky Boys, adalah balada para anak-anak korban perang di Soviet dan Afghanistan. Buku-bukunya selalu membuat marah Moskow karena investigasi yang dilakukannya dianggap hanyalah sebuah fitnah. Hingga kini, ketika krisis Ukraina terjadi, Svetlana tetap menuduh Rusia sebagai dalang pembunuhan. 8.000 orang tewas di Ukraina dalam krisis tahun 2014  yang hingga kini belum selesai benar. Ditambah aneksasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina hari ini. Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak dan perempuan.

“Saya mencintai Rusia, tetapi jika itu tanpa Josef Stalin, Lavrenty Beria,  Sergei Shoigu, juga Vladimir Putin. Jika tanpa mereka, Rusia akan lebih baik,” ujarnya.  

Baca Juga : Pers Bebas

Stalin dan Beria adalah dua “algojo” pembantaian massal jutaan rakyat Rusia setelah Perang Dunia II, sedang Shoigu adalah Menteri Pertahanan Rusia tahun 2014 saat dia dapat Nobel, yang mengambil inisiatif mempersenjatai pasukan sparatis di wilayah timur Ukraina. Dan Putin?

Svetlana bukan hanya sebuah tamparan untuk eksistensi Rusia, tetapi juga dunia yang mengabaikan hak manusia untuk hidup hanya karena perbedaan suku, ras, agama, politik, dan wilayah administratif.  Svetlana juga mengingatkan dunia sastra, bahwa sastra ternyata bukan hanya urusan bentuk: novel, sajak, cerpen, naskah drama, dan sebagainya. Atau pola pengucapan, rima, dan pencapaian estetik lainnya. Bahwa karya jurnalistik dengan semangat kemanusiaan dan nilai sastra, juga bagian yang sangat agung. Jadi, sastra bukan hanya sebuah pesta dan perayaan verbal. Sastra adalah sebuah nilai kemanusian. Dan nilai kemanusiaan itulah yang mestinya menjadi ideologi yang diusung sastrawan. Ini yang juga menjadi “standar” Nobel selama ini. Bukan karya indah yang kosong.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook