“Untuk apa membayar pajak jika rakyat semakin sengsara dan uangnya dibawa ke Eropa untuk memakmurkan rakyat Belanda?”
-- Samin Surantiko
PERLAWANAN orang Samin --mereka mengatakan dirinya sebagai Sedulur Sikep atau Wong Sikep-- melawan Pemerintah Kolonial Belanda terbilang unik. Di bagian utara Jawa Tengah --terutama di Pati, Jepara, Rembang, Kudus, Grobogan dan Blora, juga di Tuban (Jawa Timur)-- mereka hidup mengikuti kemauan alam. Mereka menjaga alam dengan baik. Mereka tak menebang hutan di gunung dan perbukitan karena mereka tahu itu adalah sumber air. Sumber kehidupan. Jika hutan di bukit atau gunung itu rusak, sumber air akan menghilang. Dengan begitu, kehidupan mereka juga akan susah karena lahan pertanian mereka, persawahan, akan kesulitan air. Namun, jangan coba menggangu ketentraman mereka, karena mereka punya tradisi melawan dengan pembangkangan.
Perlawanan mereka terhadap rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Semen Gresik (Semen Indonesia Group/SIG) di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah pada tahun 2006 adalah contohnya. Warga Samin menolak karena dianggap mengancam pertanian dan mata air. Lalu, pada 2009, warga Samin memenangi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga Mahkamah Agung. Pada tahun yang sama juga, PT Semen Gresik mundur dari Pati dan pindah ke Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Namun, ancaman pembangunan pabrik semen datang lagi pada 2010. Grup Indocement masuk Pati dengan rencana membangun pabrik di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, tetangga desa orang-orang Samin.
Di saat perlawanan itu berlangsung, PT Semen Gresik berhasil masuk Rembang dan mendirikan pabrik mulai 17 Juni 2014. Sebagian warga Pati dan Rembang dibantu orang-orang Samin dan aktivis lingkungan terus menghadapi SIG dan Grup Indocement. Namun, PT Semen Gresik Pabrik Rembang di bawah SIG kini sudah beroperasi dan berproduksi. Begitu juga dengan pabrik Indocement di Pati yang dikelola anak perusahaan Idocement, PT Sahabat Mulia Sakti, sudah beroperasi sejak uji coba pada 2020 lalu. Meski begitu hingga kini, perlawanan masyarakat terus terjadi dan pemerintah yang memberi izin pendirian nampaknya tak ada niat untuk membatalkan pembangunan pabrik tersebut.
Kapitalisme memang tak pernah menyerah. Dengan dalih membangun perekonomian negara dan membuka lapangan kerja dan multiplier effect lainnya, jalan apa pun akan tetap ditempuh, termasuk dengan kekerasan. Perlawanan orang Samin di sekitar dua pabrik yang didirikan oleh SIG dan Indoncement di kawasan Bukit Kendeng itu tak mampu dihentikan. Alasan lingkungan tak bisa lagi mencegahnya. Meski mereka kalah di PTUN hingga tingkat kasasi yang dimenangkan masyarakat, pabrik-pabrik tersebut tetap mencari cara untuk bisa berdiri dan eksis hingga kini.
Orang Samin memiliki sejarah lumayan panjang dengan jejak perlawanan. Mereka melawan tanpa kekerasan. Mirip ajaran Ahimsa-nya Mahatma Gandhi. Lebih pada pembangkangan sipil. Di masa lalu, saat masa-masa awal kelompok ini muncul, mereka sering melakukan pembangkangan pajak. Bagi mereka, tak ada hak negara menarik pajak dari rakyat. Juga, tak ada kewajiban rakyat harus bayar pajak kepada negara, karena hanya akan memperkaya para pemungut pajak itu yang hidup bergelimang harta dan berfoya-foya, sementara rakyat terus melarat dan kekurangan pangan.
Seperti dikutip Saripan Sadi Hutomo di Majalah Basis, “Di zaman Belanda, dulu orang-orang membayar pajak bukan berdasar sukarela, tetapi atas paksaan (ditentukan besarnya) hingga orang-orang Samin tidak mau membayarnya. Mereka tidak senang. Tidak mau memperbaiki jalan. Dikenakan ronda juga tidak senang. Lebih baik menjaga rumah sendiri. Bila berselisih dengan pemerintah (Belanda) mereka akan dikenakan hukuman kerja paksa.”
Ajaran ini muncul lewat seorang keturunan priyayi (bangsawan) rendahan bernama Raden Kohar Surowijoyo yang lahir di Desa Ploso Khediren, Bojonegoro, 1859. Di masa mudanya, dia pernah menjadi bromocorah –merampok orang-orang kaya— dan membagikan hasil rampokannya kepada orang-orang miskin di desanya yang sering kelaparan. Setelah itu dia berhenti dan menjadi petani di desanya. Dia menanam padi di sawah dan mencari rumput untuk ternaknya. Saat itulah Raden Kohar mengganti namanya menjadi Samin Surantiko. Nama yang dianggap merakyat, tanpa “Raden” di depannya.
Samin mulai melakukan kegiatan berdasarkan keyakinannya pada rahun 1890, saat berusia 31 tahun, di Desa Klopodhuwur. Inti ajarannya adalah membebaskan diri dari perbudakan, yang tak perlu takut akan tekanan dan ancaman, termasuk dari penguasa. Belanda awalnya tak menganggap keberadaan aliran yang diajarkan Samin penting dan berbahaya meskipun dari waktu ke waktu pengikutnya selalu bertambah. Pada Januari 1903, ada 772 pengikutnya yang tersebar di 34 desa di Blora. Belanda baru tersadar ketika tahun 1907 pengikut Samin sudah mencapai lima ribu orang, dan terus menyuarakan pembangkangan agar tidak membayar pajak. Mereka juga membentuk kawasan-kawasan ekslusif bagi penganut ajaran Samin yang terpisah bagi penduduk lain di hampir semua desa yang mereka tempati.
“Untuk apa membayar pajak jika rakyat semakin sengsara dan uangnya dibawa ke Eropa untuk memakmurkan rakyat Belanda?” Begitu salah satu doktrin yang disampaikan Samin kepada para pengikutnya.
Para pengikut kemudian mengangkat Samin sebagai Ratu Adil –istilah lainnya adalah Imam Mahdi atau Satria Piningit— dengan gelar Prabu Pangeran Suryangalam, pada 8 November 1907. Belanda ketakutan dengan hal itu karena pengikutnya terus bertambah hingga keluar Blora seperti Pati, Madiun, Tuban, Rembang, Jepara dan banyak kabupaten lainnya. Isu yang terembus bahwa orang Samin akan melakukan pemberontakan membuat Belanda kemudian menangkap Samin lewat Asisten Wedana di Blora, Raden Pragola, di hari ke-40 setelah Samin dinobatkan sebagai Ratu Adil. Samin kemudian dibawa ke Rembang dan dikurung di sebuah tobong bekas pembakaran batu gamping. Setelah diinterogasi dan dianggap bersalah, bersama pengikutnya dia dibuang ke Padang, lalu dijadikan pekerja paksa di tambang batu bara di Sawahlunto. Dia meninggal pada tahun 1914.
Namun, para pengikutnya terus bergerilya mengembangkan ajarannya yang antipajak dan hidup sederhana tersebut. Tercatat, Wongsorejo meluaskan ajaran Samin di Madiun; Surohidin –menantu Samin—berjuang di Grobokan; Karsiyah mengembangkannya di Kajen (Pati); dan ada yang menyebarkannya hingga ke Tuban dan daerah lainnya. Di tempat-tempat tersebut mereka berhasil mempengaruhi masyarakat desa agar tak membayar pajak. Mereka melakukan perlawanan secara pasif dan terpencar-pencar yang membuat Belanda semakin geram. Sayangnya, lama-kelamaan, penindasan yang dilakukan oleh Belanda membuat gerakan ini melemah. Pada tahun 1930, gerakan Samin dianggap sudah habis karena tak adanya pemimpin yang tangguh.
Tapi, apakah orang Samin yang kini lebih suka disebut sebagai Sedulur Sikep, sudah habis? Perlawanan mereka terhadap pembangunan dua pabrik semen di kawasan Bukit Kendeng pantai utara Jawa hingga kini, membuktikan bahwa eksistensi ajaran mereka tetap hidup. Namun mereka tak lagi menyerukan pembangkangan membayar pajak. Hidup sederhana menjauhi modernitas dan gaya hidup kapitalis dengan mencintai alam, kini menjadi pilihan mereka. Meski, mereka juga merasakan ketidakadilan dari pajak yang mereka ikut bayarkan kepada pemerintah.***