“Benar, seluruh bangsa kita harus belajar. Belajar berevolusi, belajar menjadi bangsa yang merdeka. Belajar menjadi manusia merdeka. Belajar mengenal dirinya sebaik mungkin. Belajar mengenal kelemahan-kelemahan diri sendiri agar dapat memperbaikinya. Belajar mengenal dunia kini sebaik-baiknya...”
MOCHTAR Lubis terkejut mendengar apa yang dikatakan Soetan Sjahrir yang pikiran-pikirannya banyak berseberangan dengan Soekarno –hal yang “menyatukan” keduanya adalah keinginan kuat untuk membuat Indonesia merdeka dan sangat anti-kapitalisme-kolonialisme. Mochtar Lubis --ketika itu, di awal Indonesia merdeka, beberapa waktu setelah Sjahrir diangkat menjadi Perdana Menteri Indonesia pada 14 November 1945-- adalah wartawan muda di Kantor Berita Antara, yang ditugaskan mewawancarai Sjahrir.
Di rumah Sjahrir yang sederhana di Jalan Jawa –juga dengan pakaian yang sangat sederhana dengan baju dan celana yang sama-sama pendek dan berwarna putih— Mochtar yang baru masuk Antara tak punya pengalaman menjadi wartawan sebelumnya, ditanya oleh Sjahrir, sudah berapa lama menjadi wartawan. Mochtar menjawab bahwa dia belum pernah menjadi wartawan, dan “ini baru permulaan”. Sjahrir kemudian bertanya: “Bagaimana berani melakukan sesuatu pekerjaan yang belum pernah dilakukan?” Setelah terdiam sejenak karena terkejut, Mochtar muda menjawab: “Sama juga dengan Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Kan juga belum pernah menjabat sebagai presiden, wakil presiden,dan perdana menteri?”
Sadar dengan jawabannya, Mochtar agak deg-degan, takut tak berkenan oleh sang Perdana Menteri Sjahrir. Ternyata, setelah itu Sjahrir malah tertawa lepas. Kemudian keluarlah jawaban yang masih sangat relevan hingga kini seperti di atas.
Sjahrir adalah sebuah paradok dalam sejarah pendirian dan “pendirian” –dua hal yang memiliki makna yang sangat berbeda— bangsa ini. Bersama Soekarno dan Hatta, ketiga orang ini menjadi andalan, sebagai simbol keberanian sebuah bangsa yang sekian waktu terjajah oleh kesombongan (karena kemiskinan, sebenarnya) bangsa Eropa: Belanda dan Inggris, dan “ketamakan” Jepang.
Sjahrir yang berpendidikan Barat tetapi yakin bahwa kapitalisme Barat adalah sebuah jebakan dan jerata, sadar bahwa menjadi bangsa yang merdeka tidak serta-merta dan mudah. Hal yang paling sulit adalah menjadikan diri kita, individu, sebagai manusia yang merdeka. Berpikir merdeka. Tanpa itu, sebuah bangsa tak akan pernah bisa merdeka, meski bisa melepaskan diri dari cengkraman kolonialisme. Sebab, banyak penjajahan dalam bentuk lain yang harus dihadapi.
Sosialisme –sesuatu yang diyakini Sjahrir bukan hanya karena dia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) pada Juni 1932 sebagai pengganti PNI (Soekarno)yang dibubarkan sendiri oleh para pengurus partainya karena kebrutalan politik kolonial Belanda, dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) tahun 1948-- mengajarkan banyak hal tentang bagaimana memerdekakan diri dan memerdekakan sebuah bangsa, dengan kedaulatan individu atau diri masing-masing. Kemerdekaan Indonesia adalah cita-cita bersama seluruh rakyat, tetapi Sjahrir melihat banyak teman-teman pergerakan –yang kemudian beberapa malah menjadi lawan politiknya-- yang ingin kemerdekaan itu diperoleh dengan cepat dan “seratus persen”.
Semasa masih kuliah hukum di Amsterdam, kemudian mendirikan dan mengendalikan PNI Baru bersama Hatta, Sjahrir yakin bahwa kemerdekaan memang harus didapat secepatnya. Merdeka penuh. Sesuatu yang juga diinginkan Tan Malaka dan yang lainnya, yang membuat dia beda pandangan saat Soekarno memilih “bekerja sama” saat pendudukan Jepang. Sjahrir tak suka Soekarno dekat dengan Jepang karena dia punya analisa sendiri bahwa Jepang tak akan kuat melawan Sekutu dan akan kalah dalam perang. Dia juga tak ingin ada kesan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dari Jepang.
Dalam Perjoangan Kita, Sjahrir sering menyerang Soekarno dengan tulisan yang pedas dan agresif. Jika Soekarno amat terobsesi pada persatuan dan kesatuan, Sjahrir justru menulis, “Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.” Kemudian, dia juga menulis, “Nasionalisme yang Soekarno bangun di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme,musuh terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita.”
Tetapi, ketika dia menjadi perdana menteri, lalu melakukan banyak pertemuan dengan para pemimpin politik lainnya --termasuk melakukan diplomasi dengan Belanda yang ingin kembali berkuasa-- dia sadar bahwa kemerdekaan seratus persen seperti yang diinginkannya sebelum Proklamasi 17 Agustus, memang perlu kesabaran, waktu, dan ikhtiar. Secara tidak langsung, dia “membenarkan” apa yang pernah dilakukan Soekarno ketika dekat dengan Jepang, bahwa untuk mendapatkan kemerdekaan itu perlu kesabaran dan kecerdasan, bukan dengan emosional.
Perjanjian Linggarjati 1946 oleh beberapa kalangan dianggap merugikan Indonesia karena Belanda hanya mengakui kemerdekaan atas Jawa, Sumatra, dan Madura; membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS); dan memasukkan Indonesia ke dalam Commonwealth/Persemakmuran dengan mengakui Ratu Belanda sebagai pemimpinnya. Perjanjian Linggarjati dianggap menjadi titik lemah dari seorang Sjahrir yang di masa pergerakan terlihat begitu radikal, garang, dan tanpa kompromi.
Jalan diplomasi kemudian benar-benar menyadarkan Sjahrir tentang sebuah cita-cita “merdeka seratus persen”. Setelah tak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri (Kabinet Syahrir III), dia diutus menjadi perwakilan Indonesia di PBB. Sebelum ke New York, dia bersama KH Agus Salim mampir ke New Delhi dan Kairo untuk meminta dukungan India dan Mesir. 14 Agustus 1947, Sjahrir berpidato di depan Dewan Keamanan PBB. Di sana, dia menjabarkan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang berabad-abad memiliki peradaban, memiliki aksara dan bahasa sendiri, yang dieksploitasi kaum kolonial: Belanda. Dia mematahkan argumen Eelco van Kleffens (Duta Besar Belanda untuk PBB) yang berpidato sebelumnya, bahwa Indonesia bukanlah sebuah tanah yang berperadaban sebelum mereka datang. Pidato inilah yang meyakinkan PBB ikut campur.
Sjahrir telah memberi pelajaran penting bagi kita bahwa dedikasi untuk bangsa adalah segalanya, tanpa pamrih. Sikapnya yang teguh membela rakyat membuat dia harus merasakan kondisi yang pahit menjelang hayatnya. Dianggap berada di belakang PRRI, PSI yang selalu kritis terhadap pemerintah dibubarkan Soekarno. Pertikaian dua pendiri bangsa ini kemudian berujung pada penangkapan Sjahrir dan dipenjara tanpa diadili selama tiga tahun (1962-1965) sebelum mengalami stroke dan diizinkan berobat ke Zurich (Swiss). Pada 9 April 1966 Sjahrir meninggal di Zurich, masih dalam status tahanan negara. Namun, semua orang tahu siapa Sjahrir: dialah roh bangsa ini yang sebenarnya***