JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Arahan Presiden Joko Widodo tidak digubris secara utuh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Usai rapat khusus yang dilaksanakan Selasa (25/5) di kantor BKN, Jakarta Timur, mereka mengumumkan bahwa 51 dari total 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) harus berhenti bertugas. Sementara 24 lainnya akan dididik lewat diklat.
Lebih dari separuh dari total 75 pegawai KPK tersebut bakal diberhentikan dari tugasnya per 1 November 2021 mendatang. KPK dan BKN menyebut mereka tidak bisa "diselamatkan".
Dalam rapat yang dihadiri oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, pimpinan KPK, Kepala BKN Bima Haria Wibisono, LAN, dan tim asesor, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menuturkan, dari hasil rapat disepakati bahwa dari 75 pegawai tersebut ada 24 pegawai yang masih bisa "diselamatkan".
Mereka akan mendapatkan pembinaan mengenai wawasan kebangsaan serta pelatihan bela negara sebelum diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN). Namun, sebelumnya, mereka harus menandatangani kesediaan mengikuti pendidikan dan pelatihan, dan apabila yang bersangkutan tidak lolos maka yang bersangkutan tidak bisa diangkat jadi ASN.
"Ada cukup diskusi antara yang hadir dengan pihak asesor. Dari hasil pemetaan dari asesor dan kita sepakati bersama dari 75 itu dihasilkan bahwa ada 24 pegawai yang masih dimungkinkan untuk dilakukan pembinaan sebelum diangkat jadi ASN," paparnya.
Sementara, 51 orang lainnya tidak memungkinkan untuk dilakukan pembinaan alias diakhiri masa kerjanya. Dia berdalih, asesor menyebut ke-51 orang pegawai tersebut warnanya sudah merah.
"Yang 51 tentu karena sudah tidak bisa dilakukan pembinaan berdasarkan penilaian asesor tentu tidak bisa bergabung lagi dengan KPK," ujarnya.
Sayangnya, dia enggan membeberkan nama-nama pegawai yang masih bisa mengikuti pembinaan dan tidak. Pihaknya memilih untuk tidak menyebutkan terlebih dahulu nama-nama tersebut. Menurutnya, pegawai KPK harus berkualitas. Karena itu, KPK terus membangun sumber daya manusianya, tidak hanya dari aspek kemampuan tapi juga aspek kecintaan terhadap tanah air, bela negara, kesetiaan pada Pancasila, UUD, NKRI, pemerintahan yang sah, serta bebas dari radikalisme dan organisasi terlarang.
Untuk mewujudkan hal tersebut, KPK nantinya bakal bekerja sama dengan LAN dan badan pelaksana bela negara dan wawasan kebangsaan dalam pendidikan 24 pegawai yang disebut bisa diselamatkan itu. KPK tidak akan merancang sendiri karena tidak memiliki kompetensi bagaimana membentuk atau membangun SDM yang memiliki wawasan kebangsaan dan kecintaan Tanah Air.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan UU 19 Nomor 2019 tentang KPK dijelaskan bahwa pegawai KPK adalah ASN. Terkait hal tersebut, KPK dalam proses pengalihan status kepegawaian. Setidaknya, ada 1.274 orang pegawai yang memenuhi syarat untuk diangkat jadi ASN. Namun, 1 mengundurkan diri, 1 meninggal, dan 1 orang dari pendidikan tidak memenuhi syarat. Sehingga, tersisa 1.271 orang yang bakal dilantik menjadi ASN 1 Juni 2021 mendatang.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana menampik bila hasil rapat tersebut mengabaikan perintah dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di mana, sebelumnya, Jokowi meminta agar alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan pegawai.
Bima menegaskan, keputusan tersebut sudah sesuai dengan undang-undang dan keputusan MK. Untuk diketahui, UU yang digunakan bukan hanya UU KPK saja. Ada pula UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Yang mana, pengalihan itu masuk dalam UU ASN. Lagi pula, kata dia, tidak merugikan ini bukan berarti harus jadi ASN. Tapi lebih kepada pemenuhan hak-hak mereka sebagai pegawai ketika diberhentikan.
"Itu juga tidak akan langsung diberhentikan. Karena sebagai pegawai KPK mereka punya kontrak kerja," ujarnya.
Menurutnya, KPK masih boleh memiliki pegawai non-ASN hingga 1 November 2021. Artinya, 51 pegawai tersebut hanya akan bekerja hingga awal November nanti. Setelahnya mereka harus diberhentikan dari lembaga antirasuah tersebut. Disinggung soal alasan ketidaklolosan 51 orang ini, Bima menyebut, mereka tak memenuhi penilaian berdasarkan kriteria yang ditetapkan tim asesor.
Penilaian tersebut meliputi tiga aspek, yakni kepribadian, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD ‘45, NKRI, Pemerintah sah). Di mana, untuk aspek kepribadian memiliki enam indikator, pengaruh tujuh indikator, dan PUNP ada sembilan indikator. "Dari 22 indikator tersebut, sembilan indikator pada PUNP adalah harga mati," katanya.
Menurutnya, untuk aspek kepribadian dan pengaruh bila masih ditemukan masalah masih bisa mengikuti pendidikan serta pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan. Selagi PUNP bersih. Sedangkan, 51 orang tersebut mempunya nilai negatif, bukan hanya kepribadian dan pengaru tapi juga PUNP-nya. Selain mengenai nasib 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan, rapat juga membahas mengenai pengalihan status 1.271 pegawai KPK menjadi ASN. Rencananya, mereka dilantik bulan depan.
"Tadi juga sekaligus diserahkan pertimbangan teknis untuk penetapan NIP pegawai untuk ditetapkan SK PNS-nya," ujarnya.
Kemarin malam, Wadah Pegawai (WP) KPK langsung mempelajari pengumuman yang telah disampaikan pemerintah bersama pimpinan KPK. Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap menyebut, pimpinan KPK bersama BKN secara nyata melawan arahan dari Presiden.
"Tidak mematuhi instrusksi presiden dengan tetap memberhentikan pegawai KPK," ungkap dia.
Bagi mereka, keputusan untuk 51 pegawai KPK dan 24 lainnya sama saja dengan pemberhentian 75 pegawai KPK yang dinilai tidak lulus TWK. Bedanya, 51 pegawai diberhentikan secara langsung. Sedangkan 24 lainnya akan dididik tanpa jaminan apapun.
"Padahal secara nyata Presiden sudah mengungkapkan bahwa tes (TWK, red) tidak dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan seseorang," terang Yudi.
Bukan hanya melawan perintah presiden, WP KPK menilai bahwa Lembaga Antirasuah dan BKN telah melawan hukum. "Dengan tidak mengindahkan jaminan konstitusional pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang diperkuat dengan Nomor 70/PUU-XVII/2019," tambahnya.
Dalam aturan tersebut, lanjut Yudi, ditegaskan bahwa proses transisi tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN.
"Sikap pimpinan KPK dan kepala BKN adalah bentuk konkret dari sikap tidak setia terhadap pemerintahan yang sah," jelasnya.
Untuk itu, pihaknya berharap Presiden kembali turun tangan. "Perlu adanya supervisi dari presiden menindaklanjuti perkara alih status pegawai KPK," pintanya.