JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ihwal transaksi janggal dana kampanye masuk juga ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga antirasuah itu kini tengah mendalami temuan tersebut.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, pihaknya menerima laporan hasil analisis (LHA) PPATK pada Selasa (19/12). ”Kami rencanakan tindak lanjutnya. Membahasnya bersama pimpinan KPK,” ujarnya, Rabu (20/12).
Alex (sapaan Alexander Marwata) sudah mendisposisi laporan itu untuk dipelajari. Namun, dia tidak mau membocorkan detailnya. Sebab, laporan PPATK tersebut masuk dalam informasi intelijen.
KPK berjanji akan ikut menelisik aliran transaksi mencurigakan bernilai triliunan rupiah yang diduga terkait dengan ribuan caleg itu. Khususnya untuk menemukan adanya tindak pidana korupsi. Dengan mengacu pada Pasal 11 Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
”Di pasal itu kan nggak hanya terkait penyelenggara negara,” ucapnya. KPK akan mempelajari sumber uang dari laporan yang diserahkan PPATK tersebut.
Sementara itu, sikap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak menindaklanjuti temuan PPATK memantik keprihatinan. Dengan cara pandang tersebut, upaya untuk menciptakan pemilu bersih kian sulit dilaksanakan. Sebab, sumber pendanaan gelap akan memengaruhi kredibilitas pemilu.
Sebagaimana diberitakan, Bawaslu memutuskan hanya menjadikan temuan PPATK untuk memvalidasi laporan dana kampanye. Bawaslu beralasan data PPATK memiliki disclaimer bersifat rahasia dan tidak dapat digunakan sebagai alat bukti hukum.
Pakar kepemiluan Universitas Indonesia Titi Anggraini menuturkan, data PPATK semestinya
bisa dijadikan rujukan untuk mengambil tindakan lanjutan. Sebab, jika pengawasan yang bisa dieksekusi Bawaslu hanya berbasis pada rekening yang didaftarkan, itu tidak akan terjadi. ”Sebab, pelanggaran yang dilakukan itu menggunakan rekening di luar rekening resmi peserta pemilu,” ujarnya. Sementara rekening yang didaftarkan biasanya hanya mencantumkan transaksi yang wajar.
Titi menyatakan, yang dibutuhkan adalah komitmen, konsistensi, dan progresivitas Bawaslu. Mestinya temuan PPATK bisa menjadi pintu masuk untuk membuktikan apakah yang dilaporkan dalam rekening dana kampanye adalah yang sesungguhnya atau tidak.
UU Pemilu, tambah Titi, sejatinya mengatur ketat akuntabilitas dana kampanye. Pasal 496 dan 497 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan, setiap peserta pemilu atau orang yang menyampaikan laporan dana kampanye tidak benar akan dikenai ketentuan tindak pidana.
Selain itu, Bawaslu bisa mengerahkan personelnya untuk proaktif mengawasi kampanye di lapangan. Belajar dari Pemilu 2019, banyak kegiatan kampanye yang tidak dilaporkan pendanaannya. ”Memang hal itu membutuhkan konsentrasi, tenaga, waktu, dan fokus yang tidak sederhana. Tapi, itulah cara yang bisa dilakukan agar kewenangan pengawasan dana kampanye bisa membuahkan hasil,” tegasnya.
Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) Yenti Garnasih menambahkan, menindaklanjuti temuan PPATK terkait transaksi mencurigakan dalam pemilu sebetulnya mudah. Sebab, data PPATK itu sudah setengah matang. Bukan data mentah.
Data mentah, misalnya, data dari perbankan ke PPATK. Sementara itu, data dari PPATK itu telah dianalisis. ”Kalau tidak ditindaklanjuti, justru membuat masyarakat curiga,” katanya kepada Jawa Pos (JPG) kemarin.
Yenti menyarankan agar Bawaslu berkoordinasi dengan penyelidik dan penyidik untuk
menindaklanjuti temuan PPATK itu.
Dalam kasus tersebut bisa jadi ada dua perkara: terkait kepemiluan dan uang berasal dari tindak pidana. ”Jangan sampai calon pemimpin kita didanai dari uang tambang ilegal, judi online, atau kejahatan lainnya,” ujarnya.
Sementara itu, Organisasi masyarakat sipil Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan pemantauan terhadap laporan awal dana kampanye (LADK). ”Untuk melihat lebih jauh, kami mencermati laporan awal dana kampanye yang dipublikasikan oleh KPU,” kata Program Officer Perludem Heroik Pratama, Rabu (20/12).
Perludem ingin melihat besaran dan sumber penerimaan dana kampanye di LADK. Heroik menyebutkan, ada batasan yang diatur. Misalnya, perseorangan dibatasi memberikan dana kampanye maksimal Rp2,5 miliar. Sementara kelompok atau badan usaha non pemerintah maksimal dibolehkan memberikan sumbangan Rp 25 miliar. ”Dokumen LADK yang ditampilkan di Sikadeka (Sistem Informasi Kampanye dan Dana Kampanye) berbeda,” katanya.
Di sisi lain, Perludem juga menemukan adanya iklan di media sosial dari perusahaan Meta Platforms yang dilakukan oleh akun pendukung. Heroik menyebutkan, itu jumlahnya lebih banyak. Iklan tersebut tidak masuk dalam laporan. ”Seharusnya masuk sumber penerimaan tidak langsung atau barang dan jasa, baik pihak lain atau paslon,” ujarnya.
Peneliti Perludem Kahfi Adlan menyatakan, paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menandatangani LADK pada 1 Desember. Setelah diteliti, dokumen itu merupakan dokumen perbaikan yang dimungkinkan bisa diperbaiki hingga 2 Desember. Sementara paslon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD menandatangani LADK pada 27 November.
”Yang menjadi konsen kami, KPU perlu menyampaikan LADK itu sesuai jadwal atau tidak. Melihat dokumen itu ditandatangani di akhir penyerahan,” ucapnya. Sebab, LADK wajib diserahkan maksimal 27 November.
Kahfi memerinci adanya perbedaan pada LADK dengan Sikadeka. Temuannya, untuk paslon nomor 1, LADK disebutkan tidak ada penerimaan atau Rp0. Lalu, paslon 2 memiliki penerimaan dari Prabowo dan Gibran sebesar Rp2 miliar dan dari partai politik Rp29 miliar. Dari parpol, tidak didetailkan apakah dalam bentuk uang, barang, atau jasa. ”Paslon 3 ada penerimaan dari pasangan calon Rp25 juta dan gabungan dari partai politik Rp 2,9 miliar,” ungkapnya.
Jika dibandingkan dengan Sikadeka, penerimaan sudah muncul. Misalnya, dari paslon 1 total penerimaan dana pribadi Anies dan Muhaimin adalah Rp 1 miliar. Kemudian, paslon 2 belum ada perbedaan. ”Paslon nomor 3 dari Rp 2,9 miliar jadi Rp 23 miliar,” katanya.
Menurut Kahfi, harus disampaikan alasan perbedaan tersebut. Selain itu, Kahfi mengkritisi paslon perlu memerinci sumbangan dana kampanye tersebut dalam bentuk barang dan jasa yang harus dipublikasikan. Yang janggal adalah pada paslon 2, sumbangan dalam bentuk jasa yang diberikan partai politik jumlahnya Rp 28 miliar. ”Kita perlu pahami jasa apa yang sebesar itu agar memahami transparansi dalam kampanye,” ungkap dia.
Selanjutnya, iklan politik di media sosial milik Meta juga mengejutkan. Perludem menghitung sejak 16 November hingga 15 Desember. Pada paslon 1, akun pengiklan semuanya bukan akun resmi Anies maupun Muhaimin. Melainkan akun pendukung mereka. Total dana yang dikeluarkan sebesar Rp443 juta. Sedangkan untuk paslon 2 mayoritas bersumber dari akun pendukung.
”Tapi, ada salah satu akun yang ini merupakan badan usaha non pemerintah. Ini dibolehkan, tapi tidak tahu apakah ini dilaporkan atau tidak,” bebernya. Biaya kampanye paslon 2 di medsos milik Meta mencapai Rp778 juta.
Lalu, untuk paslon 3, juga mayoritas pengiklannya adalah akun pendukung. Ada satu akun pendukung yang iklannya jauh lebih banyak daripada iklan yang lain. Yakni pada akun Ganjar Nusantara Indonesia dengan jumlah iklan 37 kali dan memakan biaya Rp115 juta. ”Total biaya iklannya mencapai Rp829 juta,” beber Kahfi.
Pada temuan itu, Perludem mengambil kesimpulan biayanya mencapai ratusan juta rupiah. Selain itu, sumbernya dari akun pendukung. Bukan akun paslon maupun partai pengusung. ”Ini disinyalir menjadi penyebab biaya iklan tidak terlihat dalam laporan dana kampanye,” ungkap Kahfi.
Menurut dia, iklan tersebut seharusnya dimasukkan dalam sumbangan pihak lain dalam bentuk barang. ”Akun-akun ini harus diidentifikasi betul oleh KPU,” ujarnya. Tidak transparannya pelaporan dana kampanye itu diindikasi dapat memicu celah korupsi. Peneliti ICW Egi Prima Yoga mengatakan, KPU tidak serius dalam menganggap pentingnya transparansi dana kampanye. Menurut dia, informasi dana kampanye merupakan hak publik. ”Kedua data yang disajikan tidak rinci dan tidak mudah dipahami oleh publik secara luas,” ungkapnya. Hal itu untuk mengetahui apakah ada konflik kepentingan atau tidak.
Bukan hanya KPU yang dianggap tidak serius. Seluruh paslon pun dianggap main-main. Egi menilai tidak ada yang serius dalam melaporkan dana kampanye. Itu terlihat dari dana yang dilaporkan sedikit dan tidak mencerminkan dana asli yang dikeluarkan. Salah satunya terlihat dari biaya iklan di media sosial milik Meta.
Sementara itu, polemik kehadiran Mayor Infanteri Teddy Indra Wijaya di tengah-tengah aktivitas politik calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto berlanjut. Terlebih, Bawaslu belum mengambil tindakan atas temuan tersebut. Teddy diketahui merupakan ajudan Prabowo. Dia perwira menengah dari TNI-AD. ”Tindakan Mayor Teddy Indra Wijaya nyata-nyata melanggar aturan netralitas TNI,” kata Direktur Imparsial Gufron Mabruri.
Menurut Gufron, semua fasilitas negara yang melekat pada jabatan menteri pertahanan harus ditanggalkan Prabowo saat melakukan aktivitas politik. Termasuk di antaranya ajudan. ”Untuk pengamanan Prabowo Subianto sebagai calon presiden, seharusnya tunduk pada mekanisme pengamanan dan pengawalan paslon capres dan cawapres yang telah ditetapkan oleh KPU,” bebernya.
Mekanisme itu, kata Gufron, juga diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 85 Tahun 2018 tentang Pengamanan dan Pengawalan capres dan cawapres dalam Penyelenggaraan Pemilu. Bagi koalisi masyarakat sipil, kehadiran Mayor Teddy dalam agenda politik Prabowo merupakan bentuk pelanggaran UU TNI. Dalam UU tersebut, TNI wajib netral. Mereka tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis. Untuk itu, mereka mendesak Mayor Teddy diberi sanksi.(far/idr/lyn/elo/syn/c9/fal/jpg)