HARY B KORIUN

Narco (2)

Perca | Minggu, 05 Februari 2023 - 10:23 WIB

Narco (2)
Hary B Koriun (RIAU POS)

“Para wartawan harus menghadapi perang yang sesungguhnya, yakni melawan rasa takut di dalam jiwa mereka dan mengisinya dengan kewajiban melaporkan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi.”
--Maria Jimena Duzan


HIDUP dengan penuh ketakutan, dialami hampir semua jurnalis di Kolombia di periode kartel obat bius  berkuasa saat itu. Perang kata-kata yang dilakukan jurnalis dengan berita yang ditulis, diucapkan (di radio dan televisi) ketika itu terjadi, dan pembunuhan juga terus terjadi. Sejak tewasnya bos El Espectador, Giulermo Cano Isaza dan sekian orang lainnya, pembunuhan terhadap pekerja media terus terjadi.

Baca Juga : Pers Bebas

Kematian Roberto Surasty, seorang penyiar radio di Medellin, menjadi perbincangan, bahkan sebelum Surasty dibunuh. Surasty adalah penyiar yang berani memproduksi program-program populer, termasuk masalah kartel obat bius dan narco. Dia menganggap program tersebut biasa saja, seperti tanpa rasa takut, tetapi membuat banyak rekannya ketakutan. Semua orang tahu, Medellin wilayah kekuasaan Pablo Escobar. Di sana Escobar seperti seorang raja yang bisa melakukan apa pun lewat tangan-tangan narco untuk menculik, memperkosa, atau membunuh siapa saja orang yang melawannya, tanpa harus dihubungkan dengan dirinya. 

Tak lama setelah itu seorang penyiar televisi terkenal, Jorge Enrique Pulido, ditebas dan tewas di jalanan Medellin setelah menyiarkan program khusus tentang seorang gembong kartel di Medellin, Nacho Abello. Nabello sedang diekstradisi ke Amerika Serikat (AS), dan Pulido menjelaskan dalam programnya bahwa hal itu adalah pukulan keras terhadap kartel obat bius. Dan, setelah itu, seseorang menemukan Pulido tewas beradarah-darah di jalan.

Pada September 1990, delapan jurnalis diculik untuk dipakai kelompok narco sebagai sandera agar mereka bisa berdialog dengan pemerintah. Lima orang setelah itu dilepaskan. Sayangnya, Diana Turbay, anak mantan Presiden Kolombia, Julio César Turbay Ayala, yang memerintah sejak 7 Agustus 1978 hingga 7 Agustus 1982, tewas. Diana ditembak penculiknya ketika polisi sedang berusaha membebaskannya. Hingga tahun 1991, masih ada dua jurnalis dari walnya delapan yang diculik itu masih disandera dan belum dilepaskan.

“Jika tujuan para pengedar obat bius itu untuk mengekang kebebasan berpendapat, maka mereka gagal sama sekali,” kata Maria Jimena Duzan.

Baca Juga : Al azhar (2)


Namun efek dari pertarungan jurnalis-media dengan narco ini luar biasa: ketakutan yang sangat. Ketakutan para jurnalis inilah yang kemudian membuat mereka melakukan apa yang disebut self-cencorship. Sensor diri. Sensor diri ini dipilih sebagai salah satu cara untuk selamat dari ancaman pisau atau peluru yang seolah-olah selalu membayangi setiap langkah para jurnalis saat bekerja. Hal yang membuat para jurnalis tidak berpikir bebas dan rasional karena jika tetap bersuara seperti biasanya, maka kematian --atau paling tidak penculikan dengan perlakukan penyiksaan dari kartel-- akan mereka dapatkan. 

Menurut Maria, sensor diri ini seperti kebutuhan meminum untuk dapat menjalankan jurnalisme yang patut dan terhormat, tak bisa dilakukan. “Seringkali sensor diri ini lebih buruk dari sensor yang dilakukan oleh diktaktor militer yang tiran, karena sensor diri ini merongrong jiwa, dan dengan demikian menghasilkan ketakutan dan kelemahan tekad. Batas-batas kebebasan dibayang-bayangi oleh kekuasaan para pengedar obat bius.”

Maria mengaku seperti ketakutan dengan kata-kata dan kalimat yang dipilihnya dalam membuat laporan tentang perdagangan obat bius itu. Sensor diri yang dilakukannya seperti gelombang yang menerpa yang memberi ancaman maut, sebab jika salah dalam menulis –memilih kata dan kalimat—bisa berakibat fatal: penculikan atau pembunuhan. Para wartawan harus menghadapi perang yang sesungguhnya, yakni melawan rasa takut di dalam jiwa mereka dan mengisinya dengan kewajiban melaporkan mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. 

Bukan hanya wartawan, para petugas hukum juga mengalami hal yang sama. Ketika seorang polisi menangkap gembong atau pelaku narco, ketika jaksa membuat tuntutan, atau ketika hakim memutuskan hukuman, mereka sesungguhnya telah menandatangani akta atau sertifikat kematiannya sendiri. Dan salah satu upaya untuk menghindari kematian, banyak dari mereka yang lari ke luar negeri tanpa memberi tahu kerabat atau keluarganya dia tinggal di mana. Sebab jika narco tahu alamat di mana dia tinggal di negara pelarian, maut tetap mengancamnya. Jaringan narco yang ada di mana-mana memungkinkan hal itu.

Baca Juga : Ambigu

Mereka yang melarikan diri ke luar negeri –termasuk para jurnalis— memilih bekerja dalam senyap. Diam. Maria yang melarikan diri ke Paris, juga memilih bekerja dengan senyap. Dia tetap menghubungi nara sumbernya di Kolombia lewat saluran telepon –meski rawan disadap— dan tidak bepergian sesuka hati. Semakin diam akan semakin aman. Semakin tidak dikenal orang, akan semakin aman. Bagi jurnalis yang memilih tetap tinggal di Kolombia, mereka  harus belajar menggunakan senjata api, bepergian dengan pengawalan, menggunakan jaket antipeluru, juga mengganti rute perjalanan pulang atau pergi ke tempat kerja. Mereka juga berlatih beladiri karena segala kemungkinan bisa terjadi di mana saja.

Sementara itu, kantor-kantor surat kabar, baik di Bogota atau kota-kota lainnya, lebih menyerupai kantor tentara atau polisi karena tentara dan polisi berada di hampir semua sudut gedung, juga di luar gedung. Setiap saat patroli mereka lakukan di sudut-sudut kantor bersama anjing pelacak untuk memastikan tidak ada  bom yang dipasang narco. Rasa ketakutan yang luar biasa namun dengan tetap melakukan pekerjaan, kadang membuat mereka hampir putus asa. Sebab, berpikir rasional rasanya sudah hilang, dan pertanyaan tentang independensi –sesuatu yang dianggap penting oleh pers Eropa atau AS-- juga blur. Yang menjadi persoalan,  “independen” atau “netral” bagi pers Kolombia adalah barang mewah. Bagi mereka, pers adalah suatu sarana untuk menyampaikan berita dan menggerakkan revolusi sebagaimana Simon Bolivar –tokoh pejuang yang banyak memerdekakan negara di Amerika Latin dari kolonialisme Spanyol—yang selalu membawa mesin cetak ke mana pun dia pergi dan menggunakannya sebagai senjata.

Pers Kolombia memang harus memilih melawan narco sebab kelompok itu juga tak mau kompromi. Banyak jurnalis yang berani, akhirnya mati, tetapi tetap muncul jurnalis pemberani lainnya yang meskipun kemudian diculik atau juga mati. Pers Kolombia memang sepakat tidak memberi ruang bagi kartel obat bius ini untuk menjadikan media sebagai alat propaganda. Tak ada ruang untuk konfirmasi atau ceck and balance. Semua sudah jelas siapa lawan dan kawan. Dan jika karena itu  pers Kolombia dianggap tak independen, maka itu sebuah pilihan. Bagi gerombolan narco, pers bukan  sekadar berita, tetapi kekuatan. Mereka takut terhadap jurnalis dan media, sebagaimana jurnalis dan media juga takut kepada mereka. Sebuah perjuangan yang mungkin tak terjadi di negara lain.***
 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook