REVISI UU KPK

Bila DPR Ngotot Revisi UU

Nasional | Senin, 22 Februari 2016 - 10:08 WIB

Bila DPR Ngotot Revisi UU
AKSI SIMPATIK: Sejumlah orang yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Antikorupsi menggunakan kostum karakter superhero dalam aksi simpatik menolak rencana revisi UU KPK pada ajang car free day di Bundaran HI, Jakarta, Ahad (21/2/2016). Ismail Pohan/INDOPOS/JPG

(RIAUPOS.CO) - Penolakan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai dilakukan dengan tindakan konkret. Tak oleh koalisi masyarakat sipil antikorupsi, tapi juga pimpinan KPK. Ahad (21/2), Ketua KPK Agus Raharjo mengungkapkan niatnya mundur jika revisi tetap dilaksanakan.

Agus mengatakan, penolakan revisi UU KPK yang isinya sangat melemahkan lembaganya itu perlu dilakukan dengan tindakan konkret.

Baca Juga :Polda Mulai Telisik Aset Firli dan Keluarga

"Saya pribadi yang akan pertama mengundurkan diri kalau revisi tetap dilakukan," kata Agus saat menjadi pembicara dalam diskusi di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Ahad (21/2).

Dia berharap pimpinan KPK yang lain juga memiliki sikap sama untuk menghadang revisi UU. Agus menilai langkah konkret perlu diambil dalam menghadapi kondisi darurat. Sayangnya, malam tadi empat komisioner KPK lainnya belum bisa dikonfirmasi terkait pernyataan Agus. Pesan singkat Jawa Pos (Jawa Pos Group) yang terkirim ke empat pimpinan lainnya belum tak mendapatkan respon.

Agus melihat tidak ada niat positif dalam revisi UU KPK. Sebab draf yang beredar justru memperlemah. Dia memberikan contoh soal pembentukan dewan pengawas. Dia setuju memang perlu ada pengawasan untuk check and balance. Namun pengawasan yang tidak bersifat mencampuri urusan penanganan perkara. Misalnya saja soal biaya penyidikan.

’’Biaya penyidikan kami memang lebih tinggi dibanding penyidik lain, tapi apa yang kami lakukan selalu berhasil,’’ ujarnya. Keberhasilan itu juga tak lain karena salah satuya diberikannya kewenangan penyadapan. Hingga saat ini, KPK merupakan satu-satunya lembaga yang penyadapannya diaudit. Artinya, kekhawatiran terhadap penyalagunaan penyadapan selama ini tidak berdasar. Penyadapan inilah yang terus dijadikan masalah, khususnya oleh DPR.

Para politikus di Senayan menginginkan penyadapan KPK harus melalui izin dewan pengawas. Sejumlah pihak menilai hal itu justru bisa membocorkan upaya penyelidikan atau penyidikan KPK. Apalagi figur yang diduduk di dewan pengawas kriterianya belum jelas.

Sementara itu, beberapa pengiat antikorupsi menuding ambisi merevisi UU KPK disponsori oleh sejumlah mafia sumber daya alam (SDA). Hal itu salah satunya disampaikan Hadiya Rasyid dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia. Hadiya mengungkapkan, jika revisi UU KPK disahkan dan proses penyadapan dipersulit, maka salah satu yang diuntungkan adalah koruptor SDA. Sebab sudah jamak diketahui, semua sektor SDA mulai dari kehutanan, perkebunan, pertambangan dan migas masih rentan proses suap-menyuap.

Sebagaimana diketahui juga, pengungkapan kasus-kasus korupsi SDA di KPK selama ini berhasil juga karena penyadapan. Hadiya menyebut ketakutan para mafia itu terjadi karena KPK beberapa tahun belakangan intens menggarap pencegahan dan penindakan di sektor SDA.

Dalam penindakan saja, lebih dari 10 kasus berhasil diungkap KPK. Aktor yang terlibat bukan sekelas pejabat struktural, namun setingkat kepala daerah, mulai bupati sampai gubernur. Gubernur Riau non aktif Annas Maamun dan mantan Bupati Bogor Rahmat Yasin jadi buktinya.(gun/agm/ted)

Martua T Sirait dari Dewan Kehutanan Nasional berpendapat yang sama.

Dia menolak revisi UU KPK karena saat ini lembaga superbodi itu tengah terlibat dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan.

’’Jika melihat draf yang ada itu, kami melihat ini bisa mengancam kinerja KPK dalam pembenahan tata kelola hutan dan lahan,’’ terangnya.

Saat ini ada lima agenda penting yang dilakukan dalam tata kelola hutan dan lahan. Pertama, pembentukan kawasan hutan negara yang legal dan legitimate. Kedua, penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan dengan berpespektif HAM.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook