SAMPAH MENGGUNUNG DI PEKANBARU

Solusi Sampah dari Hulu ke Hilir

Pekanbaru | Selasa, 19 Januari 2021 - 10:40 WIB

Solusi Sampah dari Hulu ke Hilir
Kepala Dinas (Kadis) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Kota Pekanbaru Agus Pramono usai dimintai keterangan oleh Dit Reskrimum Polda Riau terkait pengelolaan sampah di Pekanbaru, Senin (18/1/2021).(MHD AKHWAN/RIAUPOS)

Solusi Arus Bawah
Solusi sampah Pekanbaru disampaikan juga Ketua DPRD Pekanbaru Hamdani MS SIP. Hamdani menyebutkan, kalangan masyarakat memberikan masukan terkait pengelolaan sampah ini kepadanya. Dan saran itu adalah kembali ke model lama. Dia menyarankan kepada Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru agar ke depan, pengelolaan sampah bisa dilakukan oleh pihak kecamatan atau kelurahan. Sehingga nanti Pemko bisa lebih mudah mengawasinya.  "Jika camat atau lurahnya tidak beres tinggal ganti saja. Itu lebih simpel menurut kami," ujar Hamdani.

Solusi yang dulu pernah dilakukan oleh Wali Kota Herman Abdullah menurutnya cukup jitu. Ketika itu camat dan lurah yang bertanggung jawab terhadap permasalahan pengangkutan sampah. Bahkan jika benar-benar berpikir visioner, sampah ini bisa diolah sehingga bisa menghasilkan uang.  "Saya ilustrasikan bahwa sampah di Pekanbaru ini hampir seribu ton. Tetapi kenapa tidak ada upaya untuk dilakukan pengelolaan sampah yang menyeluruh," sambungnya.


Lebih lanjut dijelaskannya, kalau  berpikir visioner, tentu sampah organik bisa diolah menjadi pupuk. Pupuk itu bisa digunakan untuk tanaman yang ada di taman-taman di Kota Pekanbaru. Yang semulanya sampah ini menjadi masalah, bisa menjadi berkah. Sampah anorganik bisa juga diolah menjadi barang bermanfaat, sehingga sampah itu bisa digunakan kembali. Sampah anorganik adalah sampah yang lama terurai. Misalnya, kaleng, kantong plastik, dan botol plastik.

Solusi sampah ini juga datang dari perusahaan asal Korea yang pernah ekspose akan mengolah limbah sampah yang dihasilkan penduduk Kota Pekanbaru. Limbah itu akan diolah menjadi sumber energi terbarukan. Tapi hingga sekarang belum ada tindak lanjut atau perkembangannya.  "Hingga saat ini kami masih menunggu tindak lanjut dari usaha Pemko untuk mencari solusi pengelolaan sampah. Kalau misalnya ide yang saya katakan tadi bisa dijalankan, itu juga baik," katanya.

Dia juga menyampaikan solusi kembali kepada pengelolaan oleh camat dan lurah. Keuntungan lainnya adalah pengeluaran APBD bisa lebih kecil. Tidak jor-joran. Tidak asal proyek. Sebagai contoh, ujarnya, saat ini ada 15 kecamatan. Jika satu kecamatan untuk operasional dalam pengangkutan sampah misalnya Rp1 miliar per tahun. Artinya baru sekitar Rp15 miliar setahun. Sementara kalau pengangkutan sampah diberikan ke pihak ketiga biayanya mencapai Rp45 miliar setahun. Artinya dengan dikelola camat atau lurah tadi APBD kita bisa lebih hemat.

Mengaku Paham tentang Sampah
Di pihak lain, Wali Kota Pekanbaru Dr Firdaus ST MT mengaku paham persoalan sampah ini. Dia memang mantan kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi Riau sebelum menjadi wali kota. Salah satu tupoksi PU memang mengurus sampah.

Diungkapkan Firdaus, begitu dia menjabat Wali Kota Pekanbaru, sistem yang ada dievaluasi. Hasilnya, dia tidak lagi menggunakan cara yang digunakan Herman Abdullah. Apalagi latar belakang pendidikan dan jabatannya adalah di bidang pekerjaan umum (PU).

‘’Saya sangat paham dan mengerti karena sampah itu juga bagian dari ke PU-an," ujar Firdaus.

Puasa Adipura
Memakai sistem baru dengan anggaran yang juga lebih banyak, pengangkutan sampah di Pekanbaru saat ini malah lebih sering disorot ketimbang mendapat pujian. Adipura sebagai indikator penghargaan kebersihan kota di Indoneisa sudah bertahun-tahun tak didapat. Padahal kini pengelolaan sampah sudah ditangani organisasi perangkat daerah (OPD) teknis kebersihan.

Dahulu saat hanya dikelola camat, Adipura didapat. Kini camat tak lagi ikut mengelola sampah dan pengangkutan menggandeng pihak swasta. Lima tahun lebih Piala Adipura tak lagi singgah. Camat tak lagi diberi tanggung jawab mengelola sampah disebut karena tugas dan beban kerja serta landscape kota sudah berbeda dengan 10 tahun yang lalu. Bicara pengelolalan sampah, mau tak mau masyarakat akan membandingkan dua pemimpin kota, yakni Herman Abdullah Walikota Pekanbaru periode 2001-2011 dengan Firdaus, Wali Kota setelahnya yang menjabat sejak 2012 hingga kini. Dua kepala daerah ini memang mengambil kebijakan dan pendekatan berbeda dalam pengangkutan sampah.

Pada masa kepemimpinan Herman Abdullah, Pekanbaru berhasil mendapatkan penghargaan Adipura selama tujuh kali berturut-turut. Pada masa dia, setiap dinas dan badan, termasuk camat serta lurah memiliki tugas masing-masing soal sampah. Koordinator dari pengelolaan sampah tetap di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP).

Dari informasi yang dihimpun, untuk mengawasi kinerja kepala dinas serta camat dalam mengelola dan mengangkut sampah, Herman membentuk sebuah tim independen yang tak boleh diisi oleh dinas dan camat, melainkan orang luar. Dia lebih memilih memberdayakan anak buahnya, kepala dinas, dan camat soal sampah ini dibandingkan mempercayakan kepada pihak ketiga.

Kemudian, ketika masa pemerintahan Herman Abdullah usai, Wako Pekanbaru dijabat oleh Firdaus. Piala Adipura sebagai anugerah kota besar terbersih di Indonesia juga sempat diraih tahun 2013/2014. Sedangkan penghargaan lainnya berupa Piagam Adipura kategori pengelolaan fasilitas umum.

Di masa Firdaus, pada tahun 2015-2016 swasta sempat digandeng untuk mengangkut sampah, namun berakhir kacau karena tak mampu memenuhi target angkutan tiap harinya. Akhirnya, kontrak swasta ini diputus dan berakhir dengan gugatan terhadap Pemko Pekanbaru di pengadilan.

Setahun pengangkutan sampah dilakukan swakelola oleh DLHK Kota Pekanbaru di tahun 2017 pascasetahun sebelumnya pelibatan swasta jauh dari harapan. Di tahun 2018, swasta kembali dilibatkan. Ini berjalan hingga 2020. Di akhir Desember 2020 kontrak swasta berakhir. Januari 2021, saat masa transisi antara pelelangan sedang berjalan dan masa kerja swasta habis, sampah menumpuk di mana-mana. Pemko Pekanbaru pun kembali jadi sorotan. Belakangan, aparat kepolisian dari Polda Riau turun menelusuri dugaan kelalaian dalam kisruh sampah Pekanbaru.

Menyoal adipura yang kini tak lagi pernah diraih Kota Pekanbaru, Firdausmemiliki penjelasan. Di­sebutnya, kini penilaian lebih kompleks dan unsur paling integral dalam pengelolaan sampah, yakni partisipasi masyarakat masih rendah.  "Untuk apa Adipura itu ada? Ini untuk membudayakan kepada masyarakat cinta pada lingkungan. Bagaimana mengajarkan pada seluruh rakyat Indonesia melalui kepala daerah untuk mencintai negeri. Diberilah penilaian terhadap lingkungan kita," urainya.

Disebutnya, hingga 2014 lalu Adipura masih menggunakan pola lama. Yakni, hanya satu dua tempat dipilih untuk dinilai. Setelah pemerintahan  Jokowi-JK, JK menekankan sudah harus terencana secara baik. Karena itu kriteria ditingkatkan. Apa saja itu? Pertama dihitung dari visi dan misi, kemudian yang menjadi kandidat dalam mendapatkan penghargaan itu, kepala daerahnya diminta untuk mempertahankan visi dan misinya untuk dipresentasikan di depan para pakar.

Pekanbaru, disebut Firdaus dalam beberapa tahun belakangan masuk dalam nominasi kota penerima Adipura. Namun, pada penilaian akhir gagal. "Ternyata yang membuat nilai rendah itu adalah partisipasi masyarakat. Berarti juga bagi pemerintah tugas dan tanggung jawabnya sosialisasi," ujarnya.(anf/dof/ali)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook