OLEH: MULYADI DAN FERDINAL

Rekaan Revolusi Sosial Novel Segala yang Diisap Langit

Pendidikan | Minggu, 21 November 2021 - 10:52 WIB

Rekaan Revolusi Sosial Novel Segala yang Diisap Langit
Novel Segala yang Diisap Langit (INTERNET)

PINTO Anugrah dalam Novel Segala yang Diisap Langit menyajikan sebuah imajinasi revolusi sosial yang cukup "berdarah-darah". Perang Padri melawan Belanda dan kaum adat di Minangkabau pada 1803--1838 dijadikan oleh Pinto sebagai latar novelnya itu. Di tengah latar itu, Pinto menyajikan bentuk kecil pertentangan kelompok orang berpakaian putih (kaum Padri) yang ingin memurnikan ajaran Islam dalam masyarakat yang kuat menganut tradisi matrilineal yang mengalami dekadensi moral.

Novel ini menampilkan satu siluet peristiwa yang berujung pilu di sebuah nagari yang diberinya nama "Batang Ka" di tenggara Gunung Marapi, Minangkabau, sebagai sebuah gambaran titik nadir pertentangan dua kubu yang masih bersaudara, tetapi berbeda ideologi. Novel ini menampilkan sebuah fragmen tragedi berdarah, dengan fokus pada tragedi satu keluarga bangsawan adat yang mengalami kekerasan oleh seorang "bekas" ninik mamak dari kaum sendiri pascabergabung dengan kaum Padri.


Tokoh novel itu bernama Magek Takangkang, sebuah nama plesetan ironis dalam cerita yang cukup serius. Ia lari dari masa lalu yang kelam. Satu saat tiba-tiba keinsyafan muncul, lalu membawanya bergabung dengan kaum Padri. Namun, hal itu juga mengantar dirinya ke ekstrem lain. Dia menjadi bagian penting dari pasukan garang penumpas masa lalunya sendiri dengan kekerasan: candu dan maksiat dalam masyarakat lama atau adat. Karena dua hal itu Heru Joni Putra, penanggap atas novel ini, beralasan bahwa pembaca yang mengharapkan keluhuran akan kecewa membaca novel ini: kebejatan berbalik kepada keinsyafan, tetapi ironisnya tak ragu menumpas saudaranya demi meringkus dekadensi moral masyarakat dan masa lalunya sendiri.

Ekstrem kelam masa lalunya itu ialah saat Magek Takangkang terlibat incest dengan adiknya, Bungo Rabiah hingga melahirkan seorang anak laki-laki bernama Karengkang Gadang (nama plesetan juga). Itulah situasi absurd bagi Magek Takangkang saat akhirnya ia tahu: "anak sekaligus kemanakan", sebuah kutukan baginya. Keinsyafannya menimbulkan dendam atas dirinya sendiri. Ia pun menjauh dari kaumnya. Bahkan, dalam penebusan dosa ia pun rela "menghancurkan" kemaluannya sendiri, simbol nafsu jahiliah masa lalunya.

Ia sampai pada ekstrem lain dalam menegakkan kebenaran. Ia segera menjadi  menumpas perjudian, candu, dan maksiat, tetapi dengan tangan berdarah. Misinya itu juga mengantarkannya ke rumah gadang kaum dan masa lalunya di nagari Batang Ka. Ia hendak menghapus dua hal sekaligus: dekadensi keluarganya sendiri dan masa lalunya yang penuh maksiat. Kebencian itu memakan korban kaum keluarganya sendiri.     

Apa yang dilakukan Magek Takangkang terlihat sebagai percobaan penulis novel ini tentang pendapat Lucien Goldmann bahwa di dalam fiksi terdapat dunia yang mungkin. Pemandangan dalam novel ini merupakan salah satu imajinasi tentang sekelompok anggota Padri yang menumpas kebiasaan dan moral masyarakat kaum adat yang rusak karena maksiat, perjudian, mabuk candu, dan kebejatan lain.

Namun, sejarah pergolakan antara kaum putih dan hitam dalam imajinasi fiksi ini berwarna lebih merah darah daripada sejumlah kisah laporan sejarah. Kisah yang merujuk peristiwa sejarah ideologi dan peperangan yang coba ditampilkan dalam novel ini menilik kejadian imajinatif yang lebih berbau amis.

Novel ini juga menggambarkan keluarga matrilineal yang mengharapkan kehadiran seorang anak perempuan sebagai penerus peran dan pewaris keluarga dari seorang perempuan bernama Bungo Rabiah. Ia mencoba mematahkan mitos bahwa pada generasi ketujuh, keturunan keluarga bangsawan akan berakhir. Banyak cara yang ia tempuh untuk memenuhi ambisinya. Di antaranya ia rela menjadi istri ketujuh dari laki-laki kaya banyak istri bernama Tuanku Tan Amo. Tuanku Tan Amo hanyalah model seorang yang dibutuhkan sebagai pejantan bagi Bungo Rabiah. Selebihnya, Bungo Rabiah sebenarnya tidak perduli dengan moral suaminya yang nakal dan petualang.   

Secara khusus, novel ini menyajikan perubahan radikal yang dihadapi oleh anggota masyarakat adat yang berputar haluan menjadi anggota Padri. Seseorang lelaki, Magek Takangkang berlumuran dosa, kemudian menemukan titik tobat menjadi bagian dari kaum agama yang hendak membawa perubahan di kampungnya dengan gaya kekerasan yang banyak dituduhkan kepada gerakaan itu. Masyarakat hingga kaum keluarga sendiri dengan tragis, termasuk adiknya sendiri pun  ia hadapi. Dia mengalahkan kaum adat.

Itulah sebuah rekaan revolusi sosial berbentuk pergolakan fisik dan politik membawa perpecahan di tengah ancaman penjajah. Hal itu seiring terjadi dengan meluasnya gerakan-gerakan Padri di banyak daerah Minangkabau. Gerakan yang dibawa Magek hendak merangsek semua yang telah mapan dalam kaum adat: warisan, adat, keluarga, dan sejarah.
Menurut sejarawan Gusti Asnan, novel ini berisi imajinasi tentang pergolakan di Minangkabau pada abad ke-19. Kisahnya pun, misalnya, ada sebuah keluarga bangsawan Minangkabau yang berjaya secara ekonomi. Beliau diberi kududukan oleh Belanda sebagai Tuanku Lareh (walupun tahun kemuculan jabatan itu lebih muda daripada latar novel itu). Gaya hidupnya menuruti hawa nafsu.

Apabila dihubungkan dengan konteks sosial-ekonomi, sejarawan kolonial Sumatra Barat, Dedi Arsa (2018) mengatakan bahwa pada pengujung abad ke-18 sampai dengan dua dasawarsa abad ke-19 merupakan masa suram pergolakan yang penuh huru-hara dalam masyarakat Minang. Pada penghujung abad ke-18 itu, ekonomi mulai naik dengan komoditas kulit manis dan kopi. Gaya hidup juga berubah hingga sampai pada kecanduan opium. Situasi itu diiringi dengan penyimpangan moral yang hendak ditumpas oleh kaum Padri.      

Dalam novel ini juga digambarkan kebiasan bercandu. Magek Takangkang tadinya hidup penuh nafsu dan pecandu opium. Ia bertemu dengan seseorang di Bandar Padang ketika ia mengambil opium yang hendak dibawa ke perdalaman Minangkabau. Itulah titik balik baginya, dia diajak bergabung dengan gerakan Padri di utara. Ia kemudian lama menghilang. Lalu, kelahiran dan kemunculannya kembali di nagari itu membawa petaka. Tugasnya mereka membersihkan Minangkabau dari praktik penyimpangan moral dan tradisi lama yang dianggap tidak sesuai dengan misi Padri di daerah sekitar Gunung Merapi.

Di situ pula ia ingat kembali dengan aibnya bersama Bungo Rabiah. Dalam patroli, dia dan kelompoknya hendak menumpas kaum bangsawan dan masyarakat dan yang menyimpan opium, bermain judi, minum tuak, dan sebagainya. Dalam sosoknya itu, Magek Takangkang berubah nama menjadi Kasim Rajo Malik, sebuah identitas baru. Ia menjelma sebagai salah satu komandan laskar Padri. Ia tidak segan-segan menumpas penyimpangan moral dengan tanpa ampun dan tanpa tebang pilih.

Saat Kasim datang, Bungo Rabiah tengah dihantui dengan kepunahan generasi matrilinealnya pada turunan ketujuh. Sebagai istri kelima Tuanku Tan Amo, seorang bangsawan sekaligus lelaki pejantan, Bungo Rabiah akhirnya memiliki anak perempuan juga guna meneruskan kaumnya. Namun, kehadiran Kasim (yang kelaminnya telah ia lumpuhkan sendiri) alias Magek Takangkang merupakan kehancuran kemanusiaan dengan terbantainya kerabat dan terbakarnya rumah gadang pusaka kaumnya, termasuk si anak itu.  

Dalam novel ini revolusi sosial yang terjadi lebih ditekankan pada pergolakan kaum Padri dengan kaum adat. Latar tempat cerita yaitu di sebuah daerah di tenggara Gunung Marapi, Tanah Datar merupakan simbol dari pusat adat. Fakta sejarahnya,  kaum Padri yang berpusat di utara Gunung Marapi menyebarkan pengaruh dan menghadapi dua kekuatan sekaligus, yaitu penjajah Belanda dan kaum adat.

Sekali lagi, novel ini bukanlah fiksi sejarah. Novel ini hanya diilhami oleh salah satu peristiwa sejarah, yaitu Perang Padri yang dijadikan latar dan berikutnya diisi oleh penulis dengan imajinasinya sendiri. Pembaca melihat sikap pengarang terhadap peristiwa sejarah yang ditafsirkan dalam novel, yaitu dengan menampilkan dua kutub ideologi, kaum agama (kain putih) dan kaum adat (kain hitam) secara ekstrem. Ia tidak hanya menampilkan kaum putih yang menerabas, tetapi juga dekadensi moral kaum hitam. ***  

Mulyadi dan Ferdinal, Magister Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook