PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru sudah menerima salinan putusan dalam perkara dugaan pencabulan dengan terdakwa Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (Unri) nonaktif Syafri Harto. Kasasi atas vonis bebas yang diputuskan hakim sudah diajukan.
Disampaikan Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru, Zulham Pardamean Pane saat dikonfirmasi Riau Pos, Rabu (6/4), kasasi sudah diajukan awal pekan ini.
"Kalau resmi menyatakan kasasi 4 April kemarin," sebutnya.
Dilanjutkannya, JPU yang merupakan gabungan jaksa dari Kejaksaan Tinggi Riau dan Kejari Pekanbaru sedang menyusun memori kasasi.
"Memori kasasi sedang dibuat," imbuhnya.
Memori kasasi disusun setelah JPU menerima dan mempelajari salinan putusan lengkap dari pengadilan.
"Pekan depan mudah-mudahan rampung dan sudah diserahkan ke pengadilan," sebutnya.
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru memvonis bebas terdakwa kasus dugaan pencabulan Syafri Harto, Rabu (30/3) lalu. Majelis hakim dipimpin Hakim Ketua Estiono tersebut memiliki sejumlah pertimbangan hingga membebaskan Dekan nonaktif FISIP Unri tersebut dari segala tuntutan.
Pertimbangan utama majelis hakim adalah, tidak adanya bukti kekerasan maupun pengancaman terhadap korban Lm. Selama persidangan, hakim menilai unsur kekerasan atau ancaman kekerasan tidak terpenuhi. Hingga unsur pasal 289 KUHP tidak terpenuhi.
''Tidak ditemukan adanya kekerasan. Terdakwa tidak ada mengancam saudara saksi Lm saat bimbingan proposal. Terkait adanya relasi yang tidak berimbang menurut majelis tidak bisa dijadikan alasan. Karena tidak ada ditemukan kekerasan dan kekerasan psikis,'' kata majelis hakim.
Sementara terkait tuduhan bahwa terdakwa disebut memegang pundak Lm dengan kedua tangannya, sambil mencium pipi sebelah kiri dan kanan serta mencium kening korban, hingga bertanya 'bibir mana bibir,' menurut majelis hakim semua itu tidak dapat dibuktikan di persidangan. Terdakwa juga membantah mengucap kata 'I love you' yang juga dituduhkan.
Selain itu, hakim juga menilai tidak ada saksi di kasus tersebut yang dapat membuktikan terjadi kekerasan seksual dan juga hal-hal yang dituduhkan lainnya. Sebab, semua saksi pada kasus tersebut hanya mendengar testimoni dari saksi Lm. Sementara para saksi yang dihadirkan JPU hanya mendengar cerita dari Lm.
"Berdasarkan fakta di persidangan, hanya saksi Lm yang menerangkan terdakwa mencium kening, pipi dan menyebabkan saksi trauma, panik dan halusinasi. Saksi lain hanya mendengar cerita dari saksi Lm. Keterangan saksi saja tidak cukup, menurut KUHAP, saksi adalah orang yang melihat, mendengar langsung perkara pidana,'' kata majelis hakim.
Atas pertimbangan tersebut, Syafri Harto tidak hanya dibebaskan dari segala tuntutan, tapi majelis hakim juga memerintahkan agar nama baik, hak harkat dan martabat yang bersangkutan dipulihkan. Termasuk haknya sebagai dosen dan jabatannya sebagai Dekan FISIP Unri.
LBH Sebut Vonis Bebas Preseden Buruk Penanganan Pelecehan Seksual
Sementara itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru yang mendampingi korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan Syafri Harto, menilai vonis bebas yang diputuskan majelis hakim merupakan bentuk preseden buruk penangan kasus pelecehan seksual. Hal ini disampaikan Kepala Operasional LBH Pekanbaru sekaligus Kuasa Hukum korban Lm, Rian Sibarani, dalam jumpa pers secara virtual, Selasa (5/4).
Rian menyebutkan dengan putusan bebas yang diberikan hakim dapat melanggengkan kejadian serupa di Unri ataupun universitas lainnya. Saksi menjadi salah satu dalil yang membebaskan terdakwa, padahal kejadian berada di dalam ruang tertutup.
"Hakim berpendapat dalam kekerasan seksual yang dilakukan di ruang-ruang terbuka perlu dibutuhkan saksi yang melihat. Sementara kejadian kekerasan seksual yang terjadi di ruang tertutup tidak memungkinkan ada saksi lain yang melihat kejadian tersebut," kata Rian dalam pernyataan yang tayang di Youtube maupun Instagram tersebut.
Terkait vonis bebas tersebut, Rian menyebutkan pihaknya mendesak Jaksa Penuntut Umum (JPU), pada perkara tersebut, dalam menyusun memori kasasi diharapkan dapat menjabarkan lebih spesifik fakta hukum yang terungkap di persidangan. Gunanya untuk menguatkan tuntutan yang telah dibacakan pada persidangan sebelumnya.
Rian juga mendesak Ketua Mahkamah Agung (MA) menunjuk Hakim Agung yang menangani perkara dengan berperspektif gender. Selain itu dirinya juga berharap, dalam kasasi nanti Majelis Hakim Agung memperhatikan pendoman dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3/2017.
Perma itu sendiri berisi tentang pedoman mengadili perkara bahwa perempuan berhadapan dengan hukum. Hal itu mengatur perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak.(ali/end)