Asap masih saja menyelimuti Riau dalam dua bulan terakhir. Walaupun tak terlalu banyak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya, titik api juga berada di Riau, salah satunya di Kabupaten Pelalawan. Kendati demikian, antisipasi telah disiapkan. Ada laskar penakluk api di desa-desa yang berada di titik equator kawasan ini. Mereka siap berjibaku memadamkan api hingga larut malam, berhari-hari, tanpa kenal lelah. Mereka rela tak pulang sampai api padam. Seperti apa kisah mereka?
RIAUPOS.CO - Hamparan tunggul kayu gosong sisa terbakar terbentang luas, nyaris di semua batas cakrawala. Hanya terlihat sedikit kawasan hijau hutan dan perkebunan nun di kejauhan. Tidak ada lagi asap yang mengapung dari bekas lahan terbakar, tak jauh dari Tugu Equator di Desa Tanjung Kuyo, Kecamatan Pangkalan Lesung, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau itu. Api, termasuk bara di dalam gambutnya telah benar-benar padam, Selasa (13/10) lalu. El-nino ekstrem atau musim panas panjang perlahan pupus saat hujan mulai turun kendati dengan curah rendah. Walaupun asap masih mengepung, tapi tak berasal dari sekitar tempat ini, melainkan dari provinsi tetangga.
Para laskar penakluk api di sekitar Tugu Equator ini pun tak banyak beraktivitas. Mereka hanya bersiaga di Posko Masyarakat Peduli Api (MPA) Tanjung Kuyo yang dibentuk PT Sari Lembah Subur (SLS), tak jauh dari Kantor Desa Tanjung Kuyo. Mereka masih bersiaga karena api kemungkinan masih dapat menyala kapan saja. Gambut masih kering, sungai masih dangkal. Papan fire danger rating system (FDRS), yang dipampangkan tak jauh dari posko pun masih menunjukkan level tinggi. Ada empat level pada FDRS ini, yakni rendah, sedang, tinggi, dan ekstrem. Pada level rendah dan sedang, para anggota MPA bisa bekerja seperti biasa. Kebanyakan mereka bekerja di kebun sawit atau karet, sementara sisanya di menangkap ikan dengan bubu atau menaju (memancing dengan banyak mata pancing). Pada level tinggi dan ekstrem, saat el-nino panjang, tak ada hujan, maka mereka harus bersiaga di sekitar posko, atau siap dipanggil saat api benar-benar menyala. Kapan saja.
Kendati saat ini lebih santai, tapi di akhir September lalu, sepuluh anggota MPA Tanjung Kuyo ini telah berjibaku melawan api. MPA ini dipimpin Sukar, dengan anggotanya Jonizar, Hermanto, Saprianto, Amri, Suryanto, Hendra, Lesmana, Azwir, dan Suherman. Selain MPA bentukan PT SLS, ada juga MPA bentukan Pemkab Pelalawan sebanyak lima orang. Total ada 15 anggota MPA di Desa Tanjung Kuyo ini.
“Tapi saat kebakaran besar, kebanyakan penduduk desa turun membantu. Kadang bisa puluhan orang,” ujar Koordinator MPA Tanjung Kuyo, Sukar.
Kepada Riau Pos, Selasa (13/10), Sukar mengatakan, MPA Tanjung Kuyo sudah cukup terlatih dalam memadamkan api. Ada perlengkapan standar, prosedur standar, dan pembagian tugas yang proporsional pada semua anggota. Perlengkapan standar misalnya pakaian seragam, portable pump (pompa portabel) jenis mesin Robin, pipa-pipa penyalur air, dan lainnya. Terdapat juga pembagian tugas di antara mereka. Satu orang biasanya membawa mesin portable pump yang beratnya mencapai 15 kg. Ada juga empat selang tembak yang dibawa oleh masing-masing satu orang. Satu orang lain membawa selang isap 1,5 inci. Satu orang lagi membawa jeriken untuk bahan bakar mesin. Satu yang lainnya membawa perlengkapan bersama, mulai dari minuman, makanan, hingga perlengkapan untuk menebas atau memotong kayu dan ilalang, atau menggali tanah di hutan. Yang lain berfungsi untuk bergantian membawa beban berat, atau ditugaskan menjemput barang lain.
“Kadang kami harus masuk hutan sejauh 300 meter hingga 1 km. Semua peralatan harus dipanggul. Berat sekali. Tapi kami menikmatinya,” ujar Sukar.
Kebakaran hutan dan lahan pada 18 September 2015 lalu, misalnya, membakar areal di sekitar Tugu Equator. Luasnya mencapai belasan hektare. Tak diketahui pasti apa penyebab kebakaran. Dugaan masyarakat, puntung rokok pemancing di sekitar kanal yang dibangun beberapa waktu lalu menjadi penyebabnya. Kanal yang sebenarnya dalam, mencapai 6 meter ini, saat kemarau sekarang hanya memiliki air tak lebih dari setengah meter. Akibatnya lahan gambut menjadi kering dan sangat mudah terbakar.
“Jadi akibat rokok saja bisa terjadi kebakaran,” ujar Sukar.
Kebakaran di kawasan gambut yang mengering ini kemudian meluas dan bahkan merambat ke kebun KKPA (kredit koperasi primer anggota) milik warga. Inilah yang kemudian membuat laskar penakluk api bergerak cepat. Api di lahan gambut bisa menjalar dengan sangat cepat di dalam tanah. Tak tampak, tapi bisa menyala tiba-tiba di tempat lain. Tak hanya anggota MPA yang turun, warga juga turun tangan memadamkan api.
“Dari jam 8 pagi sampai jam 1 malam kami tak henti melawan api,” ujar Sukar dengan wajah serius.
Kawasan rawa gambut, ujar Sukar, memiliki tipe yang berbeda dengan kawasan lain. Kadang untuk memadamkan satu kawasan kecil saja, seukuran 10x 10 meter, diperlukan waktu berjam-jam. Padahal, kawasan yang terbakar di sekitar Tanjung Kuyo mencapai belasan hektare. Kawasan yang terbakar, dari tahun ke tahun pun hanya itu-itu saja, yakni kawasan lahan gambut yang sudah kering karena mudah terbakar. Kawasan yang persis di garis khatulistiwa ini berada memanjang dan memutar hampir sama dengan putaran kanal yang dibuat. Di sekitar titik khatulistiwa itu, beberapa kawasan yang bertanah mineral (tanah liat dan pasir), tapi banyak juga kawasan gambut. Kawasan gambut inilah yang rawan terbakar, bahkan yang berada di pinggir sungai atau kanal sekalipun.