HARY B KORIUN

Allende (3)

Perca | Minggu, 06 Agustus 2023 - 11:26 WIB

Allende (3)
Hary B Koriun (RIAU POS)

SAAT mulai tumbuh remaja, Alba masuk perguruan tinggi dan bertemu Miguel, yang kemudian menjadi kekasihnya. Miguel adalah seorang revolusioner, dan Alba ikut melibatkan diri dalam berbagai demonstrasi mahasiswa terhadap pemerintah konservatif, di mana kakeknya ikut berperan di dalamnya. 

Namun masa-masa lebih buruk kemudian datang. Setelah kemenangan Partai Rakyat (gerakan sosialis-marxis) dalam pemilu, suasana politik Cili carut-marut. Takut akan kediktatoran komunis, Esteban dan rekan-rekannya sesama politisi merencanakan kudeta militer terhadap pemerintahan sosialis. Kudeta berhasil, namun seperti senjata makan tuan, keluarga Esteban justru merasakan dampak buruknya. Salah satu putranya, Jaime, dibunuh secara sadis, sementara Blanca dan Pedro juga diburu tentara sebelum diselamatkannya, dilarikan ke Kedutaan Besar Kanada. Di negara inilah keduanya membangun hidupnya. 

Baca Juga : Pers Bebas

Hal yang sangat mengerikan harus dialami Alba (dalam film, oleh Bille August, porsi ini dialami oleh Blanca). Dia direnggutkan dari sang kakek, Esteban, di rumahnya, karena ikut sebagai aktivis sosialis-marxis, kemudian disiksa dan diperkosa oleh Kolonel Esteban Garcia, anak haram jadah Esteban Trueba, yang masuk sekolah militer atas bantuan Esteban. Garcia melampiaskan rasa dendam dan sakit hatinya --karena tak diakui sebagai anak Esteban Trueba-- kepada Alba, dengan alasan untuk mendapat informasi tentang Miguel, kekasih Alba, yang juga seorang aktivis sosialis. Namun sebenarnya, Garcia melakukan itu sebagai balas dendam terhadap apa yang dilakukan Esteban Trueba terhadap ibunya, Pancha Garcia, yang kemudian dibuangnya sebagai pekerja di tanah pertanian. 

Alba kehilangan keinginan untuk hidup karena sakitnya disiksa, dilecehkan dan diperkosa. Lalu dia dikunjungi oleh roh Clara yang memberi tahu dia untuk tidak mengharapkan kematian karena hal itu akan didapat dengan mudah, tetapi yang justru sulit adalah bagaimana berjuang untuk tetap hidup karena hal itu akan menjadi sebuah  keajaiban. Pertemuan Alba denga Clara ini adalah salah peristiwa yang aneh. Alba merasa benar-benar bertemu dan komunikasi dengan Clara yang sudah meninggal. Komunikasi “janggal” ini –salah satu dari apa yang disebut sebagai realisme magis dalam karya sastra yang berkembang di Amerika Latin—yang kemudian menyadarkan Alba. Bahwa baik-dan buruk itu adalah bagian dari kehidupan manusia yang sudah digariskan oleh Tuhan kita. Alba kemudian pasrah atas apa yang diterimanya dan selalu berdoa agar dia bisa terbebas dari apa yang terjadi.

Esteban  akhirnya berhasil membebaskan Alba dengan bantuan Transito Miguel Soto, seorang teman lama yang memiliki sebuah hotel tempat para petinggi junta militer bersenang-senang dengan para perempuan. Setelah membantu Alba menulis memoar keluarganya, Esteban Trueba meninggal dalam pelukan Alba, dan seperti didatangi roh Clara. Esteban mati dengan tersenyum, tidak seperti kutukan Ferula bahwa dia akan mati seperti anjing.

Alba menjelaskan, dia tidak akan membalas dendam pada mereka yang telah menyiksanya, menunjukkan harapan bahwa suatu hari siklus manusia dari benci dan balas dendam dapat dipatahkan. Alba menulis buku memoar keluarganya untuk menghabiskan waktu sambil menunggu Miguel dan kelahiran anaknya, buah dari perkosaan yang dilaminya selama disekap oleh Kolonel Esteban Garcia, atau dari Miguel. 

Baca Juga : Al azhar (2)

“... Aku berpikir bahwa tugas hidup serta misiku bukanlah untuk memperpanjang kebencian ini, tapi semata-mata mengisi halaman-halaman ini sembari menunggu kembalinya Miguel, sambil menguburkan kakek yang kini berbaring di sampingku di kamar ini, seraya menunggu tibanya zaman yang lebih baik, sambil mengandung anak yang ada dalam rahimku, anak hasil dari begitu banyak perkosaan atau bisa jadi anak Miguel, namun toh bagaimanapun tetap putriku sendiri,” kata Alba.

Namun pada dasarnya, Alba dan novel ini secara keseluruhan bercerita tentang kompleksitas seorang manusia bernama Esteban Trueba dari segala sisi dirinya, sisi baik maupun buruknya. 

Dalam sastra, karya yang baik adalah menjadikan karakter sebagai “manusia” yang punya sisi baik dan buruknya. Ini berbeda dengan para hero ciptaan Marvel atau DC Comic, yang menjadikan manusia sebagai nabi, yang tak kenal dengan kesalahan dan dosa.

Jika  membaca novel Saman karya Ayu Utami (pemenang lomba menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 1998) sebelum membaca novel ini, kita akan mengendus aroma yang mirip dalam setting saat Alba disekap, disiksa, dan diperkosa Esteban Garcia dan teman-temannya. Dalam Saman, karakter Saman (Wisanggeni) mengalami penyiksaan dan pelecehan seksual saat disekap oleh “orang-orang bersepatu lars dan berambut cepak” di salah satu rumah kosong tak berpenghuni, di tengah perkebunan. 

Jika Alba diperkosa, Saman dilecehkan secara seksual dengan kelaminnya diselomot puntung rokok dan strum listrik. Jika Alba didatangi roh Clara saat kehilangan kesadarannya, Saman didatangi oleh roh “adik” yang kemudian membebaskannya. Kedua novel ini sama-sama membawa semangat etika pembebasaan dengan realisme magis. Bedanya jika Isabel Allende mengeksploitasi trah sebuah keluarga, Ayu mengeksploitasi dari sisi seksual para karakternya yang dibalut perlawan sosial dengan latar tirani Orde Baru. 

Secara keseluruhan, roh The House of the Spirits juga dengan mudah akan kita hirup dalam novel Saman. Tetapi, dalam dunia penciptaan, termasuk karya sastra, tidak ada sesuatu yang berawal dari kekoso­ngan. Sebuah adagium yang perlu dipahami bahwa tidak ada yang benar-benar baru dalam dunia penciptaan-kreatif, termasuk dalam fiksi. *** 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook