Disrupsi teknologi telah menggagalkan kita untuk membaca sejarah masa lalu. Meski tidak terlepas dari dampak penggunaan teknologi, tetapi dunia sastra belum mampu untuk menjadi sebuah industri. Seharusnya sarana teknologi bukan dianggap sebagai alat pengembangan terjemahan pemikiran sastra karena sastra adalah sebuah kontemplasi nilai dan seni yang bergerak sesuai entitas manusia. Pergerakan ini yang terukur oleh masa, dianggap sebagai orientasi aliran yang menyejajarkan karya sastra dalam pemikiran manusia.
Kenapa sastra harus terpenjara dalam dimensi pemikiran sementara pemikiran manusia itu mengikuti kebutuhan zaman? Jika kita melihat hasil karya sastra kini, jujur hanya sebatas untuk memenuhi pengakuan diri atau seremoni belaka, tidak mengikat pada esensi nilai sastra yang mampu bertahan dalam sekian waktu panjang. Kritik sastra pun bukan lagi dianggap sebagai apresiasi edukasi untuk melahirkan karya-karya yang “betul-betul sastra” sehingga tidak heran kalau sesama pegiat sastra saling lempar karya yang “nyastra”.
Objektivitas penilaian karya sastra hanyalah sebuah ungkapan yang melegalkan otodidak dan didaktis sastra yang seperti berkolusi dan untuk menjaga keseimbangan kehidupan sastra. Ditambah aksi plagiat dan pelanggaran etika penulis yang tidak memiliki sanksi regulasi jelas kecuali menjadi catatan pribadi-pribadi yang mendalilkan sebuah rasa ego.
Kita sering mengucapkan kata disrupsi atau membaca di media massa, tetapi banyak lapisan masyarakat yang tidak memahami maknanya. Maka, merujuk dari pengertian yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata ini memiliki padanan arti sesuatu hal yang tercabut dari akarnya. Hal ini menjadi tidak mudah jika kita kaitkan dengan penggunaan teknologi.
Jika kita meminjam kalimat Taufiq Ismail beberapa dekade lalu yang mengatakan “aku malu menjadi orang Indonesia” ketika melihat semarak kehidupan sastra yang menjadi corong politik oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan sastrawan, kita seharusnya merasa tertampar. Kenapa kehidupan semarak sastra telah diperbudak oleh pemikiran-pemikiran kapitalis sehingga nilai kultur sastra menjadi kusam tak bermata sastra? Apakah pemikiran seni sastra telah kehilangan ide objektivitas?
Perlawanan terhadap rezim penguasa bukanlah hal yang dianggap tabu bagi sastrawan karena masa setelah kemerdekaan bahasa sastra sering menjadi alat pergerakan untuk membebaskan pemikiran yang terkungkung oleh dogmatis kekuasaan. Bahasa sastra menjadi bahasa yang bernilai filosofis dan bermartabat. Maka, seorang Soekarno pun pada masa pemerintahannya sering menulis puisi yang mengangkat tema-tema keutuhan bangsa yang merdeka. Bangsa kita telah merdeka, tetapi pada saat itu pemikiran masih terasa belum merdeka.
Sastra masa kini tentu sudah sangat jauh berbeda dengan sastra masa lalu. Sastra menjadi begitu dinamis hingga kadang mengingkari nilai monumental murni. Sebuah fase yaitu akulturasi sastra melahirkan aliran-aliran baru yang menafikan teori sastra. Dimensi ruang kontemplasi nalar menjadi sarana pengembangan pemikiran yang semata-mata untuk mendalilkan kebenaran apresiasi. Bahasa sastra terlahir dari pemikiran bebas yang tidak menginginkan keterkaitan dalil-dalil teorema sastra. Hasil karya sastra tidak boleh dibatasi oleh kaidah bahasa yang terikat oleh sebuah gramatika (tata bahasa). Ini dianggap seperti sebuah pemikiran yang terpenjara.
Lantas pertanyaannya, apakah karya-karya sastra sedang mencari identitas baru atau perpaduan nilai kontemporer dalam mengarah ke sastra orientalis? Kalau ini terjadi, esensi bahasa yang seharusnya menjadi alat untuk mengembangkan dan menjaga eksistensi literasi sedikit demi sedikit akan menjadi tuan di negeri orang.
Menyoal tentang keberadaan sastra yang saat ini sudah mulai bergeser pada sastra digital bukan berarti ini bisa dianggap berbanding lurus dengan kemajuan nilai-nilai sastra. Jika hal ini kita lihat dalam framing teknologi, mungkin kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa sastra lebih mampu membebaskan diri, termasuk mampu bersaing dalam pengembangan dunia teknologi. Maka, satu sisi yang kita lupakan ialah proses seleksi alam untuk melahirkan sastra dinamis yang berbobot akan menjadi subjektif.
Kebebasan dalam penggunaan sarana teknologi, terutama yang berbasis aplikasi, harus juga dipikirkan tingkat keamanan data terutama dalam penjagaan hak cipta karya seseorang yang semestinya juga bisa terlindungi. Penggunaan teknologi melalui alat kecerdasan buatan sangat rentan terhadap pelaku kejahatan siber yang semarak. Kehidupan sastra masih banyak yang bertahan dalam kesuciannya karena para pegiat sastra lebih berorientasi pada eksistensi nilai-nilai literasi yang mengedepankan kontemplasi nalar sebagai wujud interaksi seni.
Sebuah optimisme, kita masih berharap akan muncul pemikiran bebas yang mampu membawa karya-karya sastra sebagai bagian pendalaman ilmu yang tidak kalah pentingnya daripada disiplin ilmu lainnya. Metafisik iklim perubahan sosial tentu membawa dampak yang lebih berorientasi pada kepentingan bisnis, tetapi bukan berarti menyitir teori kemungkinan yang bisa jadi terlahir dari pemikiran-pemikiran sastra. Seperti saat ini, kita berhitung: sampai kapan pandemi berakhir? seiring dengan teori ketidakmungkinan yang sementara bisa untuk menjadi dalil pembenaran. Maka, sastra juga akan memunculkan sejarah baru meski pemikiran kita belum mampu membacanya.
Vito Prasetyo, Pegiat sastra dan peminat bahasa, tinggal di Malang.